Suara pramugari mengumumkan jika pesawat sudah mendarat. Meminta penumpang untuk tetap duduk sampai sabuk pengaman dimatikan. Mengaktifkan ponsel setelah di ruang kedatangan.
Selamat datang di Bandara Samratulangi, Manado. Penumpang yang transit dan melanjutkan perjalanan ke tujuan berikutnya silakan menunjukan tiket transit pada petugas.
Setelah pesawat benar-benar berhenti, semua penumpang melepas sabuk pengaman dan berdiri. Barjsan kursi paling depan mulai membuka kabin penyimpanan barang. Disusul penumpang di belakangnya.
Isnan mulai membuka penutup bagasi kabin. Menarik tas rangsel miliknya. Lalu menarik satu kantung pelastik berwarna putih susu. "Astri, barang lo di mana?" tanya Isnan.
Astri masih duduk dan membuka ponsel. Membaca chat yang baru saja masuk setelah HP dimode pesawat dimatikan. "Tunggu, Nan. Lagian, di depan masih banyak antrean!" jawab Astri.
Isnan melenggang pergi. Dia melangkah di lorong pesawat mengantre keluar. Membiarkan Astri duduk dengan santai menunggu antrean sepi. Menurut Isnan, itu akan memperlambat perjalanan mereka. Padahal, sampai di Manado, semua harus segera mengemas barang. Sebab, perjalanan ke Sangihe harus dilanjutkan dengan perjalanan laut.
Ersa hanya membawa satu tas. Sedangkan Resti banyak barang tentengan sampai kesulitan membawa satu barang. Terpaksa, Mery yang masih tersisa satu tangan membantu membawakan milik Resti.
"Sini satu gue bawa. Lagian ngapain bawa banyak barang? Kan di Manado bisa belanja dulu." Mery meminta satu barang bawaan Resti.
"Kalau mau bantu itu yang ikhlas," canda Resti sembari memberikan tentengan itu pada Mery.
Satu per satu penumpang pesawat menuruni anak tangga dari kabin pesawat. Mereka harus menunggu bus jemputan untuk diantar ke ruang tunggu kedatangan. Masing-masing membawa barang pribadinya.
Karena tidak ada yang membantu, Astri orang yang paling banyak bawaan berjalan paling belakang. Melihat ke arah Isnan yang dengan santai tidak mau membantu dirinya.
"Jadi teman kejam amat lo Nan! Masa lihat gue kesulitan lo nggak bantu!" kata Astri.
Isnan menyimpul senyum. "Tadi kan gue tanya, barang di mana?" pria yang sudah berdiri di dalam bus itu pun mengulangi pertanyaan yang ditanyakan pada Astri sewaktu di pesawat. "Lo kan jawab santai!"
"Tapi bukan berarti nggak butuh bantuan kan?!"
Melihat dua temannya berdebat konyol dan dilihat banyak penumpang lain, Mery menarik tas Isnan. "Kalian tahu kita ada di mana?" tegur Mery. "Kalau mau berdebat lihat tempat! Jangan di tempat umum."
Mendengar teguran tegas dari Mery, Astri lantas memicingkan mata kanan. Ekspresi tidak sukanya sangat terlihat. Dalam hatinya mengumpat, "mentang-mentang ketua, mau marah sesuka hati!" gumam Astri.
Ersa santai saja. Dia tidak peduli dengan apa pun yang terjadi di kelompok itu. Selain masih sakit hati karena tidak menjadi ketua kelompok, Ersa juga sudah sering mengatakan dia tidak mau direpotkan oleh anggota lain. Jadi, dia sudah mewanti-wanti pada semua orang untuk tidak mengganggu dia. Apalagi sampai meminta bantuan untuk membawa barang.
Sampai di ruang kedatangan, semua turun. Isnan sudah membantu membawakan satu barang milik Astri. "Besok kalau bisa sekalian bawa rumah lo di sini, Tri," sindir Isnan melihat banyaknya barang bawaan itu.