GERIMIS mulai datang dan membasuh dedaunan yang diselimuti debu. Tetes demi tetes membentur ke atap, bebatuan, jalanan, dan halaman Vila. Tanah pekarangan yang kering kini mulai basah kuyup diguyur hujan yang mulai menderas. Secangkir kopi Sulawesi Utara yang baru saja dibeli Ari di warung kelontong Pasar Towo Tahuna, cukup menghangatkan badan. Beruntung, hujan tidak sempat mengguyur di perjalanan. Hanya rintik gerimis yang tidak sempat membasahi rambut. Hanya percikan gerimis yang membuat rambut gadis itu berembun. Dengan kedua tangannya, Mery mengibaskan rambutnya. Lalu, handuk putih yang tersampir di teralis jendela ditariknya. Dibebatkan pada kepala untuk menutupi rambut keritingnya. Setelah itu, di bukanya handuk itu.
Rambut keriting itu berubah lebih berantakan. Mery menyisirnya pelan sembari menatap layar cermin di depannya. Ditatapnya wajah lembab itu dengan tatapan lelah. Sebab, seharian ini dia orang yang paling sibuk mengamagti subjek penelitiannya. Ditambah emosi yang membuncah ketika Astri dan Isnan membuatnya kesal.
Yang lain sibuk bergantian antre mandi dan ganti baju. Isnan sibuk membuat Mie di dapur. Selvi mengeringkan rambutnya yang panjang. Ersa dan Zack asyik duduk di sofa ruang tamu. Berbincang seolah melepas rindu yang dua hari dipendamnya.
Selesai mengeringkan rambut, Mery membuka pintu. Lalu tuas itu ditariknya kembali. Dia melihat kesibukan rekan lain di dapur. “Mer, mau mie kuah rasa soto?” Isnan menawarkan satu bungkus mi.
Mery hanya menggelengkan kepala. Lalu melangkah ke ruang bagian depan. Di sana ada sofa yang melintang ke sudut ruangan. Dia duduk sembari menatap ke arah jendela kaca yang ada di sampig kiri. Mery melayangkan pandangan ke luar jendela. Mengamati bunga sepatu yang bergoyang karena terpaan angin. Gerakannya yang lambat membuat matanya menarik lebih dalam pikirannya. Hal yang sebenarnya tidak istimewa. Justru biasa saja. Entah apa yang membuat gadis tomboy itu tertarik untuk mengamatinya.
Di ujung jauh sana. Dinding semesta yang gelap itu terlihat guratan yang menyala disertai suara petir. Guntur menyambar. Hamparan air laut itu tak terlihat jelas meski buih putih tetap lebih menonjol dibanding warna biru laut. Di seberang jauh, pulau yang biasanya terlihat jelas ketika terang kini hanya terlihat sekilas. Bak segumpal tanah yang menggunduk di antara luasnya samudera.
Sepertinya pulau di seberang pun hujan deras. Terlihat dari air laut yang tidak tampak jelas. Menghitam. Mery melipat kaki di atas sofa. Menyeruputi kopi hangat.
“Hai..” tegur Ari dari belakang Mery. Tangannya membawa secangkir kopi yang masih mengepulkan asap. “Nggak baik lho duduk sendiri. Melamun, nanti kesurupan.” Kali ini, wajah Ari sangat menawan tanpa kaca mata.
Mery membalas sapaan itu dengan seutas senyum. “Yang lain?” tanya Mery. “Sibuk di dapur?” imbuhnya segera.
Ari duduk di kursi samping kiri Mery. Sembari memegang cangkir seraya menghangatkan telapak tangannya. “Mereka sibuk masak mi. Biasa, Isnan dan keroconya kan paling sibuk kalau urusan makan.” Ari menimpalinya dengan kedipan mata. Lalu kembali berbicara. “Sepertinya lebih senang menyendiri?” tanya Ari
“Ya, aku lebih senang sendiri. Duduk melamun dan memikirkan jadwal besok,” jawab Mery, singkat. Kembali menyeruput kopi di tangannya.
Suara Resti sayup-sayup terdengar di dapur. Keributan memasak Mi instan sudah semakin berisik. Saling adu mulut hanya berebut siapa yang lebih dulu memasak.
“Sepertinya suka sekali dengan hujan. Atau memang sejak kecil suka main hujan-hujanan?” Kata Ari sembari tersenyum.
Sepertinya Ari bukan lelaki yang Mery kenal sebelumnya. Mereka bertemu hanya karena satu program. Sisanya, hanya sebatas teman satu tim saja. Mery pun tidak, ternyata dari sisi lain Ari cukup perhatian.
“Kamu tahu nggak?”
“Nggak…!” sergah Ari tertawa
“Ikh.. apaan sih.” Mery menjawil pundak Ari dan terkekeh setelahnya. Kembali terdiam, dan. “Hujan itu bukan sekadar air yang jatuh dari langit. Hujan juga bukan tanpa pesan. Tapi, dari hujan kita akan paham tentang kuasa Tuhan semesta alam. Aku senang lihat dan mengamati setiap tetes yang jatuh saat hujan. Pantulannya. Banyak cerita yang dikisahkan dari hujan.”
“Terus?” serang Ari meminta Mery melanjutkan cerita.
“Hujan sering kali disalah artikan. Mereka tidak tahu, di balik hujan yang datang ada kebahagiaan. Ada keceriaan dan ada kehidupan. Coba lihat rumput kering di sana. Dengan datangnya hujan, rumput itu bersemangat untuk hidup. Dan bunga itu, terlihat sangat senang dengan adanya hujan yang mengguyurnya. Cerita lain tentang hujan, ketika orang sedang sedih, hujan menenangkan. Menyejukkan dan bahkan hujan memberi warna dalam kesedihan.”
“Mer, sepertinya kamu ini hobi sekali membaca prosa? Dari kata-kata kamu dan kalimatmu. Sungguh, kamu ini…” kalimat Ari terhenti ketika Mery menoleh ke arahnya.
“Kamu ini, wanita cerdas,” lanjut Ari dan tersenyum. Lesung pipinya membuat pria itu makin nampak menawan. Garis tipis di sudut matanya, membuatnya manis.
“Dan aku tidak tergoda dengan kalimat pujianmu, Ar!” Mery memalingkan wajah.
“Kamu tahu kan kalau orang yang memuji bukan berarti dia suka.”
“Dan orang yang menolak pujian juga bukan berarti dia membencinya,” Mery tetap tidak mau kalah. Dia terus menyergah kalimat Ari.
“Selama ini sudah berapa kali pacaran, Mer?” lagi-lagi pria itu terus mengejar Mery dengan pertanyaan yang menohok.
“Mungkin ratusan.”
“Kok kaya wafer, Mer?” Ari tergelak. “Nggak mungkin kan kalau kamu nggak suka sama cowok?”
Mery mendelik kesal dengan kalimat itu. “Aanjing! Kamu kira aku apaan?” Mery memukul lengan Ari. “Nggak pacaran bukan berarti dia nggak normal. Lagian, apa sih senangnya pacaran?”
“Hidup lebih jelas dan berarti.”
Mery tidak menanggapinya. Dia tahu, semakin direspon, Ari makin jadi. Dia tidak akan bisa diam. Pasti terus mengejek Mery.
Hujan semakin deras. Sangat deras. Angin pun kencang. Sore menjelma menjadi malam. Hari yang terang mulai gelap. Semua sudah berkumpul, duduk selonjor dan menonton TV.
Mery duduk tepat di samping Ari. Dan Ersa asyik berpelukan dengan Zack. Selvi sibuk membaca buku kesayangannya novel tebal yang sering dibawa kemanapun dia pergi. Resti ada di kamar menemani Astri yang sejak pulang tadi masih saja diam. Hanya matanya yang berbicara. Isnan sibuk dengan kamera dan handycame. Membuka kembali rekaman video dan foto dokumentasi di Gedung Tua tadi.
Siaran berita kali ini, masih seputar cuaca ekstrim di beberapa daerah dan negara. Termasuk badai di Mindanau, Filiphin yang meluluhlantakan pemukiman warga. Beberapa orang Sangihe bilang, cukup dekat kalau mau ke Mindanau, perbatasan dengan pulau Marore.
“Sepertinya dunia mau kiamat,” celetup Isnan sembari melihat foto di kameranya.
Kontan semua yang di depan TV beralih ke arahnya. Menatap Isnan lamat-lamat. Kalimatnya mendenging di telinga dan menyeruat muncul sampai memenuhi ruang TV. Ruangan itu mendadak senyap. Sepi dan hanya bisikan angin yang numpang lewat.
“Kenapa?” tanya Isnan dengan wajah tanpa dosa. Seperti tidak berkata apa pun.
Dan semua berlalu begitu saja. Tidak merespon lebih lanjut. Sebab, Isnan akan berdebat konyol dengan gaya bodohnya.
Semua mata kembali ke arah TV. Kali ini, ganti chanel. Ada berita pembunuhan.
“Mayat wanita di temukan mengapung di sungai. Di duga wanita tanpa identitas tersebut, korban pembunuhan,” kata penyiar berita. Semua melotot satu sama lain dan melihat ke arah berita.
“Paling-paling berantem sama pacarnya,” lagi Isnan mengeluarkan kalimat nyeleneh yang menggugah rasa kesal.
“Aduh… sialan, ini gambar kok’ buram,” lanjut Isnan dan menepuk dahinya sebelum matanya melotot.
“Kenapa?” tanya Selvi di sebelah Isnan.
Tangannya menahan pertanyaan Selvi. Dia mengamati foto yang ada di kamera. Wajahnya sangat serius. Kamera di putarnya. Tangannya melipat jari, dan menghitung jari tangannya. Setiap berhenti di jari ke tujuh, wajah Isnan selalu tersengal dan memasang wajah aneh.
“Kamu kenapa Nan?” tanya Ersa dan melepas tangan Zack dari pundaknya. Bangun dan menuju sofa tempat Isnan duduk.
“Eh.. kita tadi ke Gedung Tua Cuma berenam kan’?” tanya Isnan dengan dahi yang berkerut.
“Tujuh dengan Pak. Nappo. Tapi, kenapa ada nenek-nenek di foto ini ya?” kata Isnan dan semua yang di ruang TV pun langsung menyergah ke arah Isnan dan melihat foto itu.
“Coba sini, lihat!” kata Zack dan merebut kamera dari tangan Isnan.
Benar kata Isnan. Ada sosok nenek-nenek di kamera. Pakaian lusuh dan rambut acak-acakan. Menatap ke arah kamera dengan jelas.
“Ini siapa?” tanya Zack dan menoleh ke arah Ersa.
Ersa pun mengerenyutkan dahi. Karena tidak tahu siapa sosok yang ada di kamera itu. Kerumunan itu pun hilang saat terdengar teriakan dari kamar Resti.
“Tolong…!” suara teriakan Resti yang minta tolong. Beberapa kali terdengar barang pecah.
Dan mereka pun langsung berhamburan menuju kamar Resti dan Astri. Entah ada angin apa yang menyebabkan, pintu kamar sulit dibuka. Terkunci. Suara Resti seperti tercekik. Dan terdengar suara menggeram.
“Ayo.. cepat buka pintunya!” desak Selvi panik. Semua yang ada di depan pintu bingung.