Sometimes I Lie

Noura Publishing
Chapter #2

Saat Itu : Seminggu sebelumnya—Senin, 19 Desember 2016

Aku berjingkat-jingkat menuruni tangga dalam kegelapan di­ni hari, berhati-hati agar tidak membangunkan dia. Sega­la­nya berada di tempat semestinya, tetapi aku yakin ada sesuatu yang hilang. Aku mengenakan mantel tebal musim dingin untuk melawan udara dingin dan berjalan ke dapur untuk memulai ruti­nitasku. Aku mulai dengan pintu belakang dan berulang kali me­mutar handelnya hingga aku yakin pintu itu terkunci.

Ke atas, ke bawah. Ke atas, ke bawah. Ke atas, ke bawah.

Kemudian, aku berdiri di depan oven besar dengan siku dite­kuk, seakan hendak memimpin orkestra tungku-tungku kompor gas yang mengesankan. Jemariku menciptakan bentuk yang tak lagi asing; telunjuk dan jari tengah menyentuh jempol pada ma­sing-masing tangan. Aku berbisik pelan kepada diri sendiri, sam­­bil secara visual mengecek apakah semua tombol berada dalam posisi tidak menyala. Aku melakukan pengecekan menyeluruh tiga kali, kuku jemariku saling mengetuk, menciptakan kode Morse versiku sendiri. Setelah puas karena segalanya aman dan terkendali, aku pergi meninggalkan dapur, berhenti sebentar di ambang pintu, bertanya-tanya apakah hari ini aku mungkin perlu berbalik dan memulai seluruh rutinitas itu kembali. Tidak.

Aku beringsut melintasi papan-papan lantai yang berderit me­nuju lo­rong, mengambil tasku dan memeriksa isinya. Ponsel. Dom­pet. Kunci-kunci. Aku menutup tas, membukanya, lalu memeriksanya kembali. Ponsel. Dompet. Kunci-kunci. Aku me­meriksa un­­tuk ke­tiga kalinya dalam perjalanan ke pintu depan. Aku ber­hen­ti se­jenak dan terkejut ketika melihat perempuan di cermin mem­balas tatapanku. Aku memiliki wajah seseorang yang dulunya mungkin cantik, tetapi kini aku nyaris tidak mengenalinya. Palet campuran antara terang dan gelap. Bulu mata hitam panjang membingkai mata hijau besarku, bayang-bayang muram menetap di bawahnya, alis cokelat tebal bercokol di atasnya. Kulitku berupa kanvas pucat yang meregang di atas tulang pipi. Rambutku begitu cokelat hingga nyaris hitam, dan helai-helai rambut lurus malas tersampir di ba­huku karena tidak punya gagasan yang lebih baik. Aku menyisir kasar rambutku dengan jemari, lalu mengucirnya, menyingkirkan­nya dari wajah dengan tali pengikat yang kuambil dari perge­langan tangan. Bibirku membuka seolah hendak meng­ucapkan sesuatu, te­tapi hanya udara yang lolos dari bibirku. Wajah itu, yang hanya cocok untuk bekerja di radio—dengan kata lain terlalu jelek untuk tampil di depan publik—mem­balas tatapanku.

Aku tersadar akan waktu dan mengingatkan diri sendiri bahwa ke­reta api tidak akan menungguku. Aku belum berpamitan, tetapi kurasa itu tidak penting. Aku memadamkan lampu dan mening­galkan rumah, mengecek tiga kali apakah pintu depan terkunci, lalu berjalan menyusuri jalan setapak kebun yang diterangi cahaya bulan.

Hari masih sangat pagi, tetapi aku sudah terlambat. Kini, Madeline pasti sudah berada di kantor, koran sudah dibaca, semua berita bagus direnggut. Para produser pasti sudah memilih di antara sisa-sisa koran, sebelum diteriaki dan digertak agar menyerahkan semua wawancara terbaik kepada Madeline untuk acara pagi ini. Taksi-taksi pasti sedang dalam perjalanan menjemput dan menu­­runkan tamu-tamu yang terlalu bersemangat tetapi kurang persi­apan. Setiap pagi berbeda, tetapi sudah benar-benar menjadi ru­ti­­nitas. Enam bulan telah berlalu sejak aku bergabung dengan tim Coffee Morning, tetapi tidak ada yang berjalan sesuai rencana. Banyak orang yang pasti menganggap aku sudah memiliki pekerjaan impian, tetapi mimpi buruk juga tergolong mimpi.

Aku berhenti sejenak di foyer, membeli kopi untukku sendiri dan seorang kolega, lalu menaiki tangga batu ke lantai lima. Aku tidak suka lift. Aku memasang senyum di wajah sebelum melangkah memasuki kantor, dan mengingatkan diri sendiri bahwa inilah hal terbaik yang bisa kulakukan; berubah untuk menyesuaikan diri dengan orang-orang di sekitarku. Aku bisa menjadi “Amber si teman” atau “Amber si istri”, tetapi kini saatnya untuk “Amber dari Coffee Morning”. Aku bisa memainkan semua peran yang diberikan kehidupan kepadaku, aku hafal semua dialogku; aku telah berlatih untuk waktu yang sangat lama.

Matahari baru saja terbit. Namun, sesuai prediksi, tim kecil yang didominasi kaum perempuan itu sudah berkumpul. Tiga produser berwajah segar, disokong kafein dan ambisi, duduk membungkuk di meja mereka. Dikelilingi tumpukan buku, skrip lama, dan mok kosong, mereka mengetuk-ngetuk kibor seakan nyawa kucing me­reka sedang dipertaruhkan. Di pojok jauh, aku bisa melihat kilau lampu Madeline di kantor pribadinya sendiri. Aku duduk di me­jaku dan menyalakan komputer, membalas senyum dan sapaan hangat dari semua orang lainnya. Orang bukanlah cermin, mereka tidak melihatmu sebagaimana kau melihat dirimu sendiri.

Madeline sudah berganti tiga asisten pribadi tahun ini. Tak seorang pun bertahan terlalu lama sebelum dia memecat mereka. Aku tidak ingin kantor sendiri dan tidak perlu asisten pribadi, aku suka duduk di luar sini bersama semua orang lainnya. Kursi di sampingku kosong. Tumben Jo belum datang jam segini, aku kha­watir ada sesuatu yang keliru. Aku menunduk memandang kopi cadangan yang mulai dingin itu, lalu memutus­kan untuk mem­ba­wanya ke kantor Madeline. Sebut saja itu tawaran damai.

Aku berhenti di ambang pintu, seperti vampir yang menanti undangan masuk. Kantor Madeline menggelikan kecilnya, secara harfiah lemari penyimpanan yang diubah karena dia tidak mau duduk bersama seluruh anggota tim lainnya. Foto-foto berbingkai yang menampilkan Madeline dengan para selebritas tampak ber­jejalan memenuhi setiap senti dinding palsu itu, dan rak kecil ber­isi penghargaan-penghargaan terpasang di belakang mejanya. Dia tidak mendongak. Aku mengamati rambut pendek jelek itu, yang akar kelabunya menyembul di bawah rambut hitam runcing-runcing. Dagunya berlipat dua, tetapi untungnya seluruh daging tu­buh­nya yang bergelambir tersembunyi di balik pakaian hitam longgar. Lampu meja menerangi kibor, tempat jemari Madeline yang dihiasi cincin melayang di atasnya. Aku tahu dia bisa meli­hatku.

“Kupikir kau mungkin perlu ini,” kataku, dan aku kecewa dengan kesederhanaan kalimat itu, mengingat betapa lama waktu yang kuperlukan untuk menyusunnya.

“Taruh saja di meja,” jawab Madeline, matanya tidak mening­galkan layar komputer.

Terima kasih kembali.

Kipas pemanas ruangan kecil meletup-letup di pojok dan ke­hangatan beraroma asap menjalari kakiku, menahanku di tempat. Aku mendapati diriku menatap tahi lalat di pipi Madeline. Ter­kadang, mataku melakukan hal itu: berfokus kepada ketidaksem­purnaan seseorang, sejenak lupa bahwa mereka bisa melihatku mengamati hal-hal yang mereka lebih suka jika tidak kuamati.

“Akhir pekanmu menyenangkan?” tanyaku

“Aku belum siap bicara dengan orang-orang,” jawab Madeline. Aku tidak mengganggunya lagi.

Sekembalinya di meja, aku meneliti tumpukan pesan yang ter­kumpul sejak Jumat: beberapa novel yang tampak mengerikan dan tak akan pernah kubaca, surat penggemar, dan undangan pesta amal yang menarik perhatianku. Aku menyesap kopi dan melamunkan apa yang mungkin akan kukenakan dan siapa yang akan kuajak se­andainya aku menghadiri pesta itu. Sungguh, seharusnya aku lebih banyak melakukan pekerjaan amal, tetapi tam­pak­nya aku tidak per­nah punya waktu. Madeline adalah wajah dari Crisis Child dan juga suara dari Coffee Morning. Aku selalu menganggap kedekatan hubungannya dengan badan amal anak terbesar di seluruh negeri itu agak ganjil, mengingat dia benci anak dan tak pernah punya anak. Dia bahkan tak pernah menikah. Dia benar-benar hidup sendirian, tetapi tak pernah kesepian.

Begitu selesai menyortir pesan, aku membaca catatan-catatan pengarahan untuk acara pagi ini; selalu berguna jika memiliki sedikit pengetahuan latar belakang sebelum acara dimulai. Aku tidak bisa menemukan pena merahku, jadi aku berjalan ke lemari alat tulis.

Lemari itu sudah diisi kembali.

Lihat selengkapnya