Some Wishes

pandabou
Chapter #4

Sahabat

Suasana pagi ini terasa cukup sendu karena adanya gerimis disertai hawa dingin yang menyelimuti kota, hal itu menyebabkan siapa saja ingin terlelap lebih lama. Namun orang - orang tak boleh terlena karenanya. Aktivitas sehari - hari mereka harus tetap berjalan seperti biasa. Para pekerja harus tetap berangkat kerja karena mereka masih butuh uang untuk melanjutkan hidup. Para ibu juga sibuk berberes rumah dan menyiapkan sarapan untuk anggota keluarganya yang lain. Dan para pelajar harus tetap berangkat sekolah untuk menuntut ilmu.

  Rinai berjalan dengan setengah berlari menyeberangi jalanan didepannya. Di tempat itulah ia biasa menyegat bus kota yang akan ditumpanginya untuk pergi ke sekolah. Hari ini ia bangun agak telat, tak seperti adiknya yang tetap bisa bangun pagi dan berangkat sekolah terlebih dahulu. Rinai kadang kesal dengan dirinya sendiri yang terlalu pemalas. Tadi sarapan yang sudah disiapkan dengan susah payah oleh ibu untuknya masih tersisa cukup banyak. Ia tak sempat menghabiskan sarapan tersebut karena terburu - buru berangkat ke sekolah. 

  Bus kota dengan tujuan yang biasa ia tumpangi pun akhirnya datang. Gadis itu langsung menaiki bus kota didepannya tepat setelah bus tersebut berhenti tak jauh dari posisinya. Suasana bus kota di pagi hari tak kalah ramai dibandingkan sore hari, bahkan mungkin lebih ramai. Orang - orang sepertinya menjadi tak pemilih saat pagi hari. Mereka cenderung menaiki bus apa saja yang bisa mengantarkan mereka ke tujuan dengan cepat. Penumpang biasanya berisi orang - orang yang hendak berangkat bekerja maupun berangkat sekolah. Lebih baik bagi mereka untuk berdesak - desakan di dalam bus dibanding telat dan dimarahi atasan ataupun dihukum oleh guru.

  "Turun dimana neng?" kata kondektur bus kepada Rinai.

  "SMA Nusa pak," jawab Rinai sambil menyerahkan selembar uang dua ribuan kepada sang kondektur.

  "Oke sip!" ujar sang kondektur sambil berjalan memasuki bus untuk meminta bayaran dari tiap penumpang.

~

  Tak seperti biasanya, hari ini April tiba - tiba menjadi pendiam. Ia tak banyak bicara saat di sekolah tadi. Namun sore ini, April tiba - tiba menghubunginya. Katanya ia akan datang main ke rumah Rinai malam nanti.

  "Ding dong, ding dong!" suara bel rumah Rinai tiba - tiba berbunyi.

  "Biar Rinai aja yang bukain," kata Rinai saat melihat Budhe Minah hendak berjalan membukakan pintu.

  "Enggak papa nduk, biar budhe saja."

  "Itu kayaknya yang datang April, temannya Rinai jadi biar Rinai yang bukain," kata Rinai sambil berjalan menuju ke luar untuk membuka pagar rumahnya. Dilihatnya April sedang berdiri di depan pagar rumahnya seorang diri.

  "Akhirnya kamu datang juga, masuk Pril!"

  "Maaf ya Ai aku ngerepotin malam - malam," kata April kepada Rinai.

  "Sudah enggak papa, ayo masuk!"

  Setibanya di kamar Rinai April bercerita bahwa ia sedang memiliki masalah, namun gadis itu rupanya belum siap memberi tahu perihal masalah apa yang sedang menimpanya tersebut.

  "Sebenarnya aku kesini mau cerita ke kamu, tapi aku malu Ai, aku enggak tahu harus mulai cerita dari mana," ujar April.

  "Enggak papa kok, kalau kamu belum siap atau emang kamu enggak bisa ceritain masalah kamu ke aku. Tapi apapun itu kita tetap teman, jadi kamu enggak perlu malu sama aku," kata Rinai berusaha mendnangkan sahabatnya itu.

  "Maaf ya Ai, tadi di sekolah aku cuekin kalian kayak gitu. Pasti itu bikin kalian kesal ya?"

  "Iya sih, awalnya kita kesal tapi kita ngerti kok mungkin kamu lagi enggak bisa di ganggu," jawab Rinai.

  "Tapi gimana ya Ai, aku benar - benar enggak kuat buat hadapin masalah ini sendirian. Tapi di sisi lain aku juga belum siap buat ceritain ini ke kalian," ujar April dengan lirih, tidak lama setelahnya air mata mulai membasahi pipinya. Gadis itu tiba - tiba terisak di hadapan Rinai dan membuatnya bingung. Dengan segera, dipeluknya sahabatnya tersebut. Rinai kemudiam menepuk - nepuk punggung April dengan pelan untuk menenangkannya.

  Tangis April semakin menjadi, sepertinya ia sedang mengalami masalah yang amat serius. Tak biasanya Rinai melihat April, sahabatnya yang ia kenal sebagai sosok yang ceria menangis tersedu - sedu seperti ini. Rinai yang tak tahu harus berbuat apa hanya bisa memberikan pelukan hangat untuk membuat April merasa lebih baik.

  "Pril mungkin aku bisa bantu kamu," celetuk Rinai tiba - tiba. April mendongakkan kepalanya dan sibuk menghapus air matanya yang masih belum berhenti mengalir sambil menatap ke arah Rinai yang sedang mengambil sesuatu.

  "Pril, mungkin sekarang kamu belum bisa cerita ke aku, Daisy, ataupun ke orang lain. Tapi kamu bisa cerita semuanya ke diary ini," kata Ribai sambil menyerahkan diary miliknya kepada April.

  "Tapi kan ini diary kamu, pasti disitu ada rahasia - rahasia kamu yang enggak boleh dibaca orang lain, termasuk aku," kata April menatap sahabatnya heran. "Dan kayaknya dengan nulis di diary enggak bisa kasih aku solusi apapun. Tapi makasih ya Ai atas tawaran kamu," sambung gadis itu.

  "Aku enggak keberatan kalau kamu baca isi diary ini. Walaupun mungkin kamu enggak percaya, tapi selama ini diary itu selalu kasih jawaban yang membantu aku buat atasin masalah - masalah yang aku hadapin belakangan ini," ujar Rinai menjelaskan.

  "Tapi Ai, itu jelas enggak mungkin, mana ada diary yang bisa selalu jawab curhatan yang kita tulis di dalamnya," balas April kukuh pada logikanya.

  "Apapun itu, nyatanya diary ini selalu membuat aku merasa lebih baik dang ngasih aku cara berpikir yang lebih terbuka," kata Rinai.

  "Makasih Ai, aku tahu maksud kamu baik tapi…." 

  "Tapi apa salahnya kalau kamu coba dulu Pril?" kata Rinai menginterupsi perkataan April.

  "Aku juga masih enggak percaya kalau diary ini benaran diary ajaib, bisa saja orang rumahku yang diam - diam ikut buka dan nulisin diary aku ini. Tapi mungkin saja dunia tidak serealistis yang kita tahu dan keajaiban seperti itu juga mungkin benar - benar ada," kata Rinai mencoba meyakinkan April.

  "Oke deh kalau gitu, yah walapun aku masih enggak percaya tapi aku bakal coba," ucap April menanggapi.

  "Nah gitu dong! Tapi dengan kamu nulis masalah kamu ataupun harapan kamu di dalam diary ini bukan berarti masalah kamu hilang dan harapan kamu langsung terwujud begitu saja. Diary ini cuma memberi nasihat dan cara pandang baru buat kamu," kata Rinai mencoba menjelaskan sekali lagi.

  "Iya," kata April sambil menganggukkan kepalanya perlahan walaupun ia masih sepenuhnya yakin bahwa ia tak akan mendapatkan balasan apapun setelah menulis sesuatu di dalam diary tersebut. Namun, demi menghargai Rinai yang berniat untuk membantunya, ia akan terpaksa mengiyakan saran Rinai.

  Karena sudah cukup malam, April segera berpamitan. Setelah berpamitan dengan kedua orang tua Rinai, gadis itupun pulang menggunakan motor matic miliknya. Rinai mengantar April hingga ke depan pagar rumahnya. Sebelum berpamitan, April meminta tolong kepada Rinai untuk merahasiakan semua yang telah ia katakan hari ini. April masih menunggu dirinya sampai ia siap menceritakan semuanya nanti, entah kapan.

  "Tumben ya April main ke sini sendirian, teman - teman kamu yang lain kok enggak ke sini juga?" tanya ibu kepada Rinai.

  "Oh itu bu, kayaknya April lagi punya masalah terus dia pengin cerita tentang masalahnya itu sama Rinai," jawab Rinai.

  "Masalah?"

  "Iya bu."

  "Masalah apa, masalah sama pacarnya?" tanya ibu ingin tahu.

  "Kayaknya sih bukan tentang pacar bu," jawab Rinai.

  "Kok cuman kayaknya?" selidik ibu.

  "Iya bu, soalnya tadi April enggak jadi ceritain masalahnya ke Rinai. Katanya dia masih belum siap untuk cerita sekarang, jadi akhirnya Rinai pinjemin buku diary Rinai deh," jawab Rinai lagi.

  "Loh kenapa kamu pinjemin diary kamu?" 

  "Ibu mungkin enggak bakalan percaya. Diary Rinai itu bukan diary biasa bu, diary itu bisa kasih solusi untuk mewujudkan harapan Rinai yang Rinai tulis di dalamnya," kata Rinai menerangkan.

  "Ibu percaya kok."

  "Ibu percaya?" tanya Rinai untuk memastikan bahwa pendengarannya tidak salah.

  "Iya ibu percaya kalau sekarang kamu udah ngantuk. Mendingan sekarang kamu cuci tangan, cuci kaki terus tidur, daripada kamu ngomong aneh - aneh lagi. Sudah yuk ibu antar ke kamar kamu," kata ibu menanggapi kegilaan putrinya.

  Rinai hanya bisa berjalan mengikuti ibunya dengan pasrah. Lalu gadis itu menanyakan sesuatu kepada sang ibu, "oh iya, tadi ibu ada jadwal ke dokter kan?"

  "Iya tadi sore ibu check up ke dokter, memangnya kenapa sayang?" kata sang ibu balik bertanya.

  "Terus apa kata dokter?"

  "Kata dokter kondisi ibu sudah semakin baik, ibu cuma dilarang jangan sampai kecapaian dan harus tetap ngatur pola makan ibu," jawab sang ibu.

Lihat selengkapnya