Langit yang tak mendung lagi menjadi teman jalanan ramai di pagi hari. Embun pagi itu sepertinya bukan asli, melainkan sisa hujan deras tadi malam. Bekas jejak rintik yang dihiasi debu menjadi penghalang pandangan mata Leala untuk sejenak mencari rasa manis di sela hijaunya pohon pinggir jalan raya.
Huh, padahal Leala tidak terlambat, tapi bus menuju jalan sekolah ini sumpek sepanas kuah bakso Nyai Shana.
"Halte Jalan Sekolah..." suara merdu tidak bernada syahdu itu menjadi penanda ada orang keluar dan datang.
Ini bukan tujuan Leala. Dia yang merupakan siswi SMA Gardhapati kelas 2 ini, harus menghirup udara terbatas berebut oksigen lagi menunggu hingga 2 halte terlewati. Sebenarnya rumah Leala menuju SMA Gardhapati tidak sejauh itu. Dari kompleks perumahan sederhana yang jarang memiliki gerbang depan itu, cukup bersepeda saja tidak sampai lelah bila Leala mengayuh pedal hingga gerbang belakang sekolah.
Ada dua alasan mengapa Leala tidak lagi naik sepeda saja untuk berangkat ke sekolah seperti pada saat kelas 1. Pertama, dikarenakan kebijakan pihak kesiswaan atas usulan kepala sekolah agar pagi hari gerbang belakang SMA Gardhapati yang lebih mewah dari pintu masuk utama itu ditutup. Semenjak gembok kuno diketahui bisa dibobol dengan jepit rambut atau peniti bengkok, menyebabkan anak-anak kesiangan tidak ketahuan terlambat. Kukatakan, itu adalah salah si gembok. Bukankah anak-anak yang malah begitu pintar bisa membuka kunci? Sebuah persepsi yang membodohkan orang dan terlihat tidak mau kalah disebut bodoh.
"Leala!"
Dan itu alasan kedua. Yang sebenarnya adalah alasan utama. Ya, yang pertama itu cuma buat Jouska pelanggan lamunan Leala saja.
"Leala cantik bawa minum?" Itu suara dimaniskan Jei, sahabat Leala. Sahabat yang mau bersahabat dengan sahabatnya. Entah kata-kata Leala si anak introvert yang mau punya teman si tukang cari masalah sama kakak kelas songong atau kalimat Jei si anak ekstrovert yang mau temenan sama orang gak bisa diajak asik kaya Leala. Ya, nyatanya mereka sepasang sahabat. Intinya Leala dan Jei bersahabat.
"Kamu itu tahu kan kalo abis makan roti isi selai kacang tuh haus, minum dulu kek yang banyak atau bawa botol minum sendiri." Nasihat lirih Leala berbeda dengan sapaan minta minum Jei yang menggelegar mengundang penasaran penghuni ramai bus.
"Iya iya iya! Buruan kasih dulu, haus nih," tangan Jei tak sabar menadah-nadah. Tak sampai capek merasa pegal, Leala sudah memberikan botol minum tupperware nya sekalian dibuka tutupnya.
Leala berdiri memberikan kursi kepada Jei. Bukan hanya karena Jei akan minum, tapi biasanya memang seperti itu. Kursi duduk Leala selama melewati 2 halte menuju Jalan Sekolah tempat rumah Keluarga besar Jei, nantinya akan sukarela diberikan pada Jei. Kalo kata Jei yang hobi sarapan pake roti isi selai kacang tapi gak pernah jerawatan itu, duduknya buat dibagi dong, 2 halte 2 halte sampe nantinya sampai SMA Gardhapati.
"Le! Kamu udah lihat jadwal pelajaran kelas kita belum? Gilaaak... 3 guru pelit nilai sekaligus! Ya enak kalo anak anak kelas kita pada ambis, nah ini... tahu sendiri kan kamu. Ditanya Bapak musik modern doang pada nunduk melek. Idolanya Banksy semua-"
"Sstt sstt! Je!" Bayangin gimana malunya Leala. Motong kalimat Jei udah jadi menu makanan paling sering ditelan Leala. Rasanya beda jauh sama roti isi selai kacang.
"Sorry, Pak... sorry, Bu..." Sebenarnya cuma 2 orang bapak bapak dan ibu ibu di bus warna merah ini. Dan Jei benar benar menunduk minta maaf kearah mereka berdua.
"Halte SMA Cendekia..." suara wanita belum sarapan itu lagi. Entah kenapa kalo Leala denger pengumuman siaran suaranya lemes banget menurut dia.
Lebih dari setengah isi orang di bus keluar. Dengan seragam putih abu-abu mereka sudah dipastikan siswa SMA Cendekia, tetangganya Sekolah Leala dan Jei, SMA Gardhapati.
"Mukanya pada songong songong amat. Kaya ngerasa siswa paling pinter se-Kota. Ya, iya si gak salah, tapi nengok kanan kiri kek atau nunduk liatin kaki takut keinjek. Lempeng amat tuh muka, natap ke depan terus kaya robot." Suara itu sebenarnya hanya untuk telinga Jei sendiri, namun Leala tetap dengar karena berdiri tepat di samping kursi bus single yang didudukin sama Jei.
Leala udah hapal sama cerocosan Jei yang sebelas dua belas kaya barusan. Walaupun SMA Cendekia lebih dekat dari komplek rumah Jei, yaitu di Jalan Sekolah, tapi Jei lebih milih masuk ke SMA Gardhapati dan akhirnya ketemu sahabat terbaiknya, Leala, deh.
Walau alasan sederhananya kata Jei lebih suka seragam putih abu-abu di SMA Gardhapati yang dihiasi rompi merah maroon, nyatanya kenapa Jei milih sekolah seni Gardhapati ini daripada sekolah umum Cendekia adalah karena mantan pacar pertama yang paling disayanginya dulu ada di sekolah sebelah itu.
"Halte SMA Gardhapati..." Akhirnya sampai juga di sekolah tercinta. Tidak hanya Leala dan Jei yang turun dari Bus. Ada sekitar 5 anak dengan seragam masih bau baru juga turun malu-malu. Dapat dipastikan mereka siswa tahun ajaran baru.
"Heran deh, udah jam 7 kurang 4 menit, anak anak baru masih santai planga plongo terkagum kagum lihat gedung artistik sekolah tercinta kita," Jei melihat jam tangannya yang melingkar di tangan kanan seraya mengalungkan tangan kirinya ke lengan Leala, "perasaan dulu kita PLS jam tengah 7 udah baris cek perlengkapan di salah salahin sama pengurus OSIS," lanjut Jei.
"Mungkin karena hari ini gak ada upacara bendera?" Jawab Leala tidak terlalu yakin.