Someday

Ratih Abeey
Chapter #1

Prolog

Jawa barat 2020

Apa ada orang spesial di hidupmu?

Siapapun kalian sekarang, pasti dibelakang kalian selalu ada seseorang yang membuat kalian seperti sekarang ini. Selalu ada seseorang yang pernah mengisi relung hati kalian. Selalu ada seseorang yang mendorong kalian menjadi lebih baik dari sebelumnya.

Namun, seseorang itu harus pergi dari hidupmu yang terus saja berjalan seiring waktu. Dan tanda-tanda kehadirannya semakin lama akan semakin terhapus oleh kehidupan baru dirimu yang sunyi.

Malam itu hujan turun di kota Subang, Jawa barat. Seperti kebanyakan penulis, aku perempuan bertubuh kurus dengan senang hati mengorbankan jadwal tidurku demi sebuah kata dan juga kalimat pada malam hari. Aku kemudian memejamkan mata. Berpikir. Mencari jutaan imajinasi dengan quotes melayang-layang di kepala ku.

Kembali pada jutaan kata. Ruangan kedap cahaya ini kini sedikit tersinari oleh cahaya dari layar laptop yang baru saja ku buka di atas meja belajar. Gerakan jari lentik yang di taruh di atas keyboard, menayangkan sebuah cerita non-fiksi, bergerak bebas seiring hasrat yang tercipta di dalam batin ku.

Kata demi kata yang tertulis, terasa menampilkan kembali memori yang telah lama usang. Batin ku menjerit histeris. Aku mungkin sekarang mampu menciptakan suasana baru. Meluluhkan hatiku. Menenangkan dan meleburkan risaunya perasaan rindu.

Akan tetapi, apa ini?

Semakin masa itu diingat, semakin menguras tenaga ku. Sampai jari-jari itu pun berhenti dan tertahan di atas. Membiarkan bulir air sebening kristal meluncur bebas di permukaan kedua pipi. Semakin melihat tulisan alur cerita, semakin hancur dan remuk hatiku. Semakin melihat layar laptop, detak jantungku semakin terdengar. Bahkan mungkin mengalahkan suara detik jarum jam menunjuk angka sembilan malam, yang berirama di dinding.

Sepertinya hati sedang tidak ingin bekerja sama dengan profesinya. Merasa enggan bercerita. Namun, tidak ada pilihan lain selain melanjutkan atau mengorbankan cita-citaku untuk tertunda sesaat.

Dan aku mulai mengetik. Sambil merasakan air mataku meleleh.

“Pantaskah? Jika aku yang di sana sekarang, mendampingi mu dan saling menyelipkan jemari kita diantara jutaan pasang manusia?”

Aku mengakhiri dengan helaan nafas berat yang berhembus begitu pelan.

Sesekali tatapanku mengarah keluar jendela yang berada di samping ku. Aku menatap gemerlap malam yang dipenuhi jutaan tetes air dari angkasa dan menyulam sebuah senyuman sejenak.

Di Sana...

Ada pemandangan yang sangat disayangkan. Sebuah rembulan yang enggan memancarkan cahayanya karena faktor hujan terlalu deras.

Di Sana...

Langit membawa jiwa ketenangan dan memaksa angin seolah menampar wajah ku dengan nyaman. Sejujurnya, malam ini sama dengan keadaan hatiku. Sama-sama menyendiri. Sama-sama kesepian dan membutuhkan pelipur lara.

Aroma tanah menyeruak, bersamaan suara kenop pintu dan sepatu menyentuh lantai menyadarkan aku untuk kembali dari sebuah layar penampil kenangan. Mungkin raga ku memang disini, tapi jiwaku entah pergi kemana. Dengan segera aku mengusap basah di kedua pipi ku. Menoleh pintu untuk menyambut siapa yang akan memasuki ruang pribadi ku ini. Aku tidak boleh terlihat habis menangis.

“Kamu belum tidur?” Dia Tanti. Sang perempuan pemilik utama rumah ini.

Lihat selengkapnya