Sore itu Faiz menemani sang ibu belanja bulanan di sebuah pusat perbelanjaan. Tak hanya pergi berdua saja, keponakannya yang masih berusia tiga tahunan juga turut serta. Anak kecil yang gembul dan sangat menggemaskan bernama Zidan. Maka jadilah Faiz bertugas sebagai baby sitter bagi keponakan kecilnya tersebut sementara sang ibu asyik berbelanja. Faiz adalah anak bungsu dari tiga bersaudara. Kakaknya yang pertama adalah seorang perempuan yang lebih tua sepuluh tahun darinya, kini sang kakak perempuannya tersebut sudah menikah dan tinggal tak jauh dari rumah orang tuanya. Kakaknya yang nomor dua adalah seorang laki - laki, tiga tahun lebih tua darinya dan kini sedang berkuliah di luar kota. Kakak perempuannya sering menitipkan anaknya, yang tak lain adalah Zidan, di rumah orang tuanya karena sang kakak dan suaminya sibuk bekerja. Maka dari itu Faiz cukup akrab dengan Zidan. Hampir setiap hari laki - laki itu mengajak bocah kecil tersebut bermain bersamanya.
Saat sang ibu sedang berbelanja, Faiz justru sibuk menjaga Zidan. Jika ia lengah sedikit saja maka Zidan akan berlari - larian kesana kemari. Saat ia sedang mengejar Zidan, tiba - tiba dari kejauhan Faiz melihat keponakannya tersebut menabrak seseorang. Pie cokelat yang sedang dipegang olehnya jadi mengotori baju seseorang yang ia tabrak. Setelah itu Zidan menangis dengan histeris. Saat Faiz sedang menghampirinya, seseorang yang bajunya menjadi kotor karena ulah Zidan justru berusaha untuk menghibur bocah kecil itu.
"Huaaa…, hua huhuhu…." suara tangis sidan memenuhi salah satu lorong di area grocery store.
"Adik kecil kamu lucu banget, kenapa menangis?" kata gadis itu. Bocah lucu di hadapannya mengangkat wajahnya sambil sesenggukkan. Tangannya yang mungil mengusap kedua matanya, ia terlihat sangat imut.
"Kamu sedih ya karena kue kamu jatuh, maaf ya tadi kakak enggak lihat kamu jadi ketabrak deh," ujar gadis itu dengan ramah.
Anak kecil yang ada di hadapannya tersebut berusaha untuk berbicara. Namun tampaknya ia masih kesulitan untuk mengeluarkan suaranya karena masih sesenggukkan. "Huhu…, maaf," kata bocah itu lirih.
"Maafin Idan kak, Idan salah!" ujar anak lelaki tersebut sambil menunjuk ke arah noda cokelat yang terpampang jelas di baju seorang perempuan di hadapannya.
"Oh ini, gapapa kok. Ini bisa hilang kalau dicuci," kata perempuan tersebut. Ia baru menyadari ternyata bocah lelaki menggemaskan yang ada di hadapannya itu merasa bersalah telah membuat bajunya kotor.
"Kakak malah?" tanya anak kecil tersebut. Sepertinya, lidahnya masih kesulitan untuk mengucapkan huruf 'r' dengan benar.
"Enggak kok, kakak sama sekali enggak marah asalkan kamu jangan nangis lagi, oke?" ucap gadis itu dengan tersenyum ramah.
"Oce, hehe…." jawab Zidan, yang ternyata juga masih belum jelas untuk mengucapkan huruf 'k'. Setelah menangis seperti tadi, anak kecil tersebut dengan mudahnya menjadi tertawa.
"Nah gitu dong, sini kakak bantu berdiri."
"Maaf ya, Zidan enggak sengaja. Aku bakal ganti rugi kok," kata Faiz yang datang menghampiri keponakannya tersebut.
"Enggak usah mas, gapapa kok. Ini kayaknya bisa hilang kalau dicuci," jawab gadis itu.
Tiba - tiba seseorang memanggil gadis tersebut, "Ai, di sini kamu rupanya. Budhe cariin kamu dari tadi, ayo ini budhe sudah selesai belanja!"
"Iya budhe, kakak pergi dulu ya dadah," ujar gadis tersebut berpamitan sambil melambaikan tangannya kepada Zidan, dan dibalas lambaian tangan dan senyum ceria dari bocah itu. "Saya permisi ya mas," pamit gadis tersebut kepada Faiz.
"Kakaknya tantik ya om A'iz," ujar Zidan dengan polosnya.
"Cantik bukan tantik," ujar Faiz mencoba membenarkan pelafalan keponakannya yang belum genap berusia tiga tahun tersebut.
"Cantik," ujar bocah itu mencoba mengulangi. "Iya kan om?" tanyanya sekali lagi sambil memandang penuh harap ke wajah sang paman.
"Iya," ujar Faiz dengan terpaksa. Ia mau tak mau harus mengiyakan perkataan keponakan kecilnya itu kalau tak ingin repot.
Beberapa hari kemudian Faiz bertemu dengan gadis yang tak sengaja ditabrak oleh keponakannya waktu itu. Ternyata ia adalah adik kelasnya.
"Kak Andi maaf ganggu waktunya sebentar, ini mau kasih titipan dari Kak Sifa," ujar gadis itu kepada Andi, temannya yang waktu itu sedang duduk di sampingnya. Faiz ingat betul wajahnya, ia adalah gadis yang sama dengan yang di tabrak Zidan.
"Wah terima kasih ya Rin, jangan lupa nanti ada latihan," kata Andi.
"Iya kak, kalau gitu saya duluan kak."
"Iya hati - hati Rin."
"Siapa Di, anak teater?" tanya Ridwan, salah seorang teman Faiz dan Andi.
"Iya, kenapa?" Andi menanggapi dengan acuh tak acuh sambil membuka sesuatu yang diberikan oleh gadis tadi.
"Cantik juga, siapa namanya?" tanya Ridwan ingin tahu.
"Jangan berani - beraninya gangguin anak teaterku ya, dasar buaya darat!" jawab Andi memperingati kawannya yang terkenal playboy tersebut.
"Namanya Rinai, anak sepuluh ipa tiga," jawab Aji dengan entengnya. Ia juga merupakan anggota dari klub teater, tentu ia juga mengenal gadis itu sama seperti Andi mengenalnya.
"Oh jadi dia yang namanya Rinai," kata Ridwan menanggapi.
"Emang lu kenal?" tanya Jojo, teman mereka yang lain.
"Enggak sih, cuma sering dengar namanya saja," jawab Ridwan dengan enteng.
'Ah, jadi namanya Rinai,' batin Faiz saat itu.
Sejak hari itu, Rinai selalu terlihat dalam pandangan Faiz. Setiap kali Faiz melihatnya, ia tak sadar mulai memperhatikan tingkah gadis itu. Menurut Faiz, gadis itu mempunyai sifat yang menyenangkan. Ia sering terlihat tertawa bersama teman - temannya, namun tak jarang juga ia terlihat cuek dan galak. Gadis itu mempunyai beragam ekspresi yang membuat Faiz secara tak sadar menjadi semakin tertarik untuk memperhatikannya dari jauh. Faiz juga tak ingat sejak kapan sudut bibirnya juga ikut naik saat melihat gadis itu tertawa.
"Senyam senyum senyam senyum dari tadi, samperin sana!" kata Andi saat ia menangkap basah temannya yang sedang memperhatikan juniornya di klub teater tersebut.
Karena merasa terganggu, Faiz pun berhenti memperhatikan Rinai. Ia agak kesal dan malu karena Andi mengusiknya seperti itu. Faiz pun berpura - pura melanjutkan kegiatannya menyantap semangkuk soto di depannya.
"Yah kalau suka bilang bro, aku mundurlah demi pertemanan," ujar Ridwan memberikan tanggapan.
"Mau dikenalin enggak?" sahut Aji menawarkan bantuan.
"Kita punya kontaknya nih," kata Andi mencoba menggoda Faiz.
"Wah gila lu pada, si Adinda mau di kemanain?" ujar Jojo yang juga ikut nimbrung.
"Udahlah cewek kayak dia putusin aja Iz! Lagian dari awal kamu terima dia jadi pacar cuma karena kasihan kan," kata Aji memberikan pendapatnya.
"Benar tuh, lagaknya juga bossy gitu. Udahlah putus aja!" timpal Ridwan.
"Iya sih," kata Jojo ikut menyetujui perkataan kedua temannya.
"Sudah kejar si Rinai aja. Setahu kita dia anak baik - baik, nanti kita bantuin, ya kan Ji!" kata Andi.
"Yo'i man!" ujar Aji menyauti dengan entengnya.
Faiz hanya bisa terdiam mendengarkan reaksi teman - temannya. Benar juga selama ini ia juga tak memiliki perasaan apapun kepada Adinda, pacarnya. Pun lagi Faiz juga tidak menyukai sifat gadis tersebut yang sering semaunya sendiri. Namun Faiz juga merasa kasihan bila memutuskannya begitu saja.
"Tapi masa iya si Adinda aku putusin gitu aja, kasihan dia," kata Faiz yang akhirnya mulai memberikan tanggapannya.
"Jadi pilih putusin Adinda atau Rinai aku pacarin?" tanya Ridwan memberikan pilihan.
"Wah gila lu," sahut Aji menanggapi pertanyaan Ridwan.
"Laki - laki harus bisa bikin keputusan!" desak Andi.
Mendengar pernyataan teman - temannya tersebut Faiz merasa ada benarnya juga. Ia juga tak bisa terus - terusan bertahan menghadapi Adinda, ia juga tak mau kehilangan Rinai begitu saja. Tak lama kemudian ia sudah membuat keputusan untuk mengakhiri hubungannya dengan Adinda.
~
Saat mulai memasuki tahun ajaran baru, Faiz merasa jalannya untuk mendekati Rinai semakin terbuka lebar. Apalagi setelah Faiz mengetahui bahwa jadwal olahraga antara kelas Rinai dan kelasnya berlangsung di waktu yang sama. Saat itu baginya semesta turut memberi andil untuk membantu mendekatkan mereka. Namun tak seperti biasanya, Faiz merasa gugup setiap kali berada di dekat Rinai. Lidahnya terasa kelu dan ia tak sanggup mengatakan apapun bila melihat Rinai berada di dekatnya. Saat itu Faiz merasa menjadi manusia yang sangat payah. Ia bahkan tak bisa mengajak Rinai untuk berkenalan.
Namun kesempatan yang ditunggu - tunggu oleh Faiz akhirnya datang juga. Kala itu hujan gerimis yang mengguyur sekolah tiba - tiba berubah menjadi hujan yang cukup lebat. Kala itu ia yang pulang agak telat dari seharusnya karena mengurus beberapa hal di ruangan OSIS ingin menepi sejenak di halte bus untuk memakai jas hujan yang berada di jok motornya. Namun lelaki itu mengurungkan niatnya saat melihat Rinai yang tengah duduk sendirian di halte tersebut.
Kala itu Faiz memilih memarkirkan motornya dan ikut menunggu di halte seolah - olah ia lupa membawa jas hujan. Namun lagi - lagi ia tak bisa mengatakan sesuatu apapun kepada gadis yang sedang duduk tak jauh darinya itu hingga merekatak sengaja bertatap muka. Rinai tiba - tiba saja menoleh ke arahnya yang cukup membuatnya agak gelagapan. Tiba - tiba gadis itu menyapanya dengan ramah.
"Sore kak," kata gadis tersebut.
Saat itu Faiz hanya bisa mengangguk dan tersenyum menanggapinya.
"Kamu lagi nunggu dijemput?" kata laki - laki tersebut mencoba memberanikan diri untuk bertanya.
"Eh, maaf gimana kak?" jawab Rinai yang terlihat gelagapan.
Faiz tersenyum geli menanggapi reaksi Rinai yang terlihat agak canggung. "Haha…, kamu lucu banget sih. Sekarang ini kamu lagi nunggu di jemput?" tanyanya sekali lagi.
"Oh, iya kak hehehe…," jawab gadis itu.
Tak lama kemudian hujan mulai reda, Rinai tiba - tiba bertanya kepadanya, "hujannya sudah reda kak, kakak enggak langsung pulang?" tanya gadis itu.
"Aku lagi nungguin seseorang," jawabnya singkat, iya lelaki itu sedang menunggu Rinai dijemput. Setidaknya ia tidak akan membiarkan Rinai menunggu di halte sendirian.
"Oh, begitu," ujar Rinai menanggapi.
Suara motor yang mulai mendekat mengalihkan perhatian Rinai. Gadis itu segera berjalan dan bersiap menaiki motor yang dikendarai oleh seerang laki - laki berseragam SMA yang tertutup jaket levis tersebut.
"Duluan ya kak," pamit gadis itu.
Melihat hal itu Faiz hanya bisa tersenyum. Dia terus memikirkan siapa lelaki yang menjemput Rinai sore itu. 'Apakah mungkin itu pacarnya?' tanya Faiz di dalam hati.
Hari - hari selanjutnya, Faiz ikut menemani Rinai menunggu jemputan. Namun, ia tidak ikut menunggu di halte, melainkan di lapangan sepak bola di depan sekolah. Dari sana ia dapat melihat Rinai walau dari jauh dan memastikan saat gadis itu sudah dijemput oleh laki - laki yang biasa menjemputnya. Saat itu Faiz cukup menyukai Rinai dari jauh karena ia tak ingin mengusik hubungan orang lain. Namun, ia mjlai memberanikan diri saat mengetahui bahwa Rinai masih sendiri, ternyata laki - laki yang selalu menjemputnya dulu adalah adik kandungnya sendiri yang hanya terpaut usia setahun darinya. Dan saat itulah Faiz mencoba memberanikan diri untuk mendekati Rinai.
~