SONGKO

M A R U T A M I
Chapter #23

Chapter 23

Astri berdiri diam dan seolah seperti patung. Semua sendi terasa berat digerakkan. Matanya melotot, menatao ke arah luar kamar searah dengan pohon beringin. Keningnya berkerut. Tubuh gemuk itu kini mulai menggigil. Asri mulai ketakutan. Kedua kakinya benar-benar kaku. Beku dan tidak sanggup bergerak sedikitpun. Mulut Astri benar-benar terkunci, meski ingin sekali berteriak sekencang mungkin dan meminta tolong.

Ia coba memejamkan mata saat melihat sosok nenek tua dengan tubuh membungkuk. Perempuan yang sedang menyerang temannya sendiri, Resti. Astri tidak bisa bergerak dan hanya bisa menyaksikan temannya itu meronta meminta tolong di depannya. Perempuan tua dengan rambut putih itu terus mencabik-cabik tubuh Resti sahabatnya. Wajah resti sudah dipenuhi darah dan cakaran. Rambutnya terikat pada sebuah palang besi jembatan. Matanya berair dan bercampur dengan darah segar. Lidahnya tak sanggup berkata apa pun, terlihat darah segar mengucur dari mulutnya. Lidahnya terpotong. Tulang hidungnya robek.

Kini sosok nenek tua itu benar-benar menghujamkan tangan dan cakarnya pada wajah Resti dan teriakkan keras itu melengking. Tubuhnya coba merayap dan membiarkan rambutnya terlepas dari kulit kepala. Resti coba melawan dan merayap pelan. Saat itulah, Resti benar-benar tak berdaya saat sosok nenek tua itu menghujamkan taringnya pada leher Resti dan menggigit urat leher Resti.

Tangan resti melambai dan mengharapkan uluran tangan Astri yang masih saja tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Sahabatnya mati di depan kedua matanya. Meregang nyawa dengan keji. Darah segar mengucur dan memenuhi aspal jalanan Kampung Beha.

Kini sosok nenek tua itu menghujamkan pandangan pada Astri yang ketakutan. Wajahnya pucat pasi. Segera setelah sadar dirinya terancam, Astri membalikkan badan dan hendak berlari.

Sayangnya, sosok nenek tua itu berhasil menangkap salah satu kaki Astri dan menariknya.

Astri berteriak, “tolong…!”

Pagi ini semua telat bangun. Tidak ada yang membuat gaduh dan berisik. Isnan yang biasa heboh dengan kejahilannya kini mendadak sunyi. Bahkan, dia hanya duduk di pojok kamar sembari menatap ke arah jendela.

Ari tentu saja masih meringkuk dengan tubuh dibebat selimut. Belum lama datang, dia sudah lebih dulu disambut dengan kejadian aneh. Astri yang kesurupan, Isnan yang kejang-kejang. Semua terjadi di saat dia baru saja datang dari Jakarta. Tentu saja lelah di tubuhnya belum hilang.

Suasana pagi belum beranjak pergi. Semua masih di kamar masing-masing. Dengan segala aktivitas mereka yang kelelahan. Namun, suara teriakkan dari kamar Astri membuat seisi rumah kaget dan bangun seketika.

 

Ia terbangun dari tidurnya. Napasnya masih tersengal-sengal, seperti baru saja berlari puluhan kilo meter. Matanya menggerayangi seisi kamar.

Segera setelah sadar dengan apa yang dialaminya dalam mimpi, Astri menoleh ke sampiing kiri. Tepat di sampingnya ada Resti, sahabatnya. Astri melihat Resti yang masih lelap tertidur di samping kanannya.

Astri mengusap keringat dingin wajahnya. Memeggang kepalanya. Pusing. Bingung. Heran dengan apa yang baru dialaminya. Meski ia sadar bahwa apa yang baru dialaminya hanya sekadar mimpi belaka. Bunga tidur. Tetapi, kenapa seseram itu. Pertanyaan besar dalam pikirannya adalah kenapa harus Resti yang menjadi korban nenek tua itu. Kenapa harus Astri yang melihat kejinya sosok nenek tua itu mencabik tubuk Resti?

Perlahan angin subuh mulai masuk dan menggoyang korden kamar. Ternyata, Resti lupa menutup jendela kamar. Pantas saja, angin leluasa masuk dan menggantikkan udara pengap semalam.

Astri segera berjalan pelan menghampiri jendela itu. Menyempatkan diri untuk melihat suasana pelataran Vila. Astri membiarkan pandangannya melompat ke arah pohon besar di seberang Vila. Matanya menangkap sosok nenek tua yang ada dalam mimpinya berdiri di dekat pohon beringin besar itu. Seketika Astri membuang muka dan menutup matanya.

Lima menit berselang, Astri kembali membuka mata dan melihat pohon beringin itu. Ternyata sosok itu sudah ada di depannya persis, dan kontan Astri teriak kaget. “Arghh..... ” teriak Astri.

Resti terbangun mendengar teriakkan Astri.

Mengusap wajahnya dan membuka mata lebar-lebar. Saat membuka mata, Resti mendapatkan Astri yang duduk di pojok kamar dengan wajah pucat. Menggigil seperti orang kedinginan dan ketakutan. Matanya menatap kosong.

Lihat selengkapnya