SONGKO

M A R U T A M I
Chapter #27

Chapter 27

Belum selesai mengurus jasad Darna, seorang perempuan yang masih basah kuyup dengan rambut terurau datang dan berteriak. “Kepala…. ada kepaa…ala manusia!” Seru perempuan itu memecah kerumunan di pelataran rumah Darna.

Kapita Lao langsung bergegas keluar dari rumah. Menghampiri perempuan itu lebih dekat. “Apa yang kamu maksud?” tanya dengan tatapan bingung.

Wanita itu justru terduduk lemas. Dia berusaha menahan sesak di dada yang menekannya. Lalu matanya diarahkan ke wajah Kapita Lao. Tangan kananna diangkat. Jari telunjuk diarahkan ke sungai di ujung desa. “Di sana, ada kepala manusia tersangkut,” ujarnya denan terbata-bata.

Bingung, itu kata yang paling tepat untuk Kapita Lao yang sudah seminggu ini dikejutkan dengan peristiwa aneh. Bahkan perangkat desa tidak bisa memecahkan masalah seperti ini. Mereka hanya menduga-duga saja, jika korban pembunuhan ini akibat dendam sesama pemuda. Biasanya kejadian seperti ini dikarenakan adanya orang yang berkelahi, saling dendam.

“Cun, tolong periksa ke sungai,” perintah Kapita Lao ke salah satu orang kepercayaannya. “Pastikan itu benar-benar kepala manusia.”

Cun, sapaan untuk pemuda yang bernama Misrun itu segera berlari ke arah sungai yang dimaksud wanita tersebut.

Benar saja, Misrun melihat ada kepala yang tersangkut di batu. Wajah bengkak dengan satu bola mata melotot itu jelas terlihat. Lebih jelasnya, kepala itu milik Darna. “Akang, coba lihat di sana. Itu kepalanya,” ujar Misrun ke salah satu temannya.

Mereka segera turun ke bantaran sungai dan menggunakan sebilah kayu untuk mengail kepala itu. Sampai di tepi, Misrun mengangkat kepala itu dan mengamati wajah bengkak yang sudah berair. “Satu bola matanya hilang, Cun!” seorang pemuda menoleh. Menepuk pundak Misrun yang sedang mengamati wajah itu.

“Ayo, bawa kepala ini ke rumah Darna,” Misrun segera naik kembali ke jalan.

Di waktu yang sama dan tempat berbeda, hutan mulai bangun dari dinginnya pelukkan angin. Binatang yang sebelumnya duduk di sangkar mengerami telur dan memeluk anak mereka, kini sudah bertengger di dahan dan ranting mencari ulat-ulat kecil untuk dibawanya pulang ke sarang.

Geti terduduk diam di atas batu yang biasanya digunakan Suryo untuk bermain seruling. Biasanya, pagi seperti ini, pria yang kini sudah mulai terbiasa komunikasi dengan warga itu duduk sembari memainkan seruling bambu. Pagi ini, dia justru tidak diketahui keberadaannya. Semalam, pada saat Geti pulang gubug terbiar sepi. Tidak ada siapa pun di sana.

Belati yang digunakan membuh pemuda desa kini ditariknya dari pinggan. Diasahnya ke batu. Geti sudah merencanakan aksi lainnya yang harus segera dilakukan.

Beberapa menit kemudian, Suryo datang dan langsung mendekati Geti yang sedang mengasah belati miliknya. Tidak pikir lama, Suryo langsung menarik tangan adiknya itu ke dinding gubug.

Suryo mencekik leher Geti dengan tangan kanan. Lalu menatap adiknya dengan sorot kemarahan yang memuncak.

Lihat selengkapnya