CAHAYA kuning terang itu menyembul dari jolasi jendela yang terbuka setelah Mery mendodong kaca jendela. Semburat cahaya kekuningan itu langsung meraba wajah yang masih menahan kantuk. Mery menutup matanya sejenak. Mengerenyitkan dahi, menahan lanju cahaya pagi itu dengan telapak tangan. Matanya belum siap menatap hari yang cerah di Sangihe. Meski pikirannya sudah tidak sabar berkelana bersama imajinasi dan pikiran untuk melanglang buana bersama mimpi-mimpinya semalam.
Hari pertama di Sangihe. Mery dan teman-teman sudah beristirahat sejenak. Mendinginkan badan yang sudah semalaman hanya bisa terbaring di ranjang kapal. Sekarang, pagi ini dia sedang menikmati langit yang masih perawan. Warna biru cerah dengan awan putih itu terlihat menyapanya dengan hangat.
Dari jendela kamarnya, Mery bisa melihat jauh ke arah pantai. Dia menikmati buliran cahaya matahari itu menerpa debur ombak kecil yang beradu lari dengan kawanannya. Di tempat ini pula dia akan dimanja dengan belaian lembut angin Sangihe. Terutama disaat pagi, sore.
Tentu tidak dengan siang.
Karena panas akan menyengat. Angin darat akan membuatnya gerah. Maka, pagilah waktu yang tepat untuk memanjakan wajah dengan sentuhan lembut angin Sangihe yang masih sejuk, bersih dan dingin. Tidak akan ditemukan udara sesegar ini di kota besar.
Selang beberapa menit, Mery sudah bisa bersahabat dengan semesta. Dia mulai berani menatapnya meski tidak bisa menantangnya lebih lama untuk saling tatap. Cahaya itu akan menyingkap wajahnya dari lelah perjalanan.
Pegunungan yang sejuk pun ikut menyapa dan menghempas rambutnya yang terurai. Dia kembali merasakan sejuknya angin pagi dengan memejamkan mata. Coba menghirup lebih dalam dan merasakannya. Angin itu benar-benar menyentuh tubuh gadis itu dengan lembut.
Perlahan membelai wajah manis dengan lesung pipi yang mencubit wajahnya. Seperti ada buliran halus yang perlahan mengalir pada peredaran darah dan membasahi sendi-sendi. Urat dalam tubuh itu seolah bergembira karena mendapat asupan energi baru. Bisa jadi karbon dalam tubuh mulai menyingkir dan bersembunyi.
Dari sisi lain, kedua matanya dimanjakan dengan dua ekor burung cantik yang sedang menari-nari di atas batang pohon. Melompat satu ranting ke ranting lainnya. Bermanja-manja dengan pasangan. Saling berkejaran. Satu ekor burung kecil berwarna kuning itu lantas berhenti di satu ranting yang tidak jauh dari rumah. Menarik perhatian Mery yang sedang tersenyum menganggumi alam.
Alam di kota ini masih memberi ruang pada mereka untuk bermain. Dan hidup dalam kehidupan mereka. Tidak ada yang memaksanya dalam sangkar. Mereka bebas bersuara bahkan bernyanyi menyambut pagi setiap hari. Maka, pohon itu menjadi tempat mereka memadu rasa dengan jenisnya.
Pastilah keadaan masih indah dan penuh dengan pohon-pohon yang terjaga. Rindangnya pohon dengan daun yang hijau itu memberi warna tersendiri dalam setiap jarak pandang. Kesejukan yang memancar dari setiap pohon memberi kesegaran. Maka udara pun sangat sejuk.
Di tempat tidur, ada seorang perempuan pemalas yang masih meringkuk dengan selimut tebal. Menutup wajahnya dari terpaan matahari. Dialah Resti, salah satu teman, satu kamar dengan Mery.
"Mer Mer.. ngapain sih, pagi-pagi buta kamu buka jendela?" suara payau Resti yang masih meringkuk di tempat tidur.
Mery menoleh dan memberinya senyum. Jelasnya, dia tahu cahaya ini akan ditolak mentah-mentah oleh Resti. Sudah kebiasaan, bangun setelah matahari naik di atas ubun-ubun. Maka yang mereka tahu, hari selalu panas dan udara pengap. Setelah itu mereka akan mengeluh jika Tuhan sedang menghukum mereka dengan sengatan panas matahari. Lalu mengumpat bahwa manusia sekarang tidak lagi ramah pada alam. Menbuat semesta marah.
"Kamu nggak tahu, aku masih ngantuk?" tambah Resti dan menutup wajahnya dengan selimut.
Sepertinya mata Resti harus dibuka paksa.
Silau katanya. "Resti, Kamu tidak mau merasakan sejuknya udara pagi di sini?" Mery membalikan badan ke arah Resti yang masih saja menutup tubuhnya dengan selimut.
Dia menarik selimut di tubuh Resti. Kontan, Resti marah dan memukulnya dengan bantal guling yang sejak tadi malam dipeluk.
"Mer, apa-apaan sih lo! Gangguin orang lagi tidur aja!" Resti marah. Dia kembali menjatuhkan tubuhnya di tempat tidur. Kembali menarik selimut dan memeluk bantal guling.
"Lah, ngapain juga jam segini masih molor. Bukannya bangun, olah raga?" kata Mery kesal. Meski dia tomboy dan urakan, Mery sendiri memang tidak suka dengan tipe orang pemalas. Di rumah dia cukup rajin untuk bangun pagi. Setidaknya tidak sampai membuat orang di rumah berteriak kencang hanya untuk membangunkan Mery.
Neneknya orang yang paling berisik kalau memberi nasehat. Apa lagi cewek. Dilarang keras untuk bermalasan. "Rest, lo itu cewek. Masa bangun pagi saja susah banget?"