Bulan Oktober adalah sesuatu yang tidak akan Emma lupa. Ada satu tanggal di sana yang membuat bintang pun minder akan sinar binar mata cokelat Emma. Itulah dahulu kala. Omong kosong cerita dongeng sebelum tidur.
Emma kini benci tidur. Bukan karena takut tidak akan pernah bangun, dia malah kecewa akan realita setelah bangun. Sesuatu yang kau jaga di genggaman tangan dalam mimpi, tak akan pernah hadir di kehidupan nyata setelah mentari menyapa.
Huh, sekarang si bundar kuning menyala itu pun bersembunyi. Menghindar kah dari amukan Emma?! Perjalanan ke Danlira, desa kecil yang bahkan tak ada petani. Rumput hijau biasa yang di banggakan bagai permadani. Ya, sepertinya waktu kecil Emma menjadi salah satu dari penggemar desa asri ini. Ketahuilah, sekarang tidak lagi. Usia Emma mau masuk tujuh belas tahun. Membuang semua fantasi petualangan yang bersinar di tempat kayu kayu ini.
Di kursi belakang, Emma tersenyum kecut mengingat rasa kesal setelah menonton Terabithia. Menyesal pernah menyia - nyiakan waktu untuk menangis semalaman. Kakeknya waktu itu bilang kalau seorang putri tidak menangis, lalu Emma menjawab, bagaimana putrid tidak menangis ketika ratu pergi.
Beribu ribu hari dilalui, Emma menjadi anak ceria yang seolah – olah mengikuti tutur kata kakeknya. Cukup tidak menjadi tidak terlihat, tidak juga menjadi pusat perhatian yang setiap minggu jalan jalan bersama sahabat. Jangan kaget, Emma itu tidak punya teman. Lucu, tapi ya benar dia pasti punya teman, tapi bukan teman yang seperti itu.
Dia duduk sendiri. Sekolahnya memang memberlakukan seperti itu. Dia cukup pintar, namun terlihat bodoh di sekolah yang terbaik itu. Jika ada alur dalam drama berkata sekolah elit isinya anak anak berotak kosong berdompet tebal, nyatanya tidak demikian. Bayangkan. Hanya bayangkan sejenak. Orang tua yang mencapai titik sukses, pasti berpendidikan. Wawasan mereka tentu mampu memukul palu kayu untuk memupuk otak putra mereka bukan.
Begitulah siswa siswi di sekolah Emma. Hm, mungkin harus dikatakan sekolah yang dulu karena sekarang Emma sudah sampai ke halaman sekolah yang baru.
Mengikuti kedua orang tuanya yang sangat ramah mengantarkan ke sekolah antik ini, Emma membuka pintu mobil yang sama nuansanya dengan jalan menuju bangunan di depan mata itu.
Ruang di pikiran Emma, putri seorang detektif kota yang menutupi identitasnya, menggambarkan tabel tabel perbandingan. Dua manic mata cukup menangkap sebagai kamera dan langsung di simpan untuk disandingkan dengan potret sekolah menengah atasnya yang dulu.
Kau pernah menonton kartun drakula dengan latar mansion penuh sarang laba labanya? Bandingkan penampakan itu dengan sekolah internasional tiga lantai modern ber lapangan luas. Ada kesamaan, di sini halaman hijau juga, namun sangat tidak terawat. Seratus delapan puluh derajat bedanya. Emma memohon bagaimana pun juga, tolong manusia, ya orang – orang yang normal.
BRUK
“AW!” sial. Emma jatuh duduk di aspal. Matanya tertutup sebal bersiap mengutuk siapa saja yang berani menambah buruk kesannya di pagi hari ini. Sekali pun dia adalah sang kepala sekolah, Emma tidak akan peduli seperti kedua orang tuanya sekarang yang sepertinya sudah berjalan jauh di depan sana. Ya, tidak terdengar suara khawatir ibu melihat anaknya jatuh. Emma jadi teringat nasihat ayah yang menyadarkannya agar berjalan agak lebih cepat.
“KAU-“
“Kau baik baik saja?”
Makian akan Emma bukan terpotong oleh kalimat laki laki yang berjongkok di depan Emma sekarang. Emma benar benar menghentikan katanya dan masih menganga.
Ada pangeran di sekolah ini. Atau mungkin dia adalah vampire yang tinggal di mansion tua. Tidak heran tempat pelosok masih ada beberapa orang yang mau tinggal. Lihat saja tampan bermata cemas itu.