Astri dan Resti mabok lagi. Padahal Opo Napo menyetirnya tidak terlalu cepat. Justru terlalu santai. Sayangnya, jalan berkelok dengan rute naik turun membuat dua orang itu tidak mampu menahan goyangan di kepala. Sampai di Manganitu, tepatnya di lapangan depan kantor kecamatan, mereka memuntahkan isi perut di pinggir jalan.
"Yah, muntah si boleh. Tapi jangan di kaki gue juga Tri!" keluh Isnan yang ikut kena muntahan di kaki.
Astri menepuk-nepuk dadanya sendiri sembari terus membuka mulut untuk mengeluarkan biskuit tadi pagi.
Begitu juga Resti yang dibantu Selvi. Dia sama dengan Astri menepuk dadanya sendiri. "Sel, lo usap punggung gue dengan minyak kayu putih," Resti memberikan botol kecil berisi minyak kayu putih pada Selvi.
Setelah membuka sedikit baju Resti, dia mulai membalurkan minyak kayu putih di punggung Resti. Setelah itu memijat tengkuk lehernya dan bagian kepala.
Sekali lagi, terdengar suara suara orang muntah dari keduanya. Seolah berlomba di Agustusan, dua orang itu sama-sama berusaha kuat mengeluarkan cairan kental berisi campuran air dan makanan yang sudah hancur dari dalam perut. Bentuknya mirip bubur campur.
Isnan terus menutup hidung karena aroma menyengat dari bau muntahan itu sangat kuat. "Tri, kok busuk baunya. Lo makan apaan?" tanya Isnan yang tidak henti menggoda Astri.
Ersa di atas mobil hanya melihat empat orang yang sibuk dengan muntahan. Dia masih belum respek dengan mereka. "Dasar kampungan!" ujar Ersa sendirian di atas mobil.
Mery yang tidak tahan melihat rekan timnya itu kesakitan langsung turun dari mobil. "Coba kasih berdiri dulu sebentar mereka. Tenangkan dulu, duduk." Kata Mery dan membantu Resti duduk di pagar berukuran pendek di dekat pohon di sisi lapangan.
Setelah itu Astri juga mengikuti Resti. Duduk di sebelahnya.
Mery membuka satu botol minuman dan diberikan ke Resti. "Minum dulu, Rest. Biar gas di dalam perut itu keluar."
Isnan pun sigap mencari satu botol minuman di dalam tasnya. Kemudian berlari kecil memberikannya ke Astri.
Keduanya mulai tenang. Wajahnya juga sudah tidak sepucat sebelumnya. "Sudah kan?" tanya Mery memastikan jika mereka sudah baikan dan bisa melanjutkan perjalanan lagi.
"Opo Napo, masih jauh lokasinya?"
Pria gemuk itu membuka jendela pintu mobil. "Sudah dekat, Non. Paling nggak sampai satu jam. Ini nanti belok kanan di jembatan depan itu, terus lurus, naik sedikit, sudah sampai di desa Belae."
Astri dan Resti masih memikirkan rute berkelok yang sudah menunggunya lagi di depan mereka. Meski sudah dikeluarkan semua isi perut, tapi tetap saja jalur ini akan membuat mereka memuntahkan kembali lahar dalam perut mereka.
"Ayo naik lagi, nanti gue minta Opo Napo pelanlan sedikit mobilnya," Mery membantu Resti berjalan ke arah mobil. "Nanti di mobil tutup mata dan pegang kepala saja. Mendekap di lutut. Supaya nggak lihat jalan."
Semua sudah di atas mobil lagi. Opo Napo dan Mery juga sudah duduk kembali di posisi masing-masing. Pedal gas kembali diinjaknya perlahan. Lalu kopling diangkatnya. Mobil kembali melaju dengan kecepatan lima puluh km per jam. Lebih lambat dari sebelumnya.
Di jembatan kecil terlihat anak-anak sedang bermain lompat air dari atas jembatan. Anak-anak usia sekolah dasar itu terlihat girang dengan teman sebayanya yang saling bergantian naik ke atas jembatan dan terjuan bebas dari ketinggian ke air di bawah jembatan. Sungai pesisir ini cukup deras dan mereka tidak takut dengan batuan besar di dasar sungai atau semak belukar yang tersangkut karena terbawa arus sungai.
"Mereka nggak takut dengan ular, Pak?"
Opo Napo tersenyum, "justru ular yang takut ke mereka, Non."
"Maksudnya?"
"Kalau mereka dapat ular itu berkat. Daging enak itu, Non. Apalagi kalau dimasak rica-rica pedas. Wuh, enak non ular di sini," terang Opo Napo dengan lidah yang menggiurkan.
"Ular di makan?"
"Ya, sebagian besar."
"Ekstream sekali, terus selain itu?"
"Tikus ekor putih yang di kebun, juga dimakan."