Kerikil tak rata bisa menggelinding cepat dengan gaya dari bocah yang ingin menang sendiri. Lintasan tanah menjadi jejak jelas sangat dalam.
Untung saja jalan ini dari aspal. Kayuhan sepeda Leala sangat kencang ingin cepat cepat sampai sekolah. Maaf pada Jei yang tidak ditemani naik bus hari ini.
Leala bukan buru buru karena takut terlambat dia ingin segera bertemu Alya untuk menanyakan sesuatu. Jika terjadi hal buruk seperti yang ada di pikirannya atau akan terjadilah hal itu, Leala ingin mencegahnya dengan memberika pengertian yang sangat sederhana berbeda dengan uraian tugas tak berubah milih Pak Mandro tentang pengertian ilmu sosial dari tokoh ahli yang bahasanya tinggi tinggi.
Kemarin Alya sudah tidak ada di kelas saat Leala yang ngos ngosan kejar kejaran bersama Jei sampai di ruangan 2D. Karena itu, harus sekarang banget nih Leala ketemu Alya. Kebetulan sepeda yang dipercepat manual itu suda sampai di parkiran.
Dari ketikan ketikan di grup chat angkatan, Rika di gosipkan mendapat skors karena video bullying nya tentang tragedi telur di senin minggu lalu itu. Tapi entahlah, yang memiliki kebijakan mengeluarkan surat skors siswa kan kepala sekolah, sedangkan Bapak kepala sekolah itu masih ada tugas di Dinas Pendidikan Kota.
“Alya!” teriak lelah Leala mengagetkan dua manusia di kelas ini. Ada Alya yang memang di ketahui paling awal berangkat dan Aki si anak rajin baru, “Kamu keluar dulu dong Ki, aku mau ngobrol berdua sama Alya,” Leala memang berniat mengusir kok karena Aki yang rajin ini akan dengan senang hati berjalan jalan di pagi hari.
“Oke,” tuh kan benar.
“Ada apa Leala?” suara Alya lebih lemah lembut daripada Leala.
“Eum… jangan salah paham ya… aku Cuma mau tanya,” sejenak Leala ragu, “kamu gak ada pikiran buat bales perbuatan Kak Rika?” akhirnya Leala berani melanjutkan dengan sebuah pancingan.
“Hah?” siapa pun yang di tanya tiba tiba begitu pasti terkejut.
“Eum… itu… sebenernya-“
“Jangan khawatir, aku udah tahu gimana jamu brantawali berasa. Mana mungkin aku membuat orang lain merasakannya juga?”
Ada satu persen rasa tidak lega. Nyatanya dendam itu ada di hati manusia. Leala melihatnya sendri di hari libur akhir pekan kemarin. Saat Leala bertemu si kembar Ananta dan Ananda, adik sepupunya.
***
Leala masih senang walau kesempatan mengobrol jarak jauh bersama Leno harus ditunda, tapi di hari libur akhir pekan ini benar benar libur baginya. Ayah dan Bundanya menyempatkan waktu untuk pulang ke desa bertemu nenek. Satu keluarga besar sepakat untuk berkumpul di rumah rindang pepohonan hijau penuh kenangan itu.
Garis garis coklat pagar peternakan adalah yang pertama menyambut mobil Leala saat memasuki permadani hijau rapih. Angin layaknya lagu favorit para pohon kelapa yang membuat daun sejajar mereka menari nari.
“Kakak Lealaaa…!” dua anak kecil setinggi satu meter itu berlari ke arah Leala yang baru saja akan mengeluarkan dua paper bag besar berisi bahan makanan untuk masak besar nanti malam. Kebetulan melewati supermarket, jadi sekalian Leala dan Bundanya lah yang berbelanja. Sedangkan Ayah Leala menyempatkan waktu membuka laptop untuk memeriksa email di dalam mobil.
“Mau gendong…” pinta salah satu anak yang berteriak tadi seraya mengangkat kedua tangannya ke atas tinggi tinggi.
“Ananda kamu kan udah masuk sekolah taman kanak kanak, masa minta digendong,” balasan Leala memberikan pengertian. Selain berat menggendong adik sepupunya itu, saat ini kedua tangan Leala sibuk juga.
“Iya kamu nakal. Harus baik sepertiku. Sini kak, aku bawa bawakan tas kak Leala,” Ananta memukul kecil bahu kembarannya itu dan berniat membantu membawakan beban yang diangkat Leala. Walaupun, yang di tawarkan adalah membawa tas selempang kecil milik Leala yang berwarna putih itu, akan tetapi Leala bangga adik sepupunya ini sudah semakin dewasa saja.
Terakhir kali Leala kemari, putra putri pamannya itu masih bertengkar satu sama lain saat rebutan mainan hadiah jajan kinderjoy. Tepatnya saat liburan kelulusan sebelum Leala mendaftar masuk ke sekolah menengah atas. Saudara kembar Ananta dan Ananda ini layaknya kakak beradik lainnya. Sepanjang hari berantem terus, kecuali saat tidur.
Mengingat hari itu, Leala jadi ingat pulang pulang dari rumah nenek ini Leala menemukan kotak berbungkus kado gambar strawberry shortcake di depan pintu rumahnya. Ketika ditanya Ayah dan Bundanya itu dari siapa, Leala pun tidak mengetahuinya karena tidak ada nama terang. Sempat curiga itu bom, kilasan waktu kecil banyak berita di televisi kotak mencurigakan itu pasti bom.
Akan tetapi, untungnya ada hal yang terlintas di kepala Leala setelahnya. Satu orang yang tahu Leala punya pajama strawberry shortcake yang sangat mirip dengan bungkus kado ini. Dan benar saja, ketika dibuka isinya adalah tas selempang kecil yang kini di bawa berebutan oleh si saudara kembar Ananta dan Ananda itu Leala langsung ditelpon nomor temannya, Leno. Tanpa salam langsung dilontarkan penjelasan kalau saat menemani Mamahnya ke mall, Leno lihat tas yang dikira cocok untuk Leala. Tanpa menunggu balasan dari Leala bahkan sekedar ucapan terima kasih, Leno sudah menutup teleponnya.
Bukannya berpikir apa apa, Leala malah berpikir apa apa. Apakah Leno memasang kamera tersembunyi di kamar Leala? Atau mungkin di kotak ini terselip kamera pengintai? Tatapan Leala setelah kejadian itu selama beberapa hari menyorot horror ke arah Leno. Namun, Leno langsung sadar dan meluruskan semuanya hanya kebetulan.
“Leala cucuku…” suara lemah nenek Leala yang kini berulang tahun itu menyambut cucu perempuannya yang jarang datang dengan mengulurkan tangan kanannya.
“Nenek, apa kabar?” Leala mencium tangan Ibu Bundanya itu dengan lembut.
“Gimana sekolahnya? Jeilani apa kabar? Sebentar lagi kalian lulus ya?” serentetan pertanyaan itu dilemparkan pelan.
“Aku masih kelas 2, Nek,” hanya nenek Leala lah mendukung sepenuhnya kesukaan Leala pada music. Bahkan piano putih tulang di sudut ruang tamu itu adalah pemberian nenek Leala agar cucunya itu sering kemari.
Leala jika diizinkan pulang ke rumah nenek yang berada di desa ini sendirian, pasti setidaknya satu bulan sekali akan datang. Akan tetapi, ya, namanya anak perempuan satu satunya, Bundanya Leala tidak mungkin membiarkan tanpa orang lain menemani putrinya itu pergi sendiri.
“Nanti kalau sudah pisah dengan teman temanmu, sudah lulus sekolah, jalan sesuai tujuan masing masing. Jangan lupakan mereka, Leala. Di keluarga, kamu butuh teman, dalam hubungan dengan pasangan masih butuh teman, apalagi saat kerja nanti. Memang bukan karena darah, tapi karena air mata.”
Leala selalu kagum akan wejangan neneknya. Beliau tetap tabah walau sudah di tinggal belahan jiwanya. Impian Leala saat sudah dewasa nanti adalah tinggal bersama dan merawat neneknya. Cita citanya merangkai melodi untuk diperdengarkan pada orang orang, tapi yang utama hanya sederhana. Menjaga peternakan peninggalan kakek ini sampai tua nanti hidup bersama rumput rumput hijau.
“Pokoknya aku yang jadi dokter!” suara bocah kecil itu mecuri perhatian.
“Aku juga mau jadi dokter!” kembarannya tidak mau kalah bersuara lebih tinggi.
“Kamu jadi guru aja!” saran itu ditolak mentah mentah.
“Gak mau! Dokter lebih keren dari guru!” itu alasannya rupanya.
“Ada tugas dari sekolah?” Leala mendekati mereka dan berusaha menengahi.
“Iya, Kak. Menulis cita cita, tapi tidak boleh sama,” Ananda mengangguk angguk menjawab tanda tanya Leala.
“Kok gak boleh sama? Cita cita kan boleh sama,” kini Leala bertanya pada dirinya sendiri tapi masih terdengar oleh saudara kembar itu.
“Tapi, aku gak mau sama kaya dia!” Ananta menunjuk lurus ke arah adik beda lima menitnya, Ananda.
“Tapi aku mau dokter bukan guru!”
“Kalian mau tahu gak? Kalau cita cita itu ada banyaaaak,” cepat cepat Leala jadi penengah lagi.
“Memang gak cuma dokter sama guru, Kak Leala?” benar dugaan Leala. Dua anak kecil yang masih di bangku taman kanak kanak ini hanya berada di area dua pilihan saja.
“Enggak dong,” suara ceria Leala dibuat sangat antusias, “Misalnya, Kak Leala cita citanya jadi musisi, makanya belajar main piano,” Leala dengan sabar menjelaskan lalu di akhir kalimatnya matanya melirik piano yang tidak berdebu itu.
“Tapi yang paling keren itu Dokter, Kak!” Ananda tetap kekeuh.
Oh?! Jadi cita cita Leala tidak keren begitu? Bibir Leala cemberut sebentar.
“Oh ya? Ada banyak yang lebih keren loh. Kalian tahu Astronout? Mereka bisa naik roket ke luar angkasa dan pergi ke bulan, lalu ada-“
“Oh! Aku tahu! Roket itu sangat keren!”
“Iya, kan. Terus kalian bisa jadi orang nomor satu loh. Yaitu jadi presiden-“
“Leala. Jangan ajarin politik ke anak kecil,” kalimat Leala dipotong dua kali.
Semua orang di sana tertawa setelah mendengar ucapan Paman Leala yang tidak mau putra kembarnya itu sudah bercita cita jadi kader partai politik sejak kecil. Semuanya, kecuali dua anak kecil ini yang saling berhadapan tidak paham mengapa orang dewasa itu tiba tiba tertawa bersama dan apa yang mereka tertawakan.
Nuansa seperti ini yang tidak di dapat Leala di rumah kota. Semakin membuat Leala ingin tinggal di sini saja. Eh, tapi masih ada tugas untuk diajukan diri Leala agak bertemu Alya di hari senin.
Mengapa Leala merasa setelah mendapat kartu kecil berwarna biru langit cerat itu kehidupannya semakin rumit saja? Padahal ketika mendengar curhatan Jei mengenai dirinya yang tidak bisa move on dari Nuka saja Leala tidak ingin hidupnya rumit oleh masalah percintaan. Sekarang lihat! Urusan Leala lebih parah. Atau Leala saja yang berpikir terlalu jauh, kalau dengan perbuatannya itu benar benar merubah nasib seseorang dan berporos ke arah negatif.