Di kamar mandi, Isnan pun melakukan hal ceroboh. Dia yang sudah menahan kecing tidak bisa menunggu lebih lama lagi. Setelah mencari ruang kosong dan tempat sepi, dia menemukan satu ruangan yang memang bekas toilet. Ruangan yang sudah dipenuhi jaring laba-laba. Kumuh, penuh dengan daun-daun kering. Bahkan bak mandinya pun kosong. Hanya berisi tanah kering bekas endapan lumpur.
"Akhirnya nemu juga toilet," kata Isnan dan langsung membuka resleting celananya. Tanpa memikirkan apa pun, dia langsung kencing di kamar mandi tua.
Baru saja mulai kencing. Isnan dibuat kaget karena ada beberapa tikus yang keluar dari kloset. "Aaiish... Anjing!" kata dia kaget.
Sontak teriakan itu membuat semua kaget dan mengarah ke sumber suara, Isnan. "Nan..! ada apa?" Ersa mengetuk pintu kamar mandi tua itu.
Isnan belum bisa menjawab, dan masih ketakutan.
"Nggak Nggak apa-apa!" jawab Isnan. "Cuma ada tikus aja tadi. Gua kaget karena keluar dari lobang kloset."
"Baru tikus sudah bikin geger. Coba lihat hantu, paling elo udah pingsan, Nan." Astri mulai melancarkan serangan. Dia mengejek Isnan yang sering disebut laki-laki cemen.
Ersa serta teman lain pun segera meninggalkan Isnan sendiri di sana. "Ada aja tingkah bocah tengil itu. Badan doang laki. Nyali cewek!" Ersa kembali terpancing dengan tingkah teman yang membuatnya geli.
Setelah melihat lobang dan merasa yakin tidak ada binatang lain yang keluar dari sana, Isnan berniat kembali meneruskan buang hajatnya. Sebagian celananya juga sudah basah. Kencing yang barusan sudah lebih dulu keluar di celana. "Sial, gara-gara tikus celanda dalam gua jadi basah." Merasa nyaman, mulut Isnan mulai bersiul. Denging suara itu sampai ke ruang Mery.
"Siapa yang bersiul?" tanya Mery pada Astri.
"Isnan," jawab Astri dengan ketus dan wajah tengilnya. Dia masih sama, tidak suka dengan Mery. Apa pun alasannya. Entah apa yang sebenarnya membuatnya sangat membenci. "Kenapa, lo. .. takut..?" ujar Astri dengan senyum sinis.
"Siap-siap aja kalau ada yang marah. Nanti jadi korban lagi,"ucap Mery dan menyisakan pandangan sinis melawan Astri yang songong.
"Apa kamu bilang? Hati-hati kalau ngomong jangan asal njeplak!" Astri pun terpancing emosinya.
Mery mendekati Astri. "Gue tahu kok kalau elo!" menunjuk dada Astri dengan jari telunjuk. "Elo itu nggak suka sama gue? Masih sakit hati, karena nggak ada yang nunjuk jadi ketua?" Mery menyimpul senyum.
Dan membuat semua mata tertuju pada mereka berdua. Keributan yang tidak sehrusnya terjadi di satu kelompok. Bukan kali ini saja mereka bersitegang. Setidaknya selama bertemu di satu tempat, mereka akan saling diam atau menyerang dengan sindiran. Hal ini sudah terjadi berulang kali antara Astri dan Mery. Di antara mereka berdua ada dendam. Saling ejek, saling cibir semenjak seleksi untuk Tim Ekspedisi Indonesia di kampus mereka.
Mata keduanya saling tatap dengan jarak yang sangat dekat. Badan mereka pun sudah menempel satu sama lain. Wajah merah padam penuh amarah.
Melihat kejadian itu Ersa pun menarik tangan Mery dan langsung membawanya menyingkir dari Astri.
"Apa-apaan kalian ini?"
"Dan kamu Astri.. jaga emosi kamu! Ini gedung tua!" tuding Ersa pada Astri yang sering ngeyel dengan Ersa dan teman lain. "Kalian kayak bocah tahu nggak! Ingat, lo berdua bukan anak gadis yang masih remaja."
Astri salah satu anggota yang paling sulit diatur. Selalu adu pendapat dengan mereka, Ersa atau Mery. Kekonyolan Astri sering kali membuat suasana gaduh. Ersa dan Mery segera meninggalkan dia sendiri di tengah ruang kosong itu.
"Ouw jadi kalian takut di gedung tua ini? Hahaha norak kalian berdua! Emangnya ada apa dengan gedung tua ini? Woy.. siapa yang ada di gedung ini? Keluar!" teriak Astri dengan sombong. Suaranya menggema di gedung tua itu. Semua isi gedung mendengar teriakan Astri yang sombong.
"Tuh kalian dengar? Tidak ada apa-apa! Gedung ini kosong. Jangan percaya dengan takhayul" tambah Astri ketus. Katrok hari gini masih percaya dengan hantu?" Astri meringis dan kembali berkeliling gedung.
Mery pun geram oleh kelakuan Astri. Wajahnya terlihat kesal, menahan emosi yang menggebu. Rasanya, ingin sekali meremas mulut Astri. Membungkamnya, biar kapok. Setidaknya perasaan itu lega setelah mengumpat dalam hati.
Ersa menahannya untuk tidak melawan Astri. "Mer.. sudah. Kamu mau terjadi sesuatu yang aneh di sini?" tanya Ersa dengan tatapan menahan amarah.
"Tapi," Mery melotot.
"Iya, gue tahu. Sudah biarkan saja Astri seperti itu. Percuma kamu ladenin. Toh memang kelakukan dia itu songong." Ersa kembali mengajak Mery keliling gedung. "Fokus dengan tujuan kita ke sini. Bukan saling hujat satu sama lain."
Selvi asyik dengan catatannya. Dengan kesehariannya sebagai sekertaris, Selvi sudah terbiasa mencatat detail dengan penelitian. Kali ini, Selvi pun menjadi sekertaris kelompok. Bertugas mencatat semua yang ada di gedung tua itu. Cewek berkacamata tebal ini, dikenal humble dan supel. Tampilannya yang sederhana sering kali memancing rekan-rekannya untuk jahil dan meledeknya. Rambutnya yang selalu di kepang, dan cara ngomong yang tidak jelas, membuat Astri senang mengejek Selvi.
Kali ini, Isnan dari belakang kamar mandi. Dengan langkah mindik-mindik. Ngumpet di balik tembok pembatas antara ruang lorong ke arah kamar mandi dengan ruang dapur, tempat Selvi berada. Tujuannya jelas membuat teman barunya itu kaget.
Sembari memegangi dada, Isnan menarik napas pelan-pelan. Berusaha setenang mungkin agar Selvi tidak meyadari keberadaannya. Benar saja, Selvi yang baru saja keluar dari ruangan bekas dapur itu dibuat kaget oleh bentakkan Isnan.