Hutan yang sepi selalu menyimpan cerita misteri di dalamnya. Dalam diamnya selalu ada kisah-kisah menarik yang terungkap manakala angin-angin kencang itu berhembus. Bahkan, riuh suara-suara aneh sesekali terdengar. Meraung, menggongong atau kicauan manja burung-burung dari pucuk-pucuk pohon. Abaikan saja, mereka hidup di alamnya. Tentu tidak akan mempermasalahkan kehidupan makhluk lain, jika tidak saling mengusik. Mereka bersahabat dengan alam. Hidup berdampingan. Tanpa saling lawan satu sama lain. Maka, dari sana kehidupan itu di mulai. Cerita-cerita dari balik hutan yang menyimpan banyak misteri.
Apakah pagi menjadi permulaan sebuah hari? Ataukah siang selalu menjadi pertengahan dan malam adalah akhir dari waktu yang berjalan. Tidak. Semua yang ada di dalam hutan selalu menyimpan misteri. Waktu untuk hutan tetaplah sama. Gelap dengan rimbun pohon besar yang berbaris memenuhi sudut-sudut hutan.
Tidak hanya malam yang bisa mencekam. Siang pun hutan menawarkan keheningan yang bisa saja menelan siapa saja yang datang. Jika dia tak mampu menahan napsu, maka hutan akan memangsanya sebagaimana binatang buas.
Tidak bisa membedakan kapan waktu itu dimulai dan hari mulai tenggelam. Suryo terbangun dari tidurnya. Punggungnya yang bersandar pada tiang kayu seukuran tubuh orang dewasa itu digesernya. Tulang kaki yang keram diangkat sejengkal. Lalu mengusapnya dengan tangan kanan.
Di pahanya kepala Sarageti masih tersandar. Dia belum membuka mata.
Pria remaja itu lantas melihat di sekelilingnya. Dia tidak ada di tengah hutan. Melainkan di sebuah gubung. Rumah dari anyaman bambu dengan atas daun pelepah sagu. Dari kejauhan terdengar suara gemercik air.
Suryo coba membangunkan adiknya. "Geti... Bangun!" bisik Suryo mengusap wajah gadis cantik di pangkuannya itu. Beberapa kali sapuan tidak terbangun, dia menggoyang-goyangkan badan Sarageti.
"Kenapa Kak?" tanya Sarageti dan mengusap wajahnya. Lalu kedua matanya dengan tangan. Terdiam sejenak dan melihat di sekelilingnya.
Di dinding anyaman bambu, Geti melihat ada kepala Rusa dan beberapa tanduk kerbau yang terpasung di dengan paku besar menancap di bagian ujung. Tombak bersilangan di sebelah kiri. Selongsong pedang dan juga dua bilah panah dengan ujung runcing juga masih menancap kuat di batang kayu yang dijadikan penahan atap. Di samping Suryo, ada tempat tidur dari bambu yang dirapatkan dengan tali rotan.
Gubug itu ada di dekat air terjun. Dan itu sangat asing bagi Suryo dan Sarageti adiknya. Sekelilingnya hanya ada hutan belantara yang mungkin saja tidak terjamah oleh manusia manapun.
Di luar gubug, terdengar suara langkah kaki yang terseret. Seakan alas kaki itu terdengar menyapu kerikil-kerikil kecil.
"Kalian sudah bangun?" suara serak itu tiba-tiba muncul dari balik kain pembatas ruangan.
Seorang pria tua dengan ikat kepala dan berbaju hitam itu masuk ke ruangan di mana ada Suryo dan Geti.
Geti mangamati lelaki itu dari ujung kepala sampai ke ujung celana dua pertiga komprang yang berwarna hitam. Di pinggangnya kain berwarna putih dengan slayer merah di bagian tengah melingkari tubuh tua itu. Samping kirinya ada sebilan celurit.
Kumis tebal yang mulai memutih terlihat bergerak mengikuti mimik wajahnya ketika berbicara. Bekas luka di pipi kanan terlihat seperti bekas sayatan pisau. Mata sebelah kanan juga terlihat tidak dalam kondisi baik. Bekas tusukkan itu jelas membuat matanya terlihat rusak. Sebab, warna putih mata tak terlihat jelas dan hanya titik hitam.
Kakek itu terlihat garang. Kerutan di wajah seperti menjelaskan waktu yang menemani sang kakek sudahlah lama. Dari sana bisa tergambar kehidupan kakek dan kisahnya. Bukan kesusahan, melainkan petualangan.
Suryo dan Geti pun ketakutan. Wajahnya langsung pucat. Mereka bangun dari duduknya. Lantas menepi dan menjauhi lelaki itu.
Si kakek justru menyimpul senyum tipis melihat dua remaja yang ketakutan. Tangan kanannya mencabut celurit.
Suryo langsung menarik tubuh geti dan menyembunyikannya di belakang dirinya. Dia memasang badan untuk bersiap jika kakek itu menyerang dengan celurit.
"Ka... Kakek siapa?!" tanya Suryo dengan terbata-bata.
Geti gemetar dan terus memegang pinggang Suryo dengan kuat. Hanya mengintip dari celah pinggang kakanya.
Sekali lagi, Kakek itu mengayunkan celurit dengan jarinya. Lalu melemparkannya dengan cepat. Ujung celurit yang tajam menancap di dinding samping Suryo.
Suryo masih teringat kejadian tadi malam, yang membuatnya trauma dengan orang banyak. Jantung yang awalnya tenang itu, mulai meronta. Berdetak kencang seraya mencari celah untuk lari dan menyelamatkan diri secepatnya. Setidaknya, pikiran itu muncul bersamaan setelah keduanya melihat sosok tua ada di depannya. Terlebih wajah menyeramkan itu mengayunkan pandangan seolah ingin menerkam.
Wajah kakek menatap mereka. Menyisir tubuh keduanya. "Tidak perlu takut. Kalian aman di sini." Pria itu memalingkan wajahnya dari pandangan Suryo dan Geti. Menyisakan ekor matanya yang masih menangkap gerak kedua bocah malang itu. Wajah ketakutan itu terlalu terbuka untuk ditangkap oleh kakek.