Aku selalu menyukai terjun bebas antara tertidur dan terjaga. Beberapa detik setengah-sadar yang berharga itu, sebelum kau membuka mata, ketika kau mendapati dirimu percaya bahwa mimpimu mungkin adalah kenyataan. Momen kegembiraan atau kepedihan mendalam, sebelum indra-indramu kembali berfungsi dan memberitahumu siapa, di mana, atau apakah dirimu. Untuk saat ini, untuk sedetik saja lebih lama, kunikmati khayalan alami itu, yang mengizinkanku untuk membayangkan bahwa aku bisa menjadi siapa saja, aku bisa berada di mana saja, aku bisa dicintai.
Aku merasakan cahaya di balik kelopak mataku dan perhatianku tertuju kepada cincin platinum di jariku. Benda itu terasa lebih berat daripada biasanya, seakan membebaniku. Selimut menutupi tubuhku, baunya asing dan aku memikirkan kemungkinan bahwa diriku sedang berada di hotel. Semua ingatan mengenai apa yang kumimpikan telah menguap. Aku berupaya menggayuti mereka, berupaya menjadi seseorang dan tetap berada di suatu tempat yang bukanlah tempatku berada, tetapi aku tidak bisa. Aku hanyalah diriku dan aku berada di sini, di tempat yang aku tahu tidak kuinginkan. Tungkai-tungkaiku terasa nyeri dan aku begitu lelah, tidak ingin membuka mata—hingga aku ingat bahwa aku memang tidak bisa melakukannya.
Kepanikan menyebar ke seluruh tubuhku seperti semburan udara sedingin es. Aku tidak bisa mengingat di mana aku atau bagaimana aku bisa berada di sini, tetapi aku tahu diriku: Namaku Amber Reynolds; usiaku tiga puluh lima; aku menikah dengan Paul. Kuulangi ketiga hal ini dalam hati, kugayuti erat-erat, seakan mereka bisa menyelamatkanku, tetapi aku sadar bahwa sebagian kisah telah hilang, beberapa halaman terakhir telah dirobek. Ketika ingatanku selengkap yang bisa kuhimpun, aku menguburkannya hingga cukup tenang dalam kepalaku, agar aku bisa berpikir, merasa, dan berupaya memahami semuanya. Ada satu ingatan yang menolak untuk patuh, berjuang mencari jalan menuju permukaan, tetapi aku tidak ingin memercayainya.
Suara mesin menerobos kesadaranku, mencuri beberapa fragmen harapan terakhirku, dan tidak meninggalkan apa pun kecuali pengetahuan yang tak dikehendaki bahwa aku sedang berada di rumah sakit. Bau steril tempat itu membuatku ingin muntah. Aku benci rumah sakit. Itu rumah kematian dan penyesalan yang salah waktu, bukan tempat yang kupilih untuk kukunjungi, apalagi kuinapi.
Tadi ada beberapa orang di sini, semuanya orang asing, kini aku ingat itu. Mereka menggunakan kata yang kupilih untuk tidak kudengar. Aku mengingat banyak keributan, suara-suara lantang dan ketakutan, dan bukan hanya suaraku sendiri. Aku berjuang untuk menggali lebih banyak, tetapi benakku mengecewakanku. Sesuatu yang sangat buruk telah terjadi, tetapi aku tidak ingat apa atau kapan.
Kenapa dia tidak ada di sini?
Mengajukan pertanyaan yang telah kuketahui jawabannya itu bisa membahayakan.