DELAPAN penjelajah sudah berjalan beriringan di sebuah jalan kecil menuruni sungai kering di bawah jembatan besi Kampung Beha. Ersa ada di paling depan, di belakangnya Zack. Disusul Mery, Selvi, Resti dan Astri. Dua orang lainnya Isnan dan Ari ada di belakang.
Di dasar terlihat batu-batu besar, sebesar ukuran mobil. Seolah batu itu menantang para penjelajah untuk singgah di dekat batu. Jurang yang curam, dan beberapa pohon rindang yang membuat bulu kudug berdiri itu ada di samping mereka. Tujuan mereka hanya melihat lebih dekat peninggalan kerajaan Pontoh yang konon ada di bawah jembatan. Menurut beberapa warga ada beberapa tulisan jaman kerajaan yang masih nempel di bagian jembatan besi tersebut. Itulah yang menjadi target mereka.
Silsilah kerajaan Pontoh tidak jauh dari kisah yang menceritakan tentang suku Filiphina Selatan. Sebagaimana runtutan cerita jika orang Sangihe dulunya adalah orang-orang Filiphina yang singgah ke pulau-pulau di Sangihe. Sehingga sifat dan bahasa yang mereka gunakan pun masih mirip dengan bahasa Tagalo. Hal itu jelas wajar, Sangihe juga termasuk dekat dengan Mindanau, Filiphina.
Di tengah perjalanan salah satu dari rombongan meminta berhenti. “Tunggu, tunggu, tunggu!” tiba-tiba Resti meminta berhenti dan menahan perjalanan mereka. Kedua tangannya segera meraba saku baju dan celananya. Jari-jarinya merongoh sampai pada isi saku, berharap ada yang tersimpan di dalamnya.
“Sepertinya aku harus balik ke atas. Ada barangku yang terjatuh,” tambah Resti.
Semuanya menatap ke arahnya. Menelisik pada wajah yang kebingungan karena, kompas yang harusnya ada di saku itu tertinggal. Tidak, sepertinya terjatuh. Resti tidak pernah lalai dalam persiapan, semua tersiapkan dengan baik. Maka kata jatuh itu menjadi pilihan yang tepat untuk Resti.
“Apa?” tanya Ersa singkat.
“Kompas....” jawab Resti.
Semua saling pandang. “Siapa yang bisa nemenin Resti?” tanya Ersa tegas. “Isnan?” ujar Ersa dan menatap ke arah pria itu.
Wajah Isnan itu tersipu. Menunduk dan membuang muka ke samping kanan dan kiri. Menolak malu tapi tidak berani jika harus menamani Resti sendirian. Mery memilih mengajukkan diri dan menemani Resti kembali naik.
“Aku saja yang menemani Resti!” dan mendekati Resti yang ada di depan Isnan.
Mery lantas mengarahkan kedua matanya tepat ke arah Isnan, “dasar penakut!” bisik ke Isnan.
“Yang lain, tunggu di bawah,” teriak Ersa.
Perjalanan jauh akan mereka lalui, meski tampaknya dekat. Tapi sangat terjal. Apalagi sungai kering ini benar-benar belum terjamah oleh banyak orang. Bahkan gunung Awu sendiri merupakan gunung yang jarang sekali ada warga yang berani naik atau mendaki. Konon, ada ular raksasa yang melingkari gunung tersebut. Makhluk halus zaman kerajaan yang tersisa dan menjadi penunggu Gunung. Siapa pun yang hendak mendaki atau warga kampung sendiri tidak diperbolehkan menebang pohon sembarangan. Apalagi batang pohon yang tergeletak atau erlumut sekalipun. Mereka pantang membuang ludah ke pohon-pohon besar. Kencing di sembarang tempat. Dan bersiaul ketika malam.
Pantangan itu jelas dudah mereka pahami dari Bapak Larenggam. Orang yang menjemput tim di Bandara Samratulangi.
Di tengah pencarian kompas, Resti terperangak saat melihat sosok lelaki berpakaian serba hitam di atas pohon pala besar dekat sungai. Sekelebatan terlihat melompat dari pohon dan mengawasi teman-temannya. Resti terheran-heran meski terlihat samar. Dia sendiri tidak yakin jika sosok itu adalah manusia. Sebab, tidak mungkin ada orang yang bisa melompati pohon sejauh itu. Terlebih ini ada di lereng jurang jembatan.
Melihat Resti yang tiba-tiba diam dan menatap pohon itu, Mery segera menepuk pundaknya dan meminta untuk terus naik dan mencari kompas miliknya.
Setelah naik beberapa tanjakkan kecil, kompas itu ditemukkan bergantung di ranting kering tepat di biibir jurang.
Resti bernapas lega, “itu Mer kompasnya.” Perempuan berkerudung itu menunjuk ke arah kompas.
“Mana?”
“Itu nyantol di ranting. Tapi sulit ngambilnya,” keluh Resti.