“Ini Kampung apa Pak?” Tanya Ersa di tengah perjalanan menuju Tahuna.
“Ini masih masuk Manganitu,” jawab Nappo dan tiba-tiba berhenti dengan mendadak. Sontak, yang ada di belakang pun kaget dan berteriak.
“Kenapa pak?” tanya Ersa.
“Tidak. Tidak ada apa-apa,” jawab Nappo. Yang sebenarnya melihat bayangan nenek-nenek yang tiba-tiba melintas di tengah jalan dan menyebabkan Nappo menginjak rem mendadak.
Ersa tidak melihatnya.
"Mery mengingatkan Nappo untuk berhati-hati. “Pak, kalau ngantuk biar saya gantikan.” Dia menawarkan diri untuk menggantikan menyetir mobil.
“Jangan... jangan,” Isnan langsung melarangnya. “Emang lo tahu medan jalan di sini?” ujarnya memicingkan mata dan dahinya segera berkerut karena tidak yakin dengan Mery.
Diremehkan, Mery memukul lengan Isnan. “Lo kira gue itu anak udik nggak tahu bawa mobil?”
“Ya, gue tahu lo bisa. Tapi ini bukan Jakarta, Mer. Jalan di sini beda jauh.” Isnan memalingkan wajah. “Lo lihat sana, jalan berkelok dan di samping kiri jurang, lo mau bawa mobil. Ogah, gue nggak mau mati konyol di sini. Masa depan gue masih panjang.”
“Lebay banget jadi orang,” sergah Mery. “Lagian, ajal itu bukan kita yang nentuin. Biar elo jatuh ke lubang buaya, kalau emang belum ajalnya, nggak bakalan mati.”
“Lagian, elo juga dari berangkat duduk di sebelah Pak Nappo. Ini pindah ke belakang. Jadi susah duduknya.” Kalah berdebat, Isnan berusaha mengalihkan topik.
“Bisa nggak kalian diam dan nggak berisik?!” tegur Astri dengan suara lantang dan tegas. Tatapan matanya menyorot langsung ke wajah Mery dan bergantian ke Isnan.
Meski berbicara dan menatap Mery, tatapan Astri terlihat kosong. Ngambang dan tidak jelas arah pandangannya.
Isnan yang menyadari ada yang aneh, langsung menendang kaki Mery. “Sstt.. lo lihat nggak pandangan Astri?”
Mery tahu apa yang dimaksud Isnan. “Udah biarin, lo kan sudah tahu gimana sifat dia kan?”
“Mer, tapi ini aneh, dia kayak bukan Astri yang gue kenal.”
“Sudah, jangan diurusin. Lagian, itu paling shock di gedung tua tadi. Kalau sudah di rumah paling dia bisa tenang dan istirahat.”
Isnan menggaruk kepala.
Nappo kembali mengerem mendadak dan menyebabkan mereka kaget. Astri pun tiba-tiba duduk telungkup dan tidak mau menatap ke arah samping atau belakang mobil. Dia menutup kepalanya dengan kedua tangan.
“Astri?” panggil Isnan yang duduk di samping kanannya. Dan menggoyang-goyangkan tubuh temannya tersebut.
“Kamu kenapa?” panggil kembali Isnan. Lalu mata kanannya memberi kode pada Mery dan teman lain. “Ada yang aneh,” bisiknya.
“Tolong, cepat antar aku pulang,” seru Astri dengan nada keras dan berteriak.
Sontak membuat Mery, Selvi, Resti pun kaget dengan teriakan itu.
“Kamu kenapa?” tanya Selvi.
Astri benar-benar bertingkah aneh. Pertanyaan Selvi tidak dijawab, justru mengangkat tangan kanan dan hendak menamparnya. Beruntung Mery langsung menahan tangan Astri. Tamparan itu pun gagal. Tatapan mata Astri berubah ke arah Mery. Tatapan tajam yang aneh dari seorang manusia sadar. Giginya sudah merapat. Menggerit kuat. Mukanya yang awalnya pucat masam itu berubah merah.
“Sepertinya, ada yang tidak beres dengan Astri,” ucap Resti dan kembali menenangkan Astri.
Astri kembali duduk telungkup. Rambutnya dibiarkan terurai menutupi kepalanya. Teman yang lain mulai menebak-nebak, apa yang sebenarnya terjadi pada Astri.
“Res, tadi kamu yang lihat Astri di toilet? Emang kenapa dia?” Tanya Isnan.