'Hujan tak pernah merasa dipermainkan oleh langit, meskipun jatuh berulangkali, tapi dia tetap kembali. Begitupun aku, meski ,,,,,,,arrggh' Gadis itu memekik frustasi sambil menjatuhkan kepalanya ke meja belajar yang terbuat dari kayu jati. Rambutnya acak-acakan tak karuan hasil dari karya tangannya yang tak bisa diam. Dua jam yang lalu, dia mencoba melanjutkan novelnya yang belum sempat dia kerjakan karena sakit tipes yang mengharuskannya di infus lebih dari seminggu. Padahal deadline novel itu adalah akhir bulan April ini, namun gadis itu telah menyia-nyiakan waktu dua minggu karena sakit . Hal ini membuatnya sempat putus asa dan ingin berhenti menulis, namun berkat hinaan dari abangnya yang mengatakan bahwa tukang tidur sepertinya tidak pantas menjadi seorang penulis. Maka dengan semangat membara, gadis itu kembali mencoba menulis lagi. Untuk membuktikan kesungguhannya, setelah selesai makan malam tadi, dia langsung melangkah menuju kamar dan mengunci pintunya. dia bahkan tidak keluar kamar untuk sekedar menonton televisi atau pun buang air. Gadis itu menatap recorder yang ada digenggaman tangan kanannya, berbeda dengan penulis kebanyakan yang biasanya menggunakan buku untuk coretan tulisannya, gadis itu lebih nyaman menggunakan recorder tua pemberian mendiang kakeknya. Menurutnya, hanya recorder itulah satu-satunya benda yang bisa mengobati rasa rindunya pada sang kakek. Pernah sekali abangnya mengejek, mengatakan bahwa seorang penulis itu kemana-mana pasti selalu membawa buku sebagai wadah dalam menuangkan ide-idenya, tidak sepertinya yang malah menggunakan recorder tua itu. 'gue itu mencintai alam seperti anak sendiri tau! mangkanya gue mau menghemat pemakaian kertas, paperless tau gak loe!' Racaunya yang membuat abangnya menguap tak peduli.
Kamar tidur yang berukuran 3 x 4 itu terasa semakin panas karena jendela yang tertutup. Gadis itu berinisiatif membeli es krim di minimarket dekat rumahnya demi menyegarkan pikirannya yang sumpek. Perlahan gadis itu bangkit dari kursi setelah mengikat rambut sebahunya yang lepek karena keringat. Namun langkahnya terhenti saat melihat jam dinding yang menunjukkan pukul satu dini hari. Sungguh, dia sama sekali tidak sadar jika ternyata malam telah larut, padahal rasanya belum lama ini ibunya datang untuk menyuruh makan. Gara-gara terlalu fokus memikirkan deadline novel, gadis itu sampai lupa waktu. Setelah tersadar dari lamunan singkatnya, gadis itu terburu-buru mematikan lampu dan langsung menuju tempat tidur. Setidaknya dia masih memiliki sisa waktu lima jam untuk tidur. Namun tak sampai satu menit setelah memejamkan mata, gadis itu tiba-tiba tersentak lalu bangun lagi. Dia menjerit frustasi sambil menjambak rambutnya.
'Aahhh sial, tugas puisi belum gue buat'
'Arrgh begadang lagi deh'
*******************
Pagi hari sekitar jam enam, saat mentari perlahan bersinar terang dan cuaca hari ini terlihat begitu cerah. Burung-burung keluar dari sangkar, berterbangan kesana kemari diiringi dengan kicauannya. Namun ternyata kicauan burung yang cukup berisik itu tidak mampu membangunkan seorang gadis yang tidur begitu lelap sambil memeluk guling kesayangannya. Gadis itu bahkan tidak bergerak sama sekali ketika neneknya, Minarsih berteriak sedari tadi membangunkannya.
"Aduh cah ayu, koe iki tidur atau mati sih? daritadi dibangunin, kok gak bangun-bangun" omel neneknya sambil menggoyang-goyangkan tangannya.Namun tentu saja, gadis itu tetap bergeming. Karena tak kunjung bangun, neneknya pun menyerah membangunkan gadis itu. Ketika melihat nenek berlalu meninggalkan kamar cucunya itu, ibu sang gadis pun segera menuju kamar anaknya lantas mengambil air minum diatas nakas yang berada di samping ranjang.
'Byuurr'
'Arrgh uhuuk uhhuk' Gadis itu sontak terduduk sambil menepuk-nepuk dadanya, kepalanya pening karena tiba-tiba dibangunkan dengan paksa, dadanya masih sesak karena tersedak air yang disiramkan ibunya tadi. Gadis itu menatap tajam ibunya yang menurutnya begitu tega membangunkannya dengan cara tidak manusiawi, namun sang ibu hanya diam menatap anaknya datar, lalu ucapan datar ibunya membuat gadis itu terbirit-birit menuju kamar mandi.
'Sudah jam setengah tujuh, kamu mau telat lagi?' Ucapan sang ibu terus terngiang-ngiang di kepalanya membuat gadis itu hanya cuci muka dan gosok gigi, lalu dengan kecepatan kilat memakai seragam. Gadis itu bertambah panik saat melihat jam yang menunjukkan angka 07.40, buru-buru dia menyisir rambut lalu memasukkan buku pelajarannya hari ini. Setengah berlari, dia pun keluar rumah setelah mengucapkan salam pada neneknya.
Jam menunjukkan pukul 07.20 ketika angkot yang ditumpanginya tiba di depan gerbang sma bakti jaya. Setelah memberikan uang dan mengucapkan terimakasih kepada abang angkotnya, gadis itu lantas berlari menuju gerbang sekolahnya yang menjulang tinggi. Dia menatap nanar kearah gerbang yang telah tertutup itu, pengorbanannya menuju sekolah terasa sia-sia.
"Hei, kamu yang telat! ayo cepat baris di depan, dibagian anak yang telat"" Ucap seorang guru piket yang berteriak dari kejauhan yang menghentikan langkah gadis itu untuk bolos. Disinilah dia berdiri, dibarisan depan yang berhadapan langsung dengan barisan para guru dan siswa yang melakukan kewajiban sakral setiap senin pagi, upacara bendera.