Hari ini sangat suram, awan hitam bergulung - gulung di atas kota sejak pagi. Namun setelah berjam - jam awan itu berkumpul, hujan belum juga menetes membasahi bumi. Hanya angin dingin yang bertiup hingga kadang menimbulkan suara atap dan dedaunan yang terdengar saling beradu dengannya.
Setiap pagi bus kota berisi para pekerja maupun anak sekolah menengah. Mulai dari pekerja kantoran, buruh pabrik, maupun penjual di pasar yang selalu membawa pikulan. Mereka seringkali berangkat pagi pagi sekali, jika Rinai berangkat lebih siang dari biasanya maka ia tak akan menemui para ibu penjual tersebut. Tak jarang di dalam bus kota juga sering ditumpangi seorang petani lengkap dengan caping, kaos polos, dan hasil panennya. Selain itu masih banyak orang - orang dengan berbagai latar belakang pekerjaan yang bisa ditilik dari penampilannya seperti pemulung yang naik sambil memikul karung ataupun para buruh pabrik yang memakai seragam. Sifat sopir dan kondektur pun beragam, ada yang ramah hingga kasar. Kadang kala tarif yang dikenakan pun juga berubah, bila beruntung Rinai bisa menghemat beberapa rupiah uang jajannya, namun jika sedang sial ia seringkali dimarahi kondektur yang meminta bayaran lebih dari yang biasa ia berikan. Dari pengalamannya selama ini, ada bus yang memberikan tarif lebih murah kepada anak sekolah namun ada juga yang memasang tarif yang sama kepada setiap penumpangnya tak terkecuali anak sekolahan.
Pagi ini dimulai dengan pelajaran olahraga. Awan sudah agak cerah dan hujan sama sekali tidak turun. Karena itu, pelajaran olahraga berlangsung di luar ruangan seperti biasanya. Saat sedang melakukan pemanasan, Rinai melihat Kak Faiz dan teman - teman sekelasnya sedang berjalan menuju dekat barisan kelasnya. Mereka juga berbari dan melakukan pemanasan seperti yang dilakukan oleh Rinai dan teman - temannya.
'Ah, benar juga, jadwal olahraga kelas Kak Faiz sama dengan kelasku,' batin Rinai saat itu.
Sebisa mungkin Rinai mencoba untuk bersikap sewajarnya di depan Kak Faiz. Sejak Kak Faiz menembaknya beberapa hari yang lalu, Rinai memilih untuk menghindari lelaki tersebut. Karena sejak saat itu Rinai sering kali salah tingkah bila sedang berpapasan dengan Kak Faiz.
Hari ini kelas Rinai sedang mengambil penilaian lari, begitu pula dengan kelas 12 Ipa 7, kelas Kak Faiz. Maka jadilah murid - murid dari kedua kelas tersebut berlari mengelilingi lapangan sepak bola sekolah. Setelah mengelilingi beberapa putaran, Rinai hendak menyalip Daisy yang berada di depannya. Saat posisi Rinai sudah cukup dekat dengan Daisy, tiba - tiba saja tubuh Daisy menjadi oleng dan kemudian terjatuh. Hal itu membuat Rinai yang tak bisa mengerem larinya ikut pasrah jika harus terjatuh dan menubruk tubuh Daisy di bawahnya.
Namun setelah sekian lama matanya terpejam, Rinai tidak merasa tubuhnya menghantam tanah ataupun menubruk tubuh Daisy. Ia justru merasakan ada seseorang yang sedang menarik tangannya. Dan benar saja, saat Rinai kembali membuka mata, gadis itu mendapati dirinya berdiri kokoh diatas kedua kakinya. 'Huft, syukurlah,' kata Rinai di dalam hati.
"Kamu enggak kenapa - kenapa kan?" tanya seseorang yang berdiri di depannya. Rinai kenal betul pemilik suara itu, dan benar saja itu adalah suara Kak Faiz yang barusan menolongnya.
"Oh? Eh iya gapapa kak," jawab Rinai agak kaget.
"Sy, kamu gapapa kan? Sini aku bantu!" Rinai memalingkan wajahnya ke arah Daisy yang terjatuh. Bersama Kak Faiz, Rinai membantu Daisy untuk berdiri.
Tak lama, guru olahraga datang menghampiri mereka. Dengan dibantu oleh pak guru, Daisy berjalan menuju ke tepi lapangan untuk duduk dan beristirahat. Sedangkan Rinai dan Kak Faiz tetap melanjutkan putaran lari mereka.
Kaki Rinai agak terasa sakit, mungkin karena terkilir saat ia hampir jatuh tadi. Namun, gadis itu tetap melanjutkan larinya meski dengan sedikit pelan.
"Kamu benaran gapapa Ai?" tanya Kak Faiz sekali lagi untuk memastikan.
"Iya gapapa kok kak," jawab Rinai, pandangannya tetap fokus ke depan tanpa menoleh sedikitpun.
"Kenapa belakangan ini kamu jadi canggung sama aku, Ai?" tanya Kak Faiz. Ternyata ia cukup peka dengan perubahan sikap Rinai terhadapnya.
"Enggak kok kak, biasa saja," jawab Rinai mengelak.
Kak Faiz kemudian menyerongkan posisinya ke arah Rinai dan berkata, "Ai, coba lihat aku!"
Rinai hanya melirik ke arah lelaki itu, kemudian mengembalikan pandangannya ke depan dengan agak kikuk.
"Tuh kan, kamu dari tadi enggak mau lihat aku kalau lagi bicara. Kamu pasti malu ya karena aku nyatain perasaanku ke kamu tempo hari?" kata Kak Faiz.
"Iya kan? kamu malu kan?"
"Eh tapi, kamu enggak ada rencana buat tolak aku kan?"
"Jangan dong Ai, please!"
Kak Faiz entah mengapa tiba - tiba menjadi cerewet seperti ini, dia terus - terusan menggoda Rinai dan kini memelas di hadapan gadis itu.
Rinai yang awalnya canggung menjadi tertawa melihat tingkah lelaki yang berada sampingnya tersebut.
"Hahaha…, Kak Faiz enggak capek ya dari tadi lari sambil ngomong terus?" ujar Rinai menanggapi.
"Apanya yang lari, dari tadi aku cuma jalan cepat," jawab Kak Faiz dengan entengnya.
Mendengar jawaban Kak Faiz tersebut membuat Rinai jadi memperhatikan langkah kaki lelaki di sebelahnya itu. Benar saja, Kak Faiz hanya perlu berjalan untuk mengimbangi kecepatan larinya yang memang sangat lambat.
"Kak Faiz duluan saja, enggak perlu tungguin aku!" kata Rinai memberi saran.
"Tapi aku nyaman di dekat kamu begini," ujar Kak Faiz yang semakin berani menggoda Rinai.
"Semua cowok ternyata sama ya, doyan gombal!"
"Siapa itu?" tanya Kak Faiz tiba - tiba.
"Siapa apanya?"