Jawa Barat, 2014
Pagi itu aku berjalan-jalan di area sekolah baru ku. SMA Cakrawala. Aku tidak tahu harus kemana karena waktu MOS kemarin aku tidak ikutan karena Kakek ku yang tinggal di Jawa meninggal. Aku terpaksa tidak mengikuti MOS barang sehari pun, dan menurut pihak sekolah tidak apa-apa. Mereka memaklumi ketika ibu ku menghubungi pihak sekolah dan meminta izin.
Saat aku tengah asik melihat papan pengumuman. Aku menemukan seseorang yang sangat tak asing lagi di kepala ku. Namanya Devan. Devan ini adalah anak dari teman Ayah ku. Kami pernah satu SD. Dan wajahnya dari kecil tidak pernah berubah. Selalu terlihat kalem.
“Devan, kamu sekolah di sini juga?” sapa ku dengan wajah yang luar biasa terkejut karena tidak menyangka bisa satu sekolahan yang sama dengannya.
Devan menoleh ke arah ku. Dia memamerkan senyuman tipis, “Iya. Aku kelas 10-2. Kelas kamu dimana?”
Aku hanya menggeleng karena aku belum tahu aku di tempatkan di kelas yang mana.
“Aku bantu cariin ya?”
Ah, untunglah aku di pertemukan dengan orang sebaik Devan. Aku bisa bersyukur setelah aku lulus dari SMP pasti sekarang tidak akan pernah ada yang membuli ku lagi. Mengingat aku kini memiliki Devan yang akan menjagaku dari serangan siapa pun cowok nakal di luaran sana.
“Kamu sekelas sama aku” seru Devan.
“Beneran?”
“Lihat aja ini!”
Aku semakin senang mendengarnya. Lalu detik selanjutnya ada ekspresi menyesal dari wajah Devan, “Tapi aku nggak bisa nganter kamu ke kelas. Aku mau daftar jadi anggota OSIS” dia memandang ku dengan rasa tidak enak, “Nggak apa-apa kamu pergi sendiri?”Aku segera mengangguk, “Kalau gitu, kamu lewat...” Devan menggantungkan ucapannya. Ia melihat lorong menuju kelas kami di penuhi para siswa yang dari tampilannya terlihat seperti kakak kelas, “Belakang kelas. Aku khawatir mereka akan mengganggu kamu”
“Aku mengerti” Begitu aku mendapat petunjuk dari Devan, aku segera berjalan ke arah yang di maksudnya.
“Nggak terlalu buruk” kata ku ketika melihat jalan yang ku lewati sepi. Sudah jelas ini tembok belakang sekolah. Tidak akan ada orang di sekitar sini. Kecuali seekor anak kucing yang ku temukan di dekat pengaliran air. Tubuh mungilnya gemetaran. Lunglai. Dan terlihat mengkhawatirkan sekali, mengingat binatang itu masih kecil.
Aku membungkuk. Segera ku raih kucing berbulu hitam yang memiliki mata bulat mirip bola itu ke dalam genggaman tangan.
Lucu.
“Kucing, siapa nama kamu?” kata ku seolah bertanya pada angin karena tak ada jawaban. Kecuali suara meong yang terdengar getir.
Pada saat itu aku ingat menyimpan sesuatu di kantong rok seragam ku. “Rasanya masih ada” ku keluar,kan, sebungkus beng-beng dari dalam sana. “Entahlah, apa ini akan membantu kamu dari kelaparan, aku nggak tahu. Tapi aku ngasih kamu” ku kupas bungkus makanan berupa wafer berselimut coklat itu. Lalu ku sodorkan ke mulutnya.
“Renata bodoh! Udah jelas kucing kamu yang di rumah aja lebih suka ikan” aku mengomel pada diriku sendiri. Dengan apa yang barusan ku lakukan. Kucing itu sama sekali tak menyentuh makanan yang ku berikan padanya. Itu pertanda, kucing itu memang tidak menyukainya.
“Okelah, kalau kamu gak mau. Aku masih punya biskuit di tas. Tunggu, ya”
Aku segera membuka tas, mengambil sebungkus biskuit dan ku buka diatas ubin. Kucing itu langsung memakannya dengan lahap. Lalu, ku tunggu sampai biskuitnya di makan habis, kemudian ku angkat kucing itu dengan tangan sambil berjalan.
“Kamu lucu banget” gumam ku pelan.
Kini, aku tak begitu memperhatikan jalan, sampai sesuatu tiba-tiba jatuh tepat di hadapanku, membuatku terkejut bukan main dan bahkan aku tanpa sadar sudah menjatuhkan kucing dari tangan sambil menjerit kencang sekali, seperti baru melihat sesosok hantu.
Setelah aku menyadari sosok itu adalah anak lelaki yang masih berstatus manusia -bukan hantu- aku langsung melebarkan tatapan. Lebih terkejut lagi dari sebelumnya.
“Kamu?!”
Wajah lelaki itu datar dan dingin. Satu siswa lagi tiba-tiba lompat dari tembok dan berdiri di sampingnya. Untuk pertama kalinya, hidup ku kembali merasa sial karena harus satu sekolah lagi dengan anak yang membuli ku. Lebih parahnya lagi, ternyata aku satu kelas dengannya. Lebih parah-parahnya lagi, dia duduk di belakang bangku milikku.
Semenjak itu aku terus saja di hantui rasa benci kepada Dicky.
“Apa lo liat-liat?!” katanya. Di bangku belakang.
Aku hanya memasang wajah ketus sambil melanjutkan untuk duduk. Belum apa-apa aja udah bikin kesel.
***
Saat alarm sudah berbunyi di atas nakas, aku terbangun. Tapi mengingat kembali nasib ku yang kemarin satu kelas dengan Dicky, aku kembali menjatuhkan tubuh di atas ranjang. Murung menghinggapiku.
“Kenapa sih gue harus ketemu lagi sama dia? Satu sekolah lagi sama dia? Satu kelas bahkan. Emang di dunia ini cuma dia apa satu-satunya manusia yang harus gue lihat?”
“Arghh! Gue benci! Benci! Benci! Gue gak mau ketemu sama lo lagi Dicky si kodok konyol!” Aku membenamkan wajah dengan bantal merasa geram.
Rasanya, baru kemarin saat libur kelulusan aku merasa bahagia. Bebas dari semua tekanan sewaktu sekolah dasar Tapi, setelah aku kembali dipertemukan dengan beberapa dari mereka, aku jadi sangat malas pergi ke sekolah. Jangankan untuk ke sekolah. Bangun tidur saja aku malas. Lebih baik bergelut dengan selimut, daripada harus kembali jadi bahan tertawa orang lain.
Terdengar rumpian burung-burung kecil berjejer di depan jendela kamarku yang berbingkai putih. Mentari juga baru saja tersenyum lebar, menandakan pagi telah lahir sempurna. Sementara aku, sang pemilik kamar. Kalian pasti tahu. Aku masih asik dengan tidur yang menunjukkan posisi terbentang.
Ku mohon jangan ganggu posisi nyaman ini.
Tunggu saja sampai suara melengking ibu terdengar dan kain jemurannya yang seolah mengejekku—akan menggedor-gedor dinding kayu kamarku dari luar. Ah, sungguh menyebalkan sekali kawan. Mengingat rumah ini memang semuanya berbahan kayu. Kecuali lantainya.
Tidak hanya suara ibu yang akan mengganggu tidur ku pagi ini, tapi angin yang masuk melalui celah-celah dinding tadi. Aku pernah merasakan rasa dinginnya yang mirip sekali dengan rumah bertingkat yang menggunakan AC. Dingin sekali.
“Renata!”
Nah, itu suara ibu. Eh tidak lupa juga dengan pukulan di papan kayu jati kamarku. Bak rentenir menagih hutang. Biasanya ibu akan seperti itu.
Kadang-kadang aku harus meruntuk akan sikap ibu. Karena mungkin yang merasa terganggu bukan hanya aku saja. Bisa juga tetangga sebelah rumahku.