Hari Minggu pun tiba. Della baru saja selesai sarapan saat Mina, adik kostnya menyampaikan bahwa ada orang yang mencarinya.
“Mbak Della, dicari pacarnya...” teriak Mina dari depan. Mina masih belum melepas sepatu olahraganya selepas berlari pagi di kawasan Simpang Lima.
“Pacar?” Della mengernyitkan kening sejenak, namun kemudian dia ingat janjinya dengan Dimas. Latihan menyetir. Perut Della mulas seketika ketika membayangkan dirinya berada di belakang setir.
“Pacarnya mbak Della ganteng lho.” Kata Mina pada Indah dan Rita yang juga berada di ruang santai kos mereka. Della memilih untuk bungkam dan segera menyingkir sebelum anak-anak kecil itu mulai mengganggunya.
“Dasar mahasiswa.” Della berjalan ke pintu depan sambil menggelengkan kepala, meninggalkan Mina, Indah, dan Rita yang mulai bersuit-suit di ruang santai. Della merasa dirinya jauh lebih dewasa walaupun 4 tahun yang lalu dia juga masih berstatus mahasiswa fakultas ekonomi sebuah universitas terkenal di Bandung.
“Aku terlalu pagi?” Dimas sudah berdiri di depan pintu saat Della membukanya. Ganteng seperti biasa. Rambut hitam berbelahan pinggir seperti banyak bintang Korea saat ini, mata cerdas, bayangan kumis dan jenggot yang baru dicukur, kemeja putih dipadu dengan jeans biru, serta wangi segar yang mungkin berasal dari aftershave yang digunakan Dimas menyegarkan mata dan indra penciuman Della. Hampir Della tergoda untuk berpikir ini adalah ajakan kencan minggu siang namun kenyataannya adalah Dimas datang ke sini untuk mengajari Della menyetir mobil, bukan yang lain. Della mengingatkan dirinya sendiri tentang hal itu.
“Maaf aku tidak jadi meminjamimu mobil yang kemarin.” Dimas meminta maaf bahkan sebelum Della melihat mobil apa yang dibawanya. “Kurasa lebih baik kamu belajar menggunakan mobil manual terlebih dahulu sebab jika belajar pakai otomatis, pasti nanti tidak benar-benar bisa menyetir.”
Della hanya mengangguk setuju. Siapa yang tidak setuju? Sudah untung Dimas mau mengajarinya, meminjamkan mobilnya pula. Keterlaluan rasanya jika Della protes untuk hal itu. Lagipula alasannya sangat masuk akal. Della pernah membaca berita mini dari luar negeri tentang sepasang pencuri mobil yang tertangkap saat hendak mencuri mobil karena mobil yang mereka incar ternyata adalah mobil manual sedangkan kedua pencuri itu hanya bisa menaiki mobil matic.
“Apakah kita bisa pergi sekarang?” tanya Dimas.
Della melihat pakaian yang sedang dikenakannya. Kaos lusuh hijau bertuliskan New Jersey, celana pendek berkantong banyak, sandal jepit. “Hm.. kurasa aku harus ganti baju terlebih dahulu.” Della menyimpulkan. “Mau minum apa?”
“Ga usah. Aku tunggu di sini saja.” Dimas menunjuk kursi di teras kos itu.
“Ok, sebentar ya.” Della menutup pintu depan dan menguncinya. Bukannya tidak percaya pada Dimas, namun hal itu sudah merupakan peraturan tertulis di kos khusus perempuan itu. “Pintu depan harus dikunci apapun yang terjadi.” Peraturan yang timbul setelah dua orang anak kos kehilangan handphone yang sedang di-charge di ruang santai akibat ada yang lupa tidak mengunci pintu.
***
“Kita pergi kemana?” tanya Della saat duduk di sebelah Dimas. Dia sudah siap untuk berlatih hari itu dan penampilannya tidak kalah dari Dimas. Della ikut-ikutan menggunakan warna putih dan jeans biru. Tapi Della lebih memilih kaus alih-alih kemeja rapi seperti Dimas.
“Tembalang. Hari Minggu seperti ini jalan-jalan di dalam kampus cukup ideal untuk orang yang belum pernah berlatih mobil.” Jawab Dimas.
“Tapi bukannya jalannya naik turun?” tanya Della lagi.
“Justru itu, sekali kita menguasai jalan seperti itu, kita tinggal menyesuaikan diri dengan keadaan jalan yang ramai kendaraan. Atau apa menurutmu menyetir melewati jalan Pandanaran adalah pilihan yang lebih baik? Hari Minggu seperti ini pasti banyak sekali kendaraan yang berlalu-lalang di sana. Meskipun jalannya lurus dan halus, aku khawatir kamu akan menabrak sesuatu di sana.”
Lagi-lagi Della hanya bisa mengangguk mendengar penjelasan Dimas.Penjelasan itu cukup masuk akal meskipun Della masih kurang yakin, mana yang lebih baik: belajar di jalan yang kecil, berkelak-kelok, dan naik turun tapi sepi, atau di jalan yang besar, rata, lurus, tapi ramai. Della masih merasa seharusnya dia belajar di lapangan yang luas.
Dimas ternyata memang membawa Della ke lapangan terlebih dahulu.
“Karena kamu belum pernah sama sekali belajar mobil, kurasa lebih baik mengajarkan dasar-dasarnya di sini.” Kata Dimas saat mereka bertukar kursi. Della pindah ke kursi pengemudi dan Dimas ke kursi penumpang yang di depan.
“Di bawah ada tiga pedal. Itu kopling, rem, dan gas.” Dimas menunjuk pedal di bawah secara berurutan dari kiri ke kanan.
“Yang ini adalah pengatur gigi.” Dimas memegang tuas di sebelah kiri Della. “Ada tulisannya: 1-2-3-4-5, dan R. Gerakkan sesuai dengan tanda yang ada di situ sambil menekan kopling. Dalam posisi diam sebaiknya gigi dalam posisi nol. Itu dapat dilihat dengan tuas yang dapat digerakkan secara bebas ke segala arah tanpa menekan gigi.” Dimas menggerak-gerakkan tuas itu dengan mudah, “Ini berarti kita berada dalam gigi nol.”
Della mencatat semua penjelasan Dimas dalam otaknya. Pria itu menunjukkan ini dan itu serta bagaimana cara menggunakannya sebelum mengizinkan Della menyalakan mesin. Butuh waktu sampai beberapa menit sampai Dimas selesai dengan penjelasannya.
“Sekarang coba nyalakan mobilnya.” Perintah Dimas akhirnya.
Della memutar anak kunci ke posisi start. Mobil menderum perlahan. Yak, Della sudah bisa menyalakan mesin.
“Bagus, sekarang coba mundur.”
Della menginjak tuas kopling, memindahkan gigi ke posisi R, lalu menekan gas kuat-kuat.
“Gas nya jangan terlalu dalam, nanti kita bisa menabrak ke belakang.” Tegur Dimas. “Coba tidak terlalu dalam tapi ditekan. Lalu lepaskan koplingnya perlahan-lahan.”
Della mengikuti perintah Dimas. Dikuranginya tekanan pada pedal gas dan perlahan-lahan diangkatnya kaki kirinya dari pedal kopling. Mobil menderum perlahan dan mulai bergerak ke belakang. “Asyik mundur!” Della berseru norak dan saat itu kaki kirinya terangkat dari pedal kopling. Mobil pun berhenti mendadak.
“Jangan lupa tekan koplingnya.” Dimas mengingatkan.
Begitulah, Della belajar maju dan mundur sampai beberapa kali. Cukup sering mobilnya mati karena lupa menginjak pedal kopling dan gas dan beberapa kali mereka berhenti secara mendadak karena Della menginjak rem terlalu cepat. Tiap kali hal itu terjadi Dimas pasti mengomentari. Tidak dengan keras sih, tapi cukup untuk membuat Della merasa bodoh. Setelah dirasa cukup lancar untuk maju-mundur, Dimas membuat Della belajar berbelok. Agak sulit karena Della merasa mengendara mobil seperti mengendarai motor, dimana sedikit gerakan saja mampu membelokkan kendaraan.
“Putar beberapa kali.” Dimas membuat gerakan memutar beberapa kali di udara, “Kalau mau membelok harus putar beberapa kali lalu langsung kembalikan setir ke posisi netral. Posisi netralnya seperti ini.”
“Apa kita tidak akan berputar-putar kalau aku putar setirnya beberapa kali?” Della berusaha mempertahankan argumennya.
“Tidak. Tapi kalau kamu memutarnya seperti tadi, mobil ini tidak akan bisa belok. Bagaimana mau naik mobil di jalan nanti?”
Della mengikuti kemauan Dimas, memutar setirnya beberapa kali. Mobil pun berbelok ke arah yang diinginkan.
“Jangan lupa kembalikan ke posisi netral!” ucapan Dimas terdengar sedikit histeris karena mobil mereka mulai berputar-putar.
“Oh iya, lupa.” Della pun mengembalikan setir ke posisi netral. Mobil mereka pun berjalan lurus kembali.
"Fiuh.” Della mendengar suara napas lega dari sebelahnya. Dimas menyandarkan punggungnya dengan santai. Tanpa sadar Della pun merasa lega. Tadi memang agak menegangkan.
“Tidak kusangka menyetir sesulit ini. Jadi supir angkot tidak mudah ternyata.”
“Bukan cuma tidak mudah.” Dimas menimpali, “Saat pertama kali belajar mengemudi, aku merasa pekerjaan itu adalah pekerjaan yang berat.”
Della setuju dengan ucapan Dimas. Saat ini Della merasa tangan dan kakinya dingin serta jantungnya berdebar-debar karena takut menabrak sesuatu atau membuat mobilnya berputar-putar seperti tadi. Kali ini dia sudah cukup lancar mengemudikan mobil. Mereka berputar-putar di lapangan dengan lancar. Della juga belajar mundur dan berpura-pura parkir di sana.
“Parkir itu sulit, jika sudah bisa parkir berarti sudah bisa mengemudi.” Kata Dimas.
“Berarti aku sudah bisa dong?” Della merasa bangga dengan kemampuannya yang meningkat secepat itu, dari belum pernah menyalakan mesin sampai bisa parkir, semua hanya dalam 2 jam latihan.
“Not that fast, Young Lady.” Dimas mengisyaratkan bahwa pelajaran hari itu belum berakhir.
“Kita mau kemana?” Della sedikit tegang saat menanti jawaban Dimas.