SONGKO

M A R U T A M I
Chapter #14

Chapter 14

Waktu selalu mengajarkan banyak hal. Entah kepedihan, kebahagiaan, duka, suka, lelah, perih, dan rasa sesal yang kadang merundung pikiran. Pada prjalanannya, detik yang terlewati serasa cepat bagi mereka yang tidak memikirkannya. Namun, waktu akan terasa lama bagi orang-orang yang terus menunggu sesuatu. 

Setidaknya sudah sepuluh tahun dari kejadian pembakaran rumah dan penangkapan kedua orangtua mereka. Tidak lupa. Peristiwa itu masih melekat jelas di benak dua orang yang hampir mati. Meski mulai berangsur menyiapkan diri untuk hal lain yang memang sudah dipikirkan sejak peristiwa pemenggalan kedua orangtua. Mencari cara untuk membalas dendam. 

Mereka perlahan mulai beradaptasi dengan lingkungan. Berteman dengan hutan. Bersahabat dengan gelap, kesunyian, kesepian, dan alam. Ketakutannya pada Opa Jahal sudah hilang. Layaknya anak dan orangtua, mereka sering bepergian bersama. 

Jika dulu, Jahal tidak banyak berbicara, sekarang dia justru sering bercerita tentang masa mudanya. Kisah perjalanan hidup seorang pria lajang yang tidak pernah menua. Bahkan, tubuh renta untuk seorang kakek dengan usia yang konon sudah tujuh puluh tahun, seharusnya sudah membungkuk, kulit mengeriput, dan uban memenuhi rambut di kepala. Anehnya, ciri tua tidak ada di dalam diri seorang Jahal yang justru terlihat sama dari sejak Sarageti dan Suryo bertemu. 

Sarageti menanyakan rasa penasarannya itu. Jahal tersenyum kecil. Lalu menoleh ke arah gadis cantik yang mulai tumbuh dewasa itu. "Tidak ada yang Opa sembunyikan dari kalian. Sudah sepuluh tahun, kalian hidup bersama di gubug ini. Kalian lihat apa yang Opa lakukan?"

"Aneh, Opa. Lagian, sepuluh tahun yang lalu, dan sekarang, wajah Opa masih sama." Geti masih menerka-nerka. "Dulu Sarageti memanggil Kakek, sekarang lebih cocok Opa." Setelah melontarkan kalimatnya gadis itu tertawa. 

Jahal berdiri. Menatap dinding semesta yang mulai cerah. "Hidup itu sederhana, tidak perlu memikirkan apa yang akan menimpa kita, masa yang akan datang seperti apa. Dan yang paling penting, kita tidak boleh egois."

"Biar awet muda, Opa?"

Sekali lagi, Jahal dibuat tertawa oleh pertanyaan Sarageti. "Soal tua itu tidak hanya dari fisik. Tapi waktu yang sudah dihabiskan seberapa lama." Jahal menyentuh pundak Geti. Lalu kembali berbicara, "Kamu itu cantik, Opa yakin kalau kamu kembali ke kampung. Pasti sudah banyak pemuda yang datang meminangmu."

Gadis itu segera berhenti memetik daun-daunan yang sejak pagi tadi dipilahnya. Mendengar saran Opa untuk kembali ke kampung, membuat Geti tidak enak hati. Bukan dia tidak mau membaur kembali bersama masyarakat lain. Luka lama yang pernah tergores itu sampai detik ini belum hilang. Justru ketika dia melihat orang-orang kampung, hatinya teriris sakit. Sebab, orang-orang yang keji itu masih bisa bernapas, sedangkan kedua orangtuanya sudah tiada. 

"Sagira tidak mau pergi ke kampung. Itu sama saja, mengorek luka lama, Opa. Melihat mereka tertawa saja, hati Sagira perih." Gadis itu duduk di bangu kayu yang memanjang. 

"Opa paham perasaan kalian," timpal Jahal pelan. Dia melangkah mendekati Sagira yang masih duduk di atas bangku. "Tapi, apa kamu mau hidup menua sendiri di hutan ini?"

Sarageti menatap wajah Jahal. Lalu, kembali menundukkan wajahnya. Kedua tangan itu lantas meletakkan nampan kecil dari anyaman bambu. "Balas dendam, Opa!" ujar Sarageti. "Sebelum Geti membalas dendam kematian Amak dan Bapak, hidup Geti tidak akan tenang."

Jahal menarik napas panjang. Mendengar kalimat itu tentu saja Jahal tidak nyaman. Bukan tidak setuju dengan niat Sarageti untuk membalas dendam pada orang-orang yang telah membunuh orangtua gadis itu. Hanya saja, Jahal tidak yakin, jika Sarageti dan Suryo bisa melakukannya. Dia hanya takut itu akan membuat masalah baru bagi mereka berdua. 

"Hati itu bersih, Geti,"Jahal mendekati Sarageti.

"Kalau tidak digores lebih dulu, hati ini pun bersih, Opa. Sayang, mereka lebih dulu menikamkan belati ke hati kami berdua. Luka itu mungkin sembuh, tapi tetap bekas sayatan dari orang-orang kampung itu tidak akan pernah hilang," Suryo yang baru saja pulang dari memancing itu langsung menyahut kalimat Jahal. "Mereka harus bertanggung jawab dengan apa yang sudah mereka lakukan."

Jahal memang terus membujuk kedua anak itu untuk melupakan peristiwa tersebut. Tetapi, dia bisa. Keduanya tetap mendendam. Jahal tidak menyalahkan jika keduanya masih menyimpan dendam. Sebab, semua orang yang terluka pasti berharap bisa membalasnya. 

"Suryo, daun pesanan Opa?" Sarageti menanyakan pesanan Opa Jahal yang dititipkan pada Suryo tadi pagi pada saat pergi ke sungai untuk memancing. Daun yang biasanya direbus dan diminum sarinya oleh Opa. Setidaknya setiap pagi tugas itu Geti kerjakan. 

"Ada, tapi ada beberapa daun yang sulit, karena dia ada di lereng tebing air terjun," jawab pria yang mulai memanjangkan rambut.

Sekarang, Suryo dan Sarageti sudah mulai belajar memetik daun-daunan di hutan. Ramuan untuk mengobati luka dan gigitan ular yang diajarkan Jahal mulai masuk ke pikiran kaka-beradik itu. Mereka tidak lagi larut dalam duka. Meski dalam hatinya terus bergema untuk membalas dendam. Sarageti terus belajar dengan alam. Bertanya pada Jahal tentang banyak hal. "Bisa jadi ini yang membuat Opa awet muda dan sehat."

Jahal menyimpul senyum. "Kamu coba minum setiap pagi."

"Tunggu, kalau sudah selesai tugasku. Pasti ramuan ini Geti minum. Sekarang, ajarkan dulu ilmu Opa. Supaya, Geti bisa hidup normal."

Kejadian sepuluh tahun silam berangsur memudar meski tidak akan pernah hilang dari ingatan mereka. Kematian tragis kedua orangtuanya menjadi kisah pilu yang disimpan. Rasa sakit itu hilang karena berubah menjadi dendam. Bukan dilupakan. Dendam pada warga yang sudah membunuh kedua orangtua mereka. Makin hari semakin besar. Terlebih melihat orang laknat itu masih duduk dengan asap mengepul dari mulut berbisanya. 

Geti tumbuh menjadi gadis desa yang sangat cantik. Rambut panjangnya membuat parasnya semakin terlihat memesona. Keseharian Geti lebih suka dengan pakaian serba hitam, seperti Opa Jahal. Rambutnya dibiarkan terurai memanjang. 

Sedangkan Suryo berpawakan gagah. Tampan dengan wajah tirus ditambah dagu lancip. Hidungnya yang mancung menjadikan pria itu disukai oleh orang-orang kampung. Mereka penasaran dengan sikap cuek dan pendiamnya Suryo ketika turun dari hutan untuk mencari sesuatu di perkampungan. Dia yang jarang sekali tersenyum dan lebih senang menyendiri membuat beberapa orang desa penasaran. 

Ketika di hutan, Suryo paling senang duduk di sebuah batu besar di lereng dekat air terjun. Tempat kesukaannya adalah duduk di batu besar dekat jurang. Bermain seruling bambu dan burung elang kesayangan. Sesekali, Suryo meluangkan waktu untuk sekadar membantu Opa Jahal mencari ikan dan menjualnya ke perkampungan. Di saat itulah dia bisa bertemu dengan warga. Sembari mencari dan mengamati situasi kampung. Suryo sering menceritakan situasi kampung pada Geti. Iya, diam-dima mereka sedang membuat peta dan rencana untuk membunuh pemuda itu. 

Semalam, Opa Jahal sudah mencari sesuatu yang akan diberikan pada dua remaja itu. Jahal yang merasa sudah tua dan tidak lagi bisa beraktifitas lebih itu mulai berpikir nasib kedua pemuda tanpa dia di sisi mereka. Meski peristiwa sudah lama, tetapi Opa Jahal tahu Sarageti masih berambisi untuk membalas dendam. Tidak hanya itu, kekhawatirannya juga pada warga kampung yang mulai menyadari bahwa dua anak Suanggi itu selamat dari pengepungan. Jadi, sejak pemenggalan kedua orangtua, Suryo dan Geti juga dicari keberadaannya. Beruntung Opa Jahal bisa menyembunyikan keduanya sampai usia dewasa. 

"Hari ini, Opa akan mengajarkan kalian pegangan untuk menjaga diri dari niat jahat orang lain. Ilmu ini turun temurun dari keluarga," suara Opa terdengar lebih santai dan payau. Usianya sudah tidak muda lagi. Tidak seperti dulu pada saat pertama kali bertemu dengan Geti dan Suryo. Meski tubuhnya tetap terlihat sama dan tidak berubah.

Tawaran ilmu itu pun sudah pasti tidak akan ditolak oleh keduanya. Kesempatan mereka berdua untuk dapat membalas dendam. Keduanya menatap ke arah Opa Jahal. Saling tengok diantara keduanya, melirik dengan senyum. Sebelum akhirnya kedua remaja itu tersenyum dengan wajah sumringah. Mereka langsung datang menghampiri Opa Jahal.

 "Ilmu apa Opa?" Tanya Geti dengan sumringah dan wajah berseri. Gadis ini sudah berusia delapan belas tahun. Dia sudah siap untuk belajar benteng diri sebagaimana yang Jahal pelajari ketika muda dulu.

Suryo sudah dua puluh tahun. Umur yang sudah cukup dewasa. Dia pun sudah bisa belajar ilmu itu. Meski Jahal masih ragu apakah dua anak angkatnya itu mampu menjaga diri dan tidak terbawa arus emosi? Sebab dari dua anak itu, Jahal lebih condong ke Suryo. Dia jauh lebih bisa meredam amarah ketimbang Sarageti yang mudah marah. Sebab, ilmu ini jika dikuasai oleh mereka yang gampang emosi, maka yang menguasai jiwa mereka adalah roh jahat. Iblis yang bisa menjadikan orang itu menjadi sangat mengerikan.

Lihat selengkapnya