MENTARI mulai menyingkap gelap. Kampung itu mulai terdengar kehidupan. Suasana kampung sudah mulai terasa. Orang-orang yang bersembunyi dari ketakutan dan gelapnya malam mulai keluar satu per satu. Kembali menjalani aktivitas seperti biasanya. Mereka tidak takut ketika siang, sebab banyak orang yang keluar dari rumah. Apalagi songko juga tidak akan keluar di siang bolong. Tentu, warga merasa berani.
Pagi ini, embun yang sudah lebih dulu mencumbui rumput itupun terpaksa menguap setelah mentari pagi mengusirnya. Kini, pos ronda belum terjamah oleh satu orang pun. Jasad ketua pemuda kampung masih tergeletak tanpa kepala. Darah itu mulai menggumpal dengan semut merah yang mulai berkumpul untuk mengecapnya. Bau amis dari darah itu mulai menyengat.
Seekor anjing berlari ke arah pos ronda karena mencium sesuatu. Sampai di pos itu, anjing berwarna hitam dengan corak bagian punggung berwarna pirang itu menggonggong kuat beberapa kali. Lalu kembali berlari pada tuannya yang masih berjalan agak jauh darinya.
Tuannya tidak merasa aneh, sebab hal biasa ketika anjingnya itu melihat sesuatu pasti akan menggonggong. Dia hanya coba menenangkan binatang itu dengan mengusap kepalanya. Sayangnya, anjing itu terus menggonggong mengadu apa yang baru saja dilihatnya. Sayang, bahasanya tidak bisa dipahami oleh tuannya.
Warga itu lantas mengabaikan dan kembali berjalan menuju jalan setapak yang ada di samping kiri pos ronda. Dari sana warga yang membawa parang dan juga bika di punggungnya itu akan berjalan menujuk kebun. Rutinitas yang biasa dan setiap hari dilakukan. Hanya saja, dia merasa aneh dengan suasana pos yang sepi. Biasanya, orang-orang yang berjaga malam tadi pasti duduk atau masih tertidur di sana. Sekarang, dari kejauhan dia justru melihat sesuatu yang tidak biasa. Warga yang hendak menuju kebun miliknya dekat pos ronda, menatap curiga dengan melihat tangan yang penuh dengan darah terlihat dari kejauhan. Lelaki itu segera mendekat dan berlari pelan menuju pos ronda.
Matanya membelangak tidak percaya. Melihat sosok tubuh bersimbah darah tanpa kepala. Mual itu membuat isi perutnya keuar. Melihat jeroan manusia tersebar. Muntah. Tubuhnya berdiri gemetar ketakutan.
Dengan segera, warga kampung itupun berlari ke pusat desa.
“Mayat… mayat…. Mayatttttttt!” teriak warga kampung keliling sambil terus berlari. Warga yang asik menikmati sarapan berhamburan keluar rumah. Mencari sumber suara yang sudah berdiri di depan Kapita Lau kampung tersebut.
“Ada apa? Kenapa kamu teriak-teriak?” tanya kapita lao.
Warga itu coba menghela napas sembari terus menahan mual. Bayangan tentang kepala tergantung dengan isi perut yang menjuntai itu membuat warga itu semakin tidak mampu menahan muntahannya.
“Ada… ada,,,,” kalimatnya terbata-bata dan jari telunjuknya menunjuk ke arah pos ronda.
“Ada apa? Coba tenangkan dulu dan katakan apa yang kamu lihat?” pinta sang kepala kampung. Berjalan mendekati warga itu lalu menepuk pundaknya beberapa kali. Dia coba menenangkan.
“Ada… mayat…” kata warga.
“Mayat….? Ada mayat?” seru warga yang mengelilingi rumah Kapita Lao.