Song in the Wind

Bentang Pustaka
Chapter #3

1st Blowing Wind

El Kim, laki-laki berkebangsaan Korea itu, baru saja tiba di flatnya yang berada di Edgbaston Road, sebuah kawasan yang tak jauh dari letak Cannon Hill Park, taman yang baru saja ia kunjungi.

El berada di sini bukan hanya karena menuntut ilmu, melainkan ia juga ingin “melarikan diri”. Melarikan diri dari sebuah kesalahan yang pernah dilakukannya pada masa lalu. El tak ingin mengingatnya sekarang. Jika ia melakukannya, maka ia butuh banyak tidur untuk kembali melupakannya. Sementara ia tak pernah punya banyak waktu untuk tidur. Selain karena sibuk kuliah dan bekerja paruh waktu di sebuah kafe, El juga sering mengidap insomnia.

Dua tahun lalu, ada sebuah peristiwa yang terjadi ketika El masih tinggal di Seoul. Peristiwa yang meninggalkan trauma kepada El dan tak bisa ia lupakan hingga sekarang. Karena cemas, sang ayah pun mengusulkan agar ia pergi ke luar negeri, melanjutkan sekolahnya di sana agar tak merasa terbebani traumanya. Birmingham menjadi kota pilihan ayahnya karena di sinilah ibu kandung El tinggal.

Laki-laki itu kini sudah berada di ruang tamu. Ia melepaskan sepatu dan tas gitar yang tersampir di bahu kirinya. Kemudian, menggantungkan mantel di depan pintu. Ia melangkah menuju dapur. Flatnya tak luas, tetapi tak juga sempit. Minimalis, itulah yang tepat. Rumah dengan bahan kayu ini terlihat seperti kotak persegi yang besar dengan atap segitiga. Jika bukan karena adanya balkon kecil di beranda belakang, mungkin rumah ini tak terlihat seperti rumah, tetapi sebuah kandang ternak. El membayar cukup murah untuk rumah ini. Lagi pula, letaknya jauh dari keramaian. El selalu suka tempat yang sunyi. Tempat hanya ada ia seorang diri di dalamnya.

El menuju dapur. Membuat secangkir kopi. Ia akan lembur lagi malam ini untuk mengerjakan tugas kuliahnya yang sudah menumpuk. Laki-laki itu membawa kopinya ke dalam kamar. Kamar yang rapi. Ia bukan laki-laki yang suka membuat kamarnya berantakan. Sejak kecil, ia sudah belajar mandiri. Terlebih karena ia hanya hidup bersama ayahnya yang seorang pemilik restoran cepat saji. Ayahnya selalu sibuk setiap hari, tak punya banyak waktu untuk memperhatikannya. Sementara ibunya … El seharusnya sudah bisa bertemu dengannya sekarang karena dulu ia dan ibunya terpisah jarak.

Ibu El adalah wanita berkebangsaan Inggris, namanya Jane Alistone. Sebenarnya, El berdarah campuran, Inggris dan Korea. Semestinya, ia bisa bangga akan hal itu. Namun, sangat disayangkan kedua orangtuanya sama sekali tak terikat pernikahan. Ia terlahir karena sebuah kesalahan. Mungkin seperti “kecelakaan” yang terjadi dalam satu malam. Entahlah, El tak pernah tahu bagaimana bisa ia jadi ada di dunia ini. Ia hanya tahu bahwa sebenarnya kehadirannya tak pernah diinginkan.

El ingat bagaimana reaksi Jane ketika melihatnya kali pertama. Saat ia mengaku bahwa ia adalah anak Kim Jong Hwan, pria yang pernah bersama Jane ketika wanita itu bekerja di Korea, wanita itu terkejut dan tak bisa berbuat apa-apa. Pasalnya, ia sendiri juga telah punya keluarga. Keluarga yang bahagia dengan putra yang membanggakan. El yang berharap bisa menemukan rasa hangat kepada ibunya justru tak mendapatkan apa-apa. Ia dan ibunya terlihat seperti dua orang asing. Ya, bahkan fisik mereka berbeda. Asia dengan Barat. El lebih mewarisi ciri ayahnya. Wajahnya mewakili orang Asia, hanya rambut cokelatnya saja yang diwarisi dari ibunya. Namun, itu tak bisa membuktikan kalau ia seorang yang berdarah campuran. Orang-orang sudah tak asing dengan kebiasaan orang Korea yang gemar mewarnai rambut mereka.

El duduk di depan meja belajarnya. Ia meletakkan gelas kopinya di sana. Ia mengambil beberapa buku dan mulai membolak-balik bukunya. Namun, bukannya belajar, El malah melamun. Suasana yang hening tak bisa membuatnya fokus belajar. Keheningan selalu membuatnya berpikir. Sekelebat kejadian pada masa lalu akan menghantui pikirannya.

Laki-laki itu beranjak dari duduknya. Melangkah menuju pintu depan untuk mengambil sesuatu dari mantelnya. Ia merogoh saku mantel, tetapi ia tak menemukan yang ia cari. Seharusnya ada di dalam sini, tetapi kenapa tidak ada?

El mengeceknya lagi dan hasilnya tetap sama. iPod-nya tidak ada di sana. Ke mana perginya? El mencoba mengingat apa yang ia lalui hari ini. Tak mungkin tertinggal di kafe tempat ia bekerja karena sepulang dari sana ia masih memakainya. Apa mungkin terjatuh ketika ia bertabrakan dengan sepasang suami istri di Cannon Hill Park tadi? Saat itu, El melepaskan iPod-nya karena mendengarkan gerutuan pria separuh baya itu. Pada waktu itu, ia memasukkan iPod ke dalam saku mantel, apa mungkin terjatuh?

El mendesah kesal. Ia seharusnya tak ceroboh seperti tadi. Bagaimana bisa ia kehilangan barang terpenting itu? Sepertinya, besok El harus ke sana dan mencarinya.

***

Sesampainya di flat, yang kali pertama dilakukan Aleyna adalah berlari ke kamar mandi untuk mandi air hangat. Ia tak sempat mendengarkan pertanyaan-pertanyaan Sarah mengenai keterlambatannya pulang. Aleyna sudah sangat kedinginan di luar sana. Mandi air hangat adalah satu-satunya cara untuk membuat suhu tubuhnya normal lagi.

“Aku, kan, sudah sering mengingatkanmu untuk selalu pakai pakaian tebal dan membawa payung. Musim dingin di sini sangat ekstrem.” Sarah memberikan handuk kepada Aleyna yang menggigil. Aleyna mengangguk-angguk sembari memasang wajah bersalah. Sarah, gadis berambut blonde itu lekas menuju dapur, pasti membuatkannya segelas cokelat panas. Belum apa-apa, Aleyna sudah kegirangan.

Setelah mandi dan memakai sweter hangatnya, Aleyna mendapatkan segelas cokelat panas dari Sarah. Sarah memang tak pernah benar-benar marah kepadanya. Bagi Aleyna, Sarah sudah seperti kakak perempuan yang ingin menjaganya. Setahu Aleyna, dulu Sarah punya seorang adik, tetapi ia meninggal karena sakit. Mungkin itu yang menyebabkan Sarah sangat perhatian kepadanya. Beruntung sekali Aleyna mendapat teman sebaik Sarah di kota ini. Dengan begini, ia tak akan membuat kedua orangtuanya di Indonesia cemas.

Aleyna adalah anak tunggal di keluarganya. Ayahnya seorang komposer ternama di Indonesia, sementara ibunya seorang penyanyi. Hidupnya bisa terbilang sempurna. Keluarganya kaya dan segala sesuatu yang ia inginkan dapat terwujud dengan mudah. Bahkan, keinginannya untuk sekolah di luar negeri pun dapat dipenuhi orangtuanya. Ia juga punya banyak teman. Bahkan, ada seorang laki-laki yang begitu ingin menjaganya. Namanya Julian, teman satu kelasnya.

Akan tetapi, di balik kesempurnaan yang dimilikinya, tersimpan pula sebuah kekurangan. Ia dulunya punya masa lalu yang kelam ketika masih kecil. Aleyna paling tak ingin mengingatnya karena hanya akan membuahkan rasa takut dan sedih. Dengan menatap ke depan dan menikmati apa yang ia miliki sekarang, Aleyna yakin ia pasti akan melupakan masa lalunya itu.

“Tadi sore Julian datang ke sini.” Sarah membuka pembicaraan mereka. Aleyna yang sedang menyesap cokelat panasnya hanya melirik ke arah Sarah.

“Dia bilang ingin bicara tentang rencana kalian. Rencana apa?” tanya Sarah ingin tahu. Aleyna menurunkan gelasnya lalu mendesah pelan.

“Dua bulan lagi, dosen kesayangan kami, Mr. Frank, akan menikah. Kami berencana menyanyikan lagu di hari pernikahannya.”

Sarah tersenyum, “Manis sekali.”

“Beliau sangat baik kepada kami, kupikir kami pantas memberinya hadiah.”

“Bukan, maksudku kamu dengan Julian. Jadi, kalian akan duet? Aku tidak sabar melihatnya.” Senyum Sarah semakin mengembang. Mata birunya menyiratkan tatapan curiga kepada Aleyna. Gadis itu sudah lama mengira kalau ada hubungan khusus antara Aleyna dan Julian.

“Sarah, jangan berpikir yang tidak-tidak. Bukan hanya aku dan Julian saja, teman-teman lain juga ikut, kok.”

Sarah mendengus pelan. Kecewa karena harapannya tak terwujud. Ia sangat senang melihat Julian bersama Aleyna. Mereka sangat serasi. Namun, tiap kali Sarah menyinggung hubungan mereka, tanggapan Aleyna selalu sama. Ia hanya berteman dengan Julian, tak lebih dari itu.

“Sepertinya …, Julian menyukaimu, Al.” Sarah berbisik, seperti mereka tak hanya berdua di flat ini. Aleyna tertawa lalu menggeleng.

“Jangan salah mengartikan perhatian orang lain, Sarah. Julian memang baik kepada semua orang.” Aleyna beranjak. Tak berniat menghabiskan cokelatnya karena ia mulai kenyang. Lagi pula, ia ingin memeriksa hasil gambar yang ia ambil di Cannon Hill Park tadi. Gadis itu melangkah ke kamarnya meninggalkan Sarah.

Aleyna duduk dan bersandar di ranjangnya yang bernuansa biru langit. Ia melihat beberapa gambar yang tadi diambilnya dalam kamera. Ia mengeluh ketika mendapat gambar dengan angle yang jelek. Gambar yang paling ia sukai adalah pasangan kakek-nenek yang duduk berdua di taman. Romantis sekali. Aleyna menahan senyumnya. Ia terus melihat gambar lainnya hingga berhenti pada gambar gagal yang justru menarik perhatiannya. Foto si laki-laki bermantel hitam itu.

Aleyna menajamkan penglihatannya. Mungkin karena mengambil gambar dengan tergesa, ia sampai tak menyadari kalau laki-laki itu menoleh ke samping. Wajahnya terlihat seperti orang Asia. Aleyna men-zoom foto itu. Memang orang Asia, hanya saja rambutnya cokelat. Aleyna tertawa pelan, lalu ia sadar ada sesuatu yang aneh pada wajah laki-laki itu. Matanya … apa yang ada di tepinya itu adalah air mata? Atau air hujan?

Lihat selengkapnya