KAMPUNG TARIANG mulai sunyi. Malam mulai datang merangkak, mengendap perlahan dan membungkus senja dengan gelap. Sepuluh menit lalu, senja tenggelam bersama ombak yang menggilas pasir dan menghantam karang di pantai Babali. Lampu sentir, menyala di beberapa titik. Meski desis angin menyeruak, coba menebar dingin di setiap sudut Kampung Tariang ada beberapa pemuda yang berani menjaga Pos Ronda Kampung.
Seorang pemuda yang duduk itu berdiri lalu mengedarkan pandangan ke sekeliling desa. “Kasihan Mansyar. Mati dengan mengenaskan. Padahal, dia pemuda yang cukup berani dan ditakuti. Pasti orang yang membunuh bukan warga biasa.”
Kalimat itu diiyakan oleh pemuda lain yang berjaga di sana. “Pasti itu! Siapa coba yang berani membunuh pemuda yang garang seperti itu?”
Belukar kering tiba-tiba jatuh. Dentuman suara menghantam tanah mengejutkan beberapa pemuda kampung yang asyik duduk menggunjing di Pos Ronda. Sontak, jantung memompa darah lebih cepat dari sebelumnya.
“Sudah jangan ngomongin Mansyar. Orang sudah mati masih digunjing. Tuh, tadi ada yang bersuara.” Pemuda yang duduk di pojok itu berusaha membekis teman lain untuk tidak membahas Mansyar. Bukan karena dia lebih berani dari yang lain. Tetapi dia juga merasa takut.
Kejadian tadi pagi, benar-benar membunuh riuh Kampung Tariang. Membungkam suara-suara sombong dan menciutkan wajah tengil beberapa jagoan Kampung. Bagaimana tidak, sang raja sadis itu tumbang tanpa kepala.
Kapita Lao dan beberapa warga masih berjaga. Siaga. Rumah Opo Mansyar masih ramai di kunjungi beberapa warga. Petromak menyala terang. Sudut-sudut rumah di penuhi dengan lampu obor minyak dan tenda itu menyekap keluarga dari keramaian. Tercium tangis sedih yang masih menelisik bersama desis angin.
Sesekali dua-satu-orang meninggalkan rumah itu dan berjalan dengan bibir menari-nari. Membincangkan kematian jagal Kampung Tariang yang mengenaskan.