Suryo kehilangan cara untuk menegur adiknya. Sudah beberapa kali diingatkan untuk berhenti membalas dendam, tapi semua teguran itu tidak juga diindahkan oleh Geti. Justru sebaliknya, perempuan itu semakin menjadi. Tidak hanya berencana membunuh orang yang diincarnya tetapi semua orang yang dulu menertawakan kematian kedua orangtuanya.
Setelah satu pemuda yang dipenggal dengan sadis, sekarang Geti mulai menyiapkan untuk membunuh korban berikutnya.
“Mau ke mana?” Suryo menegurnya.
Geti sempat menoleh dan menghentian tangannya yang sedang sibuk menyiapkan belati di dalam kain yang digulung. “Lebi baik kakak berdiam di rumah. Biarkan aku yang turun dan membalas dendam.”
Tangan kanan Suryo mengepal. Wajah geramnya tidak bisa disembunyikan. Dulu dia pun sama. Dendam dan mencari cara untuk membunuh semua orang yang pernah menghakimi keluarganya dengan cara yang sadis. Tetapi, pemakaman itu dia mulai sadar jika satu orang yang mati, sama saja membunuh satu keluarga. Anak isteri dari korban sebelumnya menyadarkan Suryo untuk tidak melakukan balas dendam.
Tidak mau adiknya mendapat masalah yang lebih besar, Suryo menarik tangan Geti. “Warga masih panik dan itu berbahaya,” ujarnya.
Geti berdiri setelah sekian lama menunduk menyiapkan peralatan. “Semua sudah aku pikirkan. Jangan khawatir.” Perempuan itu melepaskan genggaman Suryo. “Cari saja Opa Jahal,” imbuhnya sembari memasukkan sangkur yang terbungkus kain itu ke pinggang.
Suryo memang belum bisa menemukan Jahal. Sejak kepergiannya dua hari lalu, Jahal menghilang tanpa jejak yang terlacak. Semua sudut kampung sudah Suryo jajaki untuk menemukan kakek tua itu. Sayang, semua tidak melihatnya dan hilang begitu saja.
Sekarang, tidak hanya memikirkan kepergian Jahal, Suryo pun mulai khawatir dengan yang dilakukan Geti.
“Aku pegi dulu,” pamit Geti dan berjalan meninggalkan gubug itu dengan langkah tegas. Dia tidak menoleh untuk berpamitan degan Suryo. Malam ini tekadnya sudah semakin bulat, dendam itu harus terbalaskan. Dia tidak rela melihat orang-orang yang dulu dengan keji meluidahi, mencaci, sampai menyiksa, dan membunuh Amak dan Bapa itu hidup tenang.
“Mereka juga harus merasakan penderitaannya.” Pikiran itu terus berada di benak Geti.
Langkah kaki perlahan menjauh dari gubug. Jalan setapak yang mulai tertutup gelap itu menelan Geti dari pandangan Suryo.
* * *