Sometimes I Lie

Noura Publishing
Chapter #3

Kini : Boxing Day, Desember 2016

Aku berupaya membayangkan sekelilingku. Aku tidak berada di sebuah bangsal rumah sakit, di sini terlalu hening. Aku tidak berada di kamar mayat; aku bisa merasakan diriku bernapas, sedikit rasa nyeri di dada setiap kali paru-paruku dikembangkan oleh oksigen dan upaya. Satu-satunya yang bisa kudengar adalah su­ara teredam sebuah mesin yang berbunyi bip bip lesu di dekatku. Anehnya, suara itu menenangkan; satu-satunya temanku di jagat raya yang tak terlihat. Aku mulai menghitung jumlah bip-nya, me­ngumpulkan mereka dalam kepalaku, takut bip-bip itu akan ber­henti dan tidak yakin apa kemungkinan artinya.

Kusimpulkan bahwa aku berada di sebuah kamar privat. Ku­bayangkan diriku terkurung di dalam sel klinisku, waktu menetes perlahan dari keempat dindingnya, membentuk genangan-genang­an lumpur kotor yang lambat laun akan meninggi dan me­neng­ge­lamkanku. Hingga saat itu tiba, aku berada dalam ruang tak ter­ba­tas, tempat khayalan berbaur dengan kenyataan. Hanya itu yang ku­la­­kukan saat ini, ada dan menanti, tidak tahu untuk apa. Aku telah dikembalikan kepada setelan pabrikku sebagai manusia, manusia yang tidak bisa melakukan apa-apa. Di balik dinding-dinding yang tak terlihat, kehidupan terus berjalan, tetapi aku diam, membisu, dan terkurung.

Nyeri fisiknya nyata dan menuntut untuk dirasakan. Aku ber­tanya-tanya seberapa parah cederaku. Tengkorakku serasa diceng­ke­ram dengan keji, berdenyut-denyut seirama detak jantung. Aku mulai menilai tubuhku dari atas ke bawah, dengan sia-sia mela­ku­kan diagnosis sendiri. Mulutku ditahan agar tetap terbuka, aku bisa merasakan benda asing diganjalkan di antara kedua bibirku, di antara kedua deretan gigiku, mendesak melewati lidahku dan me­lun­cur turun ke tenggorokan. Tubuhku, secara ganjil, seolah ti­dak lagi kukenali, seakan sudah menjadi milik orang lain, tetapi lengkap seutuhnya hingga kaki dan jemarinya. Aku bisa merasakan kesepuluh jemari kaki itu dan ini mendatangkan kelegaan besar. Aku berada di sini dengan tubuh dan pikiran utuh; aku hanya perlu seseorang untuk menyalakanku kembali.

Aku bertanya-tanya seperti apa tampangku, apakah seseorang sudah menyisir rambutku atau membersihkan wajahku. Aku bu­kan orang yang terlalu mementingkan penampilan, aku lebih suka didengar daripada dilihat, lebih suka lagi jika sama sekali tidak di­per­hatikan. Aku sama sekali tidak istimewa. Aku tidak seperti perempuan itu. Sesungguhnya, aku lebih mirip bayang-bayang. Se­buah noda kotor kecil.

Walaupun aku takut, ada semacam insting purba yang mem­beritahuku bahwa aku akan berhasil mengatasi ini. Aku akan baik-baik saja, karena aku memang harus begitu. Dan karena aku selalu begitu.

Aku mendengar pintu membuka dan suara langkah kaki men­dekati ranjang. Aku bisa melihat bayang-bayang gerakan yang ber­ingsut di balik penglihatanku yang berselubung. Ada dua orang. Aku mencium aroma hairspray dan parfum murah mereka. Mereka sedang mengobrol, tetapi aku tidak begitu bisa memahami kata-kata mereka; belum bisa. Sementara ini, yang terdengar hanyalah kebisingan, seperti film asing tanpa teks. Salah seorang dari mereka meraih lengan kiriku dari balik selimut. Itu sensasi ganjil, seperti ketika kau berpura-pura tungkaimu selemas tungkai anak kecil. Aku mengernyit secara internal ketika merasakan ujung jemarinya di kulitku. Aku tidak suka disentuh oleh orang asing. Aku tidak suka disentuh oleh siapa pun, bahkan oleh pria itu; tidak lagi.

Dia membelitkan sesuatu di lengan kiri atasku dan, ketika benda itu mengetat di kulitku, kusimpulkan bahwa itu turniket. Dengan lembut, dia meletakkan kembali lenganku dan berjalan me­mutar ke sisi lain ranjang. Perawat kedua, kusimpulkan itulah mereka, berdiri di ujung bawah ranjangku. Aku mendengar suara kertas digerakkan oleh jemari yang menyelidik, dan kubayangkan dia sedang membaca novel atau arsip rumah sakitku di bawah sana. Suara-suara menajam dengan sendirinya.

“Yang terakhir untuk diserahkan, lalu kau bisa kabur dari sini. Apa yang terjadi kepada yang ini?” tanya perempuan yang terdekat denganku.

“Datang larut malam kemarin. Semacam kecelakaan,” jawab perempuan satunya, yang berjalan sambil bicara. “Ayo kita masuk­kan cahaya matahari ke dalam sini, untuk melihat apakah kita bisa sedikit menceriakan segalanya.” Aku mendengar suara derit tirai yang dibuka dengan paksa dan mendapati diriku berselubung ke­suraman yang lebih cerah. Lalu, secara mendadak, sesuatu yang ta­jam menusuk lenganku. Itu sensasi asing dan rasa nyerinya mena­rikku ke dalam diriku sendiri. Aku merasakan sesuatu yang sejuk berenang-renang di bawah kulitku, menjalari tubuhku hingga men­jadi bagian diriku. Suara mereka menyadarkanku kembali.

“Mereka sudah menelepon keluarga terdekatnya?” tanya pera­wat yang kedengaran lebih tua.

Lihat selengkapnya