Somewhere in Elsiontra

Adiba
Chapter #2

Rajin vs Malas

Terlambat menyadari kalau hari pertama itu sungguh luar biasa. Pasti sepasang bola mata akan melihat hal yang buruk terlebih dahulu, namun sejatinya hati berusaha menyaring untuk menerima sesuatu yang baik baik saja. Ya, kalau hati ini sudah dibelikan saringan oleh pemiliknya.

Leana dan sahabat cerewetnya, Jei tidak mendapat ceramah panjang dari Guru galak matematika karena tujuan langkah sepatu tidak ber hak itu bukan ke kelas 2D. Memang sempat mampir, tapi itu hanya sebentar. Benar – benar hanya sebentae dan sangat sebentar.

Lari anak muda memang selalu menang jika dikejar anjing kegentingan. Selepas Leana dan Jei sampai duduk di bangku paling depan yang masih kosong, Bu Guru yang disebut Jei Bu Mtk ini tak lama hadir batang hidungnya.

Bersama penampakan hanya kepala hingga leher, tersenyum hanya mengucapkan, “Hari ini kelas kalian kosong,” dan sudah. Itu saja. Benar – benar hanya itu saja.

Tidak ada yang bingung, semua siswa di kelas ini serempak mengayunkan tangan gembira tanpa teriak mengganggu kelas sebelah.

“Dari mana kalian?”

“Iya, kalian kalau cari mati jangan di sekolah ini.”

Dua anak laki laki yang duduk tepat di belakang Leala dan Jei mengajak kedua siswa yang terlambat masuk kelas itu bicara.

“Kenapa Leno sayang? Takut ya kalau princess Jei tidak masuk di hari pertama masuk sekolah?” Jei menanggapi dengan ekspresi mata yang membuat teman sebangkunya itu memalingkan muka hendak muntah muntahan yang di tahan.

“Bisa tidak jangan membuat drama?” Aki, siswa tak berdasi yang menasihati Leala dan Jei untuk tidak mencari dimana kematian di area sekolah tadi memandang Leno, sepupu jauhnya dan Jei secara bergantian.

“Aki, sepupu jauhku dari kakek nenek tetangga, Kau lupa? Kalau Jei ini selalu kesepian setelah putus dari Boss Nuka. Jadi, sebagai teman yang baik- AW!” Diakhir kalimatnya yang rumpang itu Leno mendapat jitakan keras dari Jei.

“Ngapain juga kalian manggil mantan terindahku, Boss?” Jei mengerucutkan bibir seraya meneliti apakah jitakannya tadi merusak warna kuku kuku jari tangannya.

“Kan Nuka sering nraktik kita, iya gak Len?” Aki mengajak teman sebangkunya itu salaman sependapat.

“Iya,” Leno membalas ramah uluran tangan Aki, “tenang Jei, bukan sogokan biar bantu Boss Nuka sama kamu balikan, kok.”

“Emang nraktir kalian apaan? Rokok?” Leala yang dari tadi diam juga ingin mengumbar suara lemah lembutnya.

“Hey, kita bukan cowok nakal.“ jawab santai Leno sambil melempar kedipan ke arah Leala.

“Tapi cowok-“ sahut kompak Aki tidak selesai melanjutkan frasa Leno karena ada orang yang datang ke kelas mereka.

“Selamat pagi!” Seorang wanita menyapa ramah butuh sambutan hangat juga.

Lampu di kelas ini speretinya tiba tiba menyala. Bukan ada hantu tapi kiasan semata akan hadirnya wanita ber jas almamater Universitas terbaik di Kota.

“Wah itu kan…”

“Bukannya itu…”

“Aku merasa kecil lihat dia ada di sini.”

“Ada apa ya?”

Bisik bisik kecil lainnya lah yang didengar oleh wanita itu saat masuk dan berdiri tegap di depan kelas.

“Maaf ganggu waktu kalian nih. Aku cuma mau minta bantuan buat sukarelawan yang mau isi kuisioner penelitianku. Aku disaranin Bu Marashequeen Theara Klaratatia buat masuk ke kelas ini.” Panjang lebar penjelasan orang yang tidak asing itu mengapa tiba tiba masuk ke kelas jam kosong ini.

Bukannya sebal, semua siswa yang waktu luangnya diambil ini malah senang. Karena yang berdiri di depan itu adalah kakak kelas mereka dulu, si penulis novel fantasi De La Lu Na dan De Na Nu La. Cerita yang eksklusif hanya ada di majalah sekolah mereka. Terbit setiap satu bulan sekali dan pastinya dinanti nanti.

“Kak cerita dong, kenapa bisa bikin cerita sebagus De La Lu Na dan De Na Nu La,” Leno nyeletuk dengan senyum memamerkan deretan gigi putihnya.

“Iya Kak.”

“Ayo kak cerita.”

“Kalo gak cerita aku gak mau isi kuisionernya kak! Hehe, bercanda.”

Setelah yang lainnya juga mendukung permintaan Leno, mau tidak mau wanita tadi membalas seraya tersenyum manis, “kenapa harus penasaran akan hal yang sudah jelas? Gimana kalau aku ceritakan hal yang dari ingatan kalian saja nanti akan memudar?” tangannya sibuk membagikan selembar kertas dan gelas super kecil mirip tabung reaksi di laboratoriun praktikum ilmu alam namun lebih pendek.

Sebuah saran itu tidak diindahkan 20 siswa di kelas 2D ini. Mata mereka sama sama terpaku pada dua benda bersih yang di letakkan di atas meja depan mereka duduk masing masing. Tidak berhubungan itulah yang mengundang penasaran. Bukan seperti warna merah dan putih yang selalu dinaikkan agar berkibar setiap awal pekan.

“Ini buat apa kak? Terus kenapa kertasnya kosong?” pertanyaan Jei mewakili semua isi pikiran teman sekelasnya.

“Coba kalian tulis nama lengkap kalian di kertas itu dan beri anak panah buat sifat apa yang kalian miliki. Lalu pilih satu teman dengan sifat bertolak belakang sama sifat kalian tadi dan bayangkan wajahnya tanpa kalian berkedip.”

Tiap tiap instruksi di lakukan. Tulisan tangan mulai mengotori kertas putih yang dibagikan tadi. Yang memberi perintah tersenyum tipis sambil berjalan mengitari meja di kelas ini yang jumlahnya ada sepuluh.

“Perih, Kak. Gak boleh kedip beneran nih?” Leon yang sudah selesai menulis menatap papan tulis di depan hingga matanya memerah.

“Menangislah. Taruh air mata kalian di gelas kaca kecil yang aku kasih tadi.”

Suasana hening. Mereka menangis dalam diam. Entah mengapa perasaan campur aduk menggelitiki tubuh mereka. Rasa bersalah adalah menu yang dicicipi bersamaan dengan air mata mengalir.

“Kalian percaya Pulau Na itu ada?”

Tidak ada yang menjawab. Semua mata menatap sedih gelas kaca kecil masing masing.

“Aku percaya Pulau Na itu ada.”

Tetap tidak ada yang menanggapi. Gelas kaca kecil itu penuh air.

“Dalam ceritaku, aku hidup di rumah tanpa pintu dan jendela. Namun, aku diusir dari sana dan tidur di halaman terbuka.”

Wajah wajah seperti belum pernah melihat pertikaian itu berseri. Mereka tenggelam dalam cerita mereka sendiri dan menghargai cerita yang mereka dengar dengan senyuman.

“Leno Leokis. Bagaimana ceritamu?”

“Aku seorang pelaut. Pemuda pertama yang menangkap ikan di laut sebelah utara Iboswa. Aku seorang pekerja keras.”

Pantai di sana berwarna emas karena tidak pernah tergores perahu. Kayu di Atlana dalam pikiran Leno bukan hanya sebagai udara tanpa biaya.

“Jeilani Saviola. Apa kau juga ingin bercerita?”

“Aku tidak ingin melihat orang yang aku sayangi sedih. Aku baru saja mencuri salah satu batu di tembok sepanjang sungai Revi untuk dijadikan nisanku sendiri.”

Kata orang bersembunyi itu mudah, tapi Jei berpendapat lain. Dia pusing memikirkan bagaimana agar ujung helai rambutnya tidak kelihatan.

“Alya Limaya.”

“A-aku… tidak bisa. Takut ada orang meludahi sepatu baruku.”

Baru dipanggil namanya, cerita di dunia Alya, siswa dengan nomor urut pertama di kelas ini ditolaknya.

“Kharisma. Aku ingin mendengar ceritamu.”

“Aku hanya Risma karena aku tidak punya charisma. Bahkan di gua dunkel yang gelap tidak ada yang percaya kata kata ku jika gempa akan datang dan mereka semua mati.”

Beberapa anak menangis mendengar pengakuan Risma si mantan ketua kelas.

“Inwanti… Bimo… Tabita… Rose. Kalian tahu pesan berantai?”

Kini empat nama panggilan di panggil. Mereka mengangguk walau hanya ada satu orang yang menyadari jawaban mereka.

“Hidupku lebih sulit dari pada kekeringan di danau Bradia.”

“Kakiku tidak bisa mendaki bukit belakang rumah istana apalagi menara.”

“Jika bisa aku akan meracuni Leea dan Nua.”

“Angka 4 menakutkan. 5 memang yang terbaik.”

Empat anak itu menjawab berurutan seperti pesan berantai tanpa ada yang mendahului. Tempat duduk di sekolah saja tidak bisa pangku pangkuan. Nasi ada yang berwarna ungu namun daun tetap berwarna hijau. Sebuah kebalikan.

PROK

Leala berkedip kaget karena tepukan satu kali tepat di samping telinganya.

"Leala Elsa. Giliranmu bercerita." Suara itu lagi. Benar benar menenangkan layaknya pendongeng sejati. Wanita yang bertepuk di samping Leala tadi menunjuk imajinasi Leala untuk keluar.

Leala bingung. Dia suka seni tapi tidak untuk membuat fantasi. Hidupnya adalah realita bukan karangan seseorang.

"Aku..." Leala semakin gugup ketika sorot mata semua teman sekelas nya mengarah pada dirinya.

 

Mencari cari pengalaman apa saja yang pernah dialami Leala. Atau film tertentu yang membantu membuka ide untuknya.

Oh! Ketemu!


"Elsiontra! Tempat kaum Els dan Yontra berperang. Els kalah bersimbah darah namun Yontra tidak senang menang. Air mata penyesalan menjadi mata air perdamaian. Aku bisa merubah yang kalah menjadi menang dengan mata air perdamaian Elsiontra. Darah dan air mata yang bercampur." Leala menghapal kalimat di kartu loker engsel rusak tadi.

 

"Waktu aku habis. Lupakan semuanya ya." Tanpa jawaban dan tanpa menunggu memang. Yang memberikan gelas kaca kecil itu keluar ruangan.

 

Leala jadi rindu pada kartu itu. Tanpa dikeluarkan dari saku rok seragamnya, telapak tangan kanan Leala menyapa.

 

Angin mulai kencang lagi menutup pintu kayu setengah. Aktifitas di jam kosong yang masih satu jam ini lebih ribut sedikit. Bahkan detak jarus jam masih terdengar.

 

"Bu Mtk ternyata namanya panjang ya." Jei memulai percakapan lagi layaknya suasana sebelum ada orang tidak asing itu masuk.

 

"Lah, kamu baru tahu, Jei?" Tanya heran Aki setelah mengumpulkan gelas kaca kecil ke Risma yang sepertinya akan mencalonkan diri jadi ketua kelas lagi angkatan ke 2 ini. Katanya, lebih cantik kalau air mata siswa kelas ini di tata rapi di kayu rak bawah jam dinding.

 

Dilihat oleh Leala gerak gerik susah payah itu. Dengan bantuan kursi benda mati Risma sendiri yang menaruh gelas kaca kecil berjumlah 20 sesuai teman sekelasnya. Leala tidak tega lantas bangkit dan melangkah ke belakang.

 

"Kan Leno kasih tahu kalo Guru matematika kita itu guru Mtk. Aku curiga dia cuma iseng tapi yang lain juga gak protes, aku iyain aja. Lagian di jadwal pelajaran nama Guru itu kenapa juga disingkat singkat. Padahal kan diketik. Gak boros tinta juga." Curhatan Jei masih bisa didengar Leala walau berdiri di belakang kelas membantu memegang gelas kaca kecil yang nantinya di minta Risma satu per satu untuk di tata.

 

"Kalo di cetak juga pakai tinta, bodo..." ejek Leno membuat mata Jei melotot.

 

"Kan kita dikasih softfile nya, bodo..." balas Jei mengajak berdebat cowok yang membuat dia memutar kursi duduk ke belakang.

 

"Gak usah ngatain bodo! Kalian tidak tahu posisi bodo itu! Bodo..." untung salah satu gelas kaca kecil ditangan itu tidak jatuh. Risma yang sakit hati karena dia peringkat 20 kelas menutupinya dengan dia berusaha memiliki peran, yaitu sebagai ketua kelas.

 

Mulut semuanya menjadi penakut seperti Rose. Tak berani menyahut seruan Kharisma itu. Leala kembali ke bangkunya setelah gelas kaca kecil terakhir melengkapi barisan dua saf sepuluh berbanjar. Tanpa mendengar ucapan terima kasih dari orang yang dibantunya itu karena simpati.

 

"Masih ada 5 menit sebelum pelajaran ilmu sosial," volume suara Jei tidak sebesar biasanya. Entahlah semua sadar di jam kosong ini garis sensitif menjadi sangat jelas.

 

 

KRIEET

 

Tiba tiba Leno mendorong kursinya ke belakang memberi ruang untuk berdiri. Pandangan yang lain diam diam melirik penasaran apa yang si paling pintar di kelas itu lakukan. Jangan kaget, Leno maniak game ini sangat rajin mengerjakan pekerjaan rumah dan juga aktif dalam berdiskusi di kelas. Saat presentasi kelompok sangat beruntung jika kau bersama Leno karena semua pertanyaan akan dijawab olehnya. Lebih kepada dia ingin menjawab semua sih, bukan karena membantu teman satu kelompoknya. Dan jika kau berada di kelompok lain, siap siap saja di hujani peluru pertanyaan yang menembus otak sampai sampai kau sejenak tidak bisa berpikir untuk menjawab.

 

"Aku lupa buat story di media sosial teman teman... aku ambil gelas kaca punyaku ya..." nada bicara dengan cengkok penyanyi dangdut itu mengundang gelak tawa seisi kelas. Mencairkan suasana di saat saat seperti ini adalah keahlian Leno.

 

Risma saja pernah mengatakan 'aku bukan gay, tapi aku kagum pada Leno' satu tahun lalu. Ya, walaupun setelah itu dia sepertinya sangat menyesal berkata demikian karena Leno yang biasa menyerbu dengan pertanyaan itu malah menyerbu dengan ciuman pipi. Lucunya, saat itu kelas sedang kritis juga. Di marahin guru sastra karena terlambat masuk kelas setelah pelajaran performing art di dance room. Gelak tawa meringankan ketegangan di kelas yang ditinggal guru ngambek itu.

 

"Aki, pegangin dong, tanganmu bagus," seraya mengambil handphone si saku celananya, Leno meminta telapak tangan teman sebangkunya untuk menjadi background aesthetic gelas kaca kecil itu.

 

Jangan salah paham, Leno tidak belok kok. Semua temannya tahu kalau dia menaruh hati pada Jei sejak sekolah menengah pertama. Cinta segitiga ceritanya.

 

“Aku malas,” jawab santai Aki. Dia memang dasarnya begitu. Kalau sebagai elemen lagu seorang Aki akan ditakdirkan sebagai keluarga melodi, namun dia akan kabur dan beralih profesi menjadi triangle.

 

“Malas bukan alasan.” Kesal dilemparkan Leno.

 

“Aku memang tidak berniat untuk beralasan,” penerimaan tanpa melukai lutut kaki sekalipun.

 

Lihat selengkapnya