Sama dengan korban lain, Geti mengoyak isi perut remaja itu dengan belati. Lalu mengeluarkan semua usus dan isi perutnya. Jantung ditariknya darah segar itu dijilatnya dengan lidah. Matanya segera berubah warna menjadi merah setelah darah itu dihisapnya dari jantung.
Perempuan itu kini tersenyum puas. Entah nuarni atau nalurinya sudah tidak lagi sebagai manusia. Sebab, setelah membunuh dua orang, dia menjadi haus dengan darah. Setiap melihat darah segar, lidahnya selalu menjulur keluar.
“Sayang, remaja tanggung sepertimu harus mati dengan cara mengenaskan. Semua karena ulah Bapakmu!” umpat Geti dan menendang tubuh tak bernyawa itu dengan kakai kanannya. Setelah melempar jantung remaja itu ke jalan, Geti belum selesai. Dia tetap menancapkan ujung belati di kedua mata remaja itu. Lantas mencungkilnya satu demi satu.
Setelah tercabut, mulutnya kembali terbuka lebar. Dia menelan satu biji mata. Tenggorokkannya terlihat jelas ketika menelan bulat-bulat bola mata itu.
Kabar kematian remaja yang tidak lain anak dari Kapita Lao langsung tersiar di kampung. Semua warga yang sedang berjaga di pos ronda bergegas mencari sumber informasi. Sebagian lainnya sudah berlari ke tempat kejadian termasuk Kapita Lao.
Sampai di tempat, Kapita Lao hanya bisa duduk dengan lemas. Lutut itu menyetuh tanah. Menunduk penuh sesal ketika melihat anaknya itu tergeletak bersimbah darah. Bukan hanya itu, tubuhnya hancur dengan bekas luka sayatan di perut. Ditambah bagian dada yang berlobang. Kedua bola mata tercabut.
Warga yang melihatnya tak tahan dengan kondisi mayat itu. Sebagian mereka menutup mulutnya. Berharap tidak sampi muntah.
Suryo yang juga ada di kerumunan warga menatap sedih. Sebab, anak yang menjadi korban itu jelas tidak salah. Dalam hatinya terus merutukki kekejian Geti yang dengan tega melakukan perbuatan itu pada seorang remaja. Matanya menelisik ke sekitaran lokasi. Beberapa pohon dilihatnya. Diamati dengan seksama. Dia merasakan jika Geti belum pergi jauh dari tempat tersebut.
Dugaannya benar, jika adiknya masih ada di salah satu pohon. Dia bertengger di dahan besar. Suryo bisa mengendusnya. Meski tidak berani menegurnya.
Dia memang tidak setuju dengan perbuatan adiknya. Tetapi Suryo tidak mungkin menunjukkan keberadaan Geti pada warga.
Kapita Lao duduk dengan menahan murka. Dia sudah benar-benar terpancing. Kematian anaknya membuat dirinya mengeluarkan naluri sebagai penganut ilmu hitam. Meski warga tidak mengetahuinya, tapi Suryo tentu bisa melihat tanda-tanda yang sama seperti dirinya dan juga Geti ketika merasa emosi yang berlebih. Ditambah energi yang terasa jauh lebih besar.
Perlahan, Suryo menjauhi kerumunan dan mengenakkan penutup kepala. Setelah aman, dia meninggalkan warga. Menyusup ke jalan setapak yang tidak jauh dari jembatan. Dia menghindari perang energi dengan Kapita Lao. Jika itu terjadi, maka semua warga akan mengetahuinya dan bisa membahayakan banyak orang.