Bicara Indonesia, pasti menarik. Sebab, negara dengan jumlah ribuan pulau itu memiliki ragam bahasa dan tempat yang terpisah satu sama lain. Sebagai negara dengan jumlah pulau yang banyak, Indonesia juga memiliki kekayaan bahasa, budaya, dan multi etnis yang tersebar di berbagai daratan.
Keberadaan orang-orang di berbagai daerah memang menarik untuk dilacak. Sebab, pulau terpencil dan jauh dari pulau besar pun dihuni manusia. Padahal jika dipikir pakai logika, jarak Manado-Sangihe sudah jelas ribuan kilometer dengan terpisah oleh bentangan samudera. Nyatanya, Sangihe tetap padat dengan penduduk.
Menilik sejarah, memang tidak akan lepas dari pergerakan manusia dari masa ke masa yang terus bergerak seiring terbukanya jaman. Pada sebuah sumber, Sangihe yang terletak di ujung utara Indonesia merupakan wilayah yang berbatasan langsung dengan Mindanau, Filiphina. Bahkan, jarak Sangihe ke nagara tetangga jauh lebih dekat ketimbang berlayar ke Manado. Setidaknya untuk ke Mindanau, cukup 58 KM mil laut, sedangkan ke Manado harus ditempuh 150. Tiga kali lipat perjalanan. Beruntung, masyartakat Sangihe memiliki jiwa nasionalisme yang kuat. Sehingga, meski terpisah jauh dari pulau besar di Indonesia, tetap kuat sebagai bagian dari NKRI.
Sejarah lain tentang orang-orang Sangihe juga disebut sebagai keturunan Filiphina selatan yang bermigrasi ke pulau-pulau tersebut ribuan tahun silam. Bahkan, jika ditilik dari kisah masa lalu, sistem yang dianut oleh masyarakat Sangihe yaitu Tampunganglawo, kedatuan Sangihe disebut masih dekat dengan Mindanau dibanding Indonesia.
Mery pernah membaca sebuah buku yang menjelaskan kisah rangkaian pulau-pulau yang terbentang di samudera pasifik. Sejarah Sangihe secara singkat ketika abad 14 di mana Sangihe masih menganut sistem kerajaan dengan silsilah Bowontehu.
Bekal itu membuat perempuan yang sejak SMA suka naik gunung ini sudah siap dengan materi penjelajahan di tanah Sangihe. Meski Isnan jauh lebih tahu dan banyak pengetahuan tentang lokasi.
Buku yang dipegangnya diletakkan kembali di atas tas. Lalu membuka satu pesan yang tiba-tiba masuk. Sudah ada sinyal? gumam Mery.
Perjalanan kapal dari Manado ke Sangihe memang menempuh waktu yang cukup lama. Semua jaringan akan hilang ketika kapal sudah ada di tengah perjalanan. Kecuali ketika sudah mau sampai di pelabuhan Tahuna.
"Ada sinyal?" Resti juga membuka ponselnya yang tiba-tiba bergetar.
Mery melihat semua penumpang yang ada di dek II duduk memejamkan mata. Beberapa lainnya memegang ponsel mereka. Kaum laki-laki duduk di satu titik mengantre kopi panas.
"Sudah mau sampai, jadi ada sinyal masuk," kata Isnan yang masih terlihat memejamkan mata. "Satu jam lagi kita akan sampai di Tahuna."
Resti langsung girang dan membuka kontak. Dia langsung menelepon orangtuanya. Dari nada sambungnya, telepon Resti tidak diangkat.
"Ibu lo masih tibur, Res. Di sana masih jam tiga pagi," celetup Isnan. "Selisih kan satu jam, kalau di sini jam empat di sana jam tiga."
Dia lantas menutup ponselnya.
Suara pengeras kembali berderit. Pengumuman dan doa dari salah seorang penumpang yang diminta untuk memimpin doa itu sudah mulai mengajak penumpang untuk tunduk sejenak.
Mengajak semua penumpang memuji Tuhan dengan senandung lagu rohani, Bapa Terima Kasih. Semua penumpang ikut menyanyi sembari memejamkan mata. Pemandangan penuh keheningan dengan hikmat pagi terasa di dalam kapal. Orang-orang yang mensyukuri atas nikmat Tuhan.