Pembunuhan kali ini pun berjalan mulus. Tidak ada warga yang melihat atau mengetahuinya. Hanya saja, korban tidak dibiarkan begitu saja. Geti tidak mau mengulang peristiwa sebelumnya. Kepala korban digantung dan menjadi buah bibir warga. Sekarang, dia membawa potongan kepala itu dan melemparkannya ke bantaran sungai di ujung desa.
Selesai melancarkan aksi keduanya, Geti kembali ke hutan dengan hasil yang memuaskan. Tanpa disadari ada seorang warga yang sedang kencing di pinggir jalan dan melihat Geti berjalan masuk ke arah hutan. Jalan setapak yang memang biasa digunakan orang untuk ke kebun. Anehnya, Geti seorang perempuan yang tentu saja sangat ganjil di jam malam pergi ke tengah hutan seorang diri.
Kecurigaan warga tentu beralasan. Tidak mungkin ada perempuan yang berani pergi seorang diri. Minimal bersama satu orang teman untuk melewati jalur itu.
Penasaran, warga itu pun membuntutinya dari belakang dengan jarak yang cukup aman. Sesekali berhenti dan bersembunyi di balik semak dan pohon besar ketika langkah kakinya membuat Geti berhenti.
Sampai di perbatasan sungai, Geti berhenti dan membersihka tangan dari lumuran darah yang menempel. Meski kondisi tidak terlalu terang hanya temaram cahaya bulan, warga yang sejak dari kampung membuntuti itu sadar jika ada yang mencurigakan. Tetapi, tidak mungkin dia menegur atau menangkapnya. Meski dalam hati, warga itu yakin jika perempuan yang dilihatnya bukan perempuan biasa. Songkok yang diyakini oleh warga jelas perempuan jadi-jadian. Atau orang yang menganut sekte sesat dan memburu darah dan tumbal manusia sebagai syarat mereka untuk menaikan level kemampuannya.
Geti memang belum sempurna. Dia baru sebatas menyelami dan sedang belajar mengikuti nalurinya. Keinginan dan dendam membumuh itulah yang kini mulai menguasai pikiran dan naluri perempuan itu. Bukan tidak mungkin, kebiasaan itu akan membawa gadis itu menjadi sosok songkok yang mengerikan.
Selesai membersihkan badannya dari darah, Geti beranjak dari sungai itu dan melanjutkan perjalanan. Sementara itu, warga yang mengintai hanya bisa duduk diam dan berhenti di tempat itu. Dia tidak berani mengikutinya sampai ke tempat tinggal Geti.
* * *
Kokok ayam jantan kembali berteriak kencang. Bersahutan saling membangunkan betina yang sedang duduk mengerami telur. Anak-anak ayam pun bersuara semampunya. Berkikik mencari remahan sisa nasi di pelatara rumah warga.
Kambing yang dikandang pun mulai berdiri. Seraya mengunyah batang kayu sisa pakan kemarin sore.
Di ujung timur, di atas awan mulai muncul cahaya kuning keemasan yang menerpa celah ranting dan dahan pohon di desa itu. Menyembul sampai ke atap rumah warga.
Anjing yang semalam duduk berjaga kini sudah terbuka mata. Menyongsong pagi dengan harapan akan ada tulang dan siswa ikan semalam. Biasanya, mereka berkumpul di rumah makan nasi kuning untuk mengais siswa warga yang membeli sepiring nasi kuning di warung itu.
Benar saja, warga yang tidak menghabiskan makanan itu dibuangnya ke sisi jalan. Ayam dan anjing berebut.
Warga yang semalam membuntuti Geti belum bangun dari tidurnya. Dia pun belum sempat menceritakan apa yang dilihatnya. Sebab, sekembalinya dari hutan, pos ronda sudah sepi. Orang yang berjaga sudah tertidur pulas. Warga lain juga sudah tertidur.