SONGKO

M A R U T A M I
Chapter #17

Chapter 17

KAMPUNG mulai ramai membicarakan kejadian yang dialami oleh tiga pemuda semalam. Pasar yang biasanya riuh dengan teriakan pedagang ikan dan sayur itu sibuk membahas songkok. Kini, tidak hanya tiga pemuda saja yang mulai ketakutan. Orang-orang kampung lain mulai dihinggapi rasa khawatir.

Di kantor desa, beberapa orang pria berkumpul. Mereka membicarakan kejadian S-O-N-G-K-O-K yang tampak di pos ronda. Tiga pemuda yang menjadi saksi duduk sembari terus menceritakan sosok itu.

“Mereka nggak lihat, saya orang pertama yang lihat songkok itu ada di samping pos ronda.” Kata salah satu pemuda dengan gugup. Meski sudah banyak orang, wajahnya masih ketakutan.

“Kuntilanak mungkin yang kamu lihat!” timpal ketua pemuda yang kini sudah menjabat kepala desa. “Songkok itu sudah hilang sepuluh tahun lalu,” ujarnya dengan santai.

Pemuda itu lantas menoleh ke samping kanan dan kiri. Dua temannya memang melihat tapi hanya sekilas. “Coba kamu yang ngomong, semalam kamu juga lihat kan?” tanya pemuda itu sekali lagi.

Sementara itu, pemuda di samping kiri hanya tersenyum geli. Sebab, dia sebenarnya hanya ikut mereka berdua saja. Lari bukan karena takut atau melihat songkok, tetapi kaget karena teriakan dari salah satu temannya. “Jujur, saya lari bukan karena takut. Tapi kaget kalian berdua tiba-tiba lompat dari dipan pos ronda. Ya, saya jadi ikutan lari.”

Kapita Lao pun tersenyum. “Sudah! Kalian mungkin ngantuk, jadi melihat barang yang tidak nyata. Lagian, semalam kalian mabok?”

Ketiga pemuda itu tidak bisa mengelak. Aroma dari dalam mulutnya masih tercium dengan jelas. Pertanyaan itu hanya dijawab dengan anggukan kepala.

“Sekarang kalian pergi, tidak usah membuat gaduh kampung dengan cerita bohong kalian itu!” pesan Kapita Lao.

Gagal mengadu, tiga pemuda itu berjalan gontai ke pasar dengan perasaan kesal dan kecewa. Sepanjang perjalanan, salah satu saksi yang pertama kali melihat itu terus ngomel. Dia masih saja memercayai jika yang dilihatnya itu songkok. “Saya yakin betul, semalam itu songkok!” ujarnya sembari berjalan ke arah pasar.

“Lagian, kalian juga lihat! Masa iya nggak percaya?” tanyanya pada pemuda di belakangnya. Dia orang yang tidak percaya sama seperti kepala desa.

“Run, semalam kamu lihat kan?” pemuda bernama Santo itu terus saja menanyakan itu pada temannya.

“Saya lihat, tapi memang tidak kentara. Apa itu songkok atau kuntilanak!” Badrun menjawabya dengan pelan. “Sudah, To, tidak usah dibahas lagi. Nanti Kapita Lao memanggil kita lagi.”

Santo jelas tidak mau jika dia disebut berdusta. Hanya sekadar bikin gaduh desa. “Saya nggak mau kalau disebut dusta. Apa yang saya lihat memang benar.”

 

Geti dan Suryo yang ada di pasar untuk jual ikan pun tersenyum melihat warga yang ketakutan. Heboh dengan kejailan mereka. Mereka tidak ikut membicarakan topik hangat pagi ini. Fokus dengan mematai orang-orang yang diincarnya.

“Ada apa kalian?” tegur ketua pemuda yang wajahnya tidak asing bagi Suryo dan Geti. Kerumunan itu mulai terbuka, ketua pemuda pun masuk dalam kerumunan dengan cerutu yang menyumpal mulutnya. Kumis tebalnya itu menambah garang wajahnya.

“Semalam, ada SONGKOK di Pos Ronda,” kata salah satu pemuda yang semalam ketakutan dan mengadu pada ketua pemuda kampung.

“Kalian yakin? Bahwa itu SONGKOK?” tanya ketua pemuda yang menjadi jagal saat memenggal kepala orangtua Suryo dan Geti.

“Yakin!”

Cerutu itu kembali diisapnya dan menatap ke arah Geti dan Suryo. Sepertinya ketua pemuda yang sudah berumur itu terpesona dengan Geti.

Mendapati dirinya diperhatikan orang yang sudah membunuh orang tuanya itu, Geti pun memanfaatkannya. Wajahnya tersipu dan menunduk. Kembali mengatur ikan-ikan-jualannya di lapak.

“Get.. Geti..” Suryo menjawil sikut adiknya.

Dia menoleh, “ini kesempatan kita buat balas dendam.” Geti berbisik pada Suryo.

Ketua pemuda itu pun mendekati mereka berdua dengan wajah genit dan mata keranjang. Semua pemuda yang awalnya heboh dengan isu kemunculan kembali SONGKOK, mulai mereda dan ikut nimbrung ke arah Geti dan Suryo.

“Cantik,” kata Ketua Pemuda menyapa Geti.

Dibalas senyum oleh Geti. Kedua matanya memancing ketertarikan Pemuda kejam itu.

“Mau beli ikan?” tanya Geti manja.

“Boleh. Berapa satu ekor?”

“Dua puluh ribu,”jawabnya sembari menyimpul senyum manis. Lesung pipi itu erlihat di kedua sisi wajah cantik itu.

“Bungkus semua ikan, saya borong. Tapi, ada syaratnya,” pemuda itu memicingkan mata kanan. Tersenyum genit dengan tatapan mata yang menggoda. Otak mesumnya mulai beraksi.

“Apa syaratnya?” tanya Geti dan keningnya langsung berkerut. Dugaan tentang kelicikan ketua pemuda pun muncul di benaknya. Sudah bukan hal biasa, jika pemuda ini selalu berbuat keji.

“Kasih tahu di mana rumahmu,” pinta pemuda itu dengan kedipan matanya ke arah Geti.

Mendapati adiknya di goda lelaki buaya, Suryo pun hendak mencegahnya. Tapi, Geti menahannya. Suryo diam dan hanya menunduk mengikuti arus umpan dari Geti.

“Kenapa bertanya rumah?” tanya Geti sembari membungkus ikan di kantok plastik.

“Boleh jo, kita suka main ke rumah ngana?”

“Kapan?”

“Nanti malam? boleh?” tanya Pemuda.

“Boleh, nanti saya jemput di tanah lapang di ujung desa. Tapi, dengan syarat, datang sendiri,” pinta Geti dan syarat itu pun disanggupinya.

Ikan sudah di bayar semua. Geti pun tersenyum manis, tapi sinis. Mendapat angin segar untuk membalas dendam kematian orang tuanya.

Pemuda itu mulai berlalu dari Geti dan Suryo. Suasana pasar kampung sudah mereda. Beberapa pedagang berkemas dan pulang meninggalkan lapaknya. Kabar songkok mereda dengan sendirinya seiring matahari yang sudah mulai naik.

“Get.. kamu serius?” tanya Suryo.

Tersenyum dan menoleh ke arah Suryo, “tenang saja, Opo boleh mengantar Geti nanti malam dari kejauhan,” jawab Geti dan kembali melanjutkan perjalanan pulang ke gubug mereka.

Hari ini, suasana cukup cerah dan menyenangkan bagi Geti. Rencana balas dendam itu dirahasiakan dari Jahal. Geti dan Suryo tahu jika Jahal akan melarang mereka balas dendam. Perjanjian mereka jelas, ilmu yang diajarkan itu hanya untuk menjaga diri, bukan membunuh siapa pun.

Jahal masih sibuk dengan menyiapkan jubi tombak ikan miliknya. Dia mengasah ujungnya agar runcing dan tajam.

“Opa, semua ikan ini habis. Diborong sama orang di pasar,” ujar Geti yang masih berjalan ke arah gubug.

“Tumben habis, biasanya sisa banyak?” Jahal berhenti sejenak dan melihat ke arah Geti dan Suryo.

Lihat selengkapnya