Pukul, 10:30
Tas rangsel sudah berbaris di teras Vila. Termasuk perlengkapan lainnya. Kamera dan alat keamanan. Tidak ketinggalan bekal selama satu hari perjalanan. Air minum dan perlengkapan lain tidak boleh ada yang ketinggalan.
Opo Nappo akan menemani mereka berpetualang di hari pertama penjelajahan Sangihe.
"Oke, semua sudah siap? Mery mana?" tanya Selvi. Matanya mencari ke setiap sudut Vila.
Mencari ketua yang selalu saja datang paling terakhir di setiap kegiatan. Dia masih ada di dalam kamar. Menyiapkan semua perlengkapan petualangan di hari pertama. Anak itu selalu prepare dengan teliti. Tidak rela jika ada satu barang penting yang harus tertinggal.
Meski dikejar oleh waktu yang tidak akan pernah bersahabat dengan tujuan hidup. Bahkan waktu selalu berlawanan dengan mimpi. Maka siapa yang lebih cepat dialah pemenangnya, waktu atau mimpi. Tentu mimpi tidak akan membiarkan dirinya kalah dengan mudah tanpa perlawanan. Mimpi itu pun harus dengan usaha. Termasuk menyiapkan semuanya dengan baik. Peralatan dan perlengkapan untuk mendukung mimpi melawan waktu. Mery sudah siap. Semua perlengkapan penting sudah di dalam tas. Dia keluar dari kamar. Menarik tuas dan menutup pintu itu kembali.
Sebelum tertutup rapat, Mery sempat melihat seklebatan bayangan seorang gadis di pojok kamar. Dia berdiri dengan gaun warna putih berenda di bagian bawah. Lalu kerah bulat di bagian dada. Sosok itu terlihat dengan jelas olehnya.
Penasaran, dia membuka pintu kamar untuk memastikan. Bayangan itu sudah tidak ada di sana. Semua terlihat lengang dan kosong tidak ada siapa pun.
"Akh, halusinasiku makin hari makin mengerikan," gumam Mery seraya menutup pintu itu kembali. Dia masih meragukan dengan apa yang dilihatnya. Setidaknya, sudah dua kali dia merasakan ada keanehan di vila yang ditempatinya.
Dari teras, Mery sudah mendengar beberapa suara yang memanggilnya dengan lantang. Isnan, Selvi, dan Resti. Tiga orang yang sibuk memanggil Mery.
"Iya bentar," jawabnya sembari teriak dari dalam vila.
Mereka menatap Mery dengan sinis, terlebih Astri yang memang tidak menyukai keterlambatannya.
"Maaf, gue telat."
"Ya ela, kayak mau ke kondangan aja? Nggak usah lama-lama. Keburu siang?" sahut Ersa.
Tapi, sebagai ketua dia sudah tahu, segala hal yang dilakukan atau kesalahan sekecil apa pun pasti akan jadi bomerang buat dia. Mery paham, teman-temannya tidak sepenuhnya suka dengan dia. Tertutama Ersa, Astri. Dua orang yang sudah jelas sangat tidak suka.
Tanggung jawab ketua jelas berat. Apalagi ekspedisi kali ini kegiatan pertama Mery dan juga teman lain. Otomatis, semua hal bisa saja terjadi. Mery harus menyiapkan semuanya. Dia tidak mau ada sesuatu yang sampai kurang atau menimpa mereka. Jadi, perlengkapan harus selengkap mungkin. Bahkan senjata tajam yang kiranya penting, dia juga bawa.
Dia harus menyiapkan segala kemungkinan yang akan terjadi.
"Iya, ini sudah siap semua".
Langkah pertama meninggalkan vila kembali terhenti. Ponsel Ersa berdering. Ada telepon masuk. Dia segera membuka layar.
Dia lihat nomor Zack yang tertulis.
Ersa segera mengangkatnya. "Hallo.. eh.. Zak? sudah sampai belum?" kata Ersa menerima telepon dari Zack salah satu teman mereka yang baru sampai di Tahuna tadi pagi. Mereka berdua berangkat menyusul karena ada berkas yang belum selesai.
Zack dan Ari sudah sampai di pelabuhan. Kapal mereka tidak jauh berbeda. Hanya selisih satu hari mereka sudah ada di Sangihe. Sekarang lengkap sudah, tim yang diketuai Mery. Tujuh orang dari Jakarta dan satu anggota tambahan, Selvi dari Sangihe. Mereka sudah siap berpetualang di tanah Sangihe.
"Siapa?" tanya Mery pada Ersa selesai menutup telepon genggamnya.
"Zak dan Ari," kata Ersa tersenyum girang. Kawat giginya menghiasi senyum manisnya. Cantik sih. Kebanyakan lelaki, memang tergoda dengan Ersa. Termasuk Zak. Cowoknya.
"Terus? Mereka di mana?"