Malam harinya, rumah Kapita Lao dijaga ketat oleh warga desa. Mereka berjaga sebagaimana permintaan tetua desa itu. Kesepakatan bahwa semua warga laki-laki harus ikut berjaga. Tidak hanya di pos ronda dan perbatasan desa saja. Tetapi, rumah tetua adat dan juga Kapita Lao harus dijaga ketat.
Warga perempuan, menutup semua pintu rumah. Tidak ada warga yang boleh keluar dari rumah ketika malam hari. Semua harus ada di dalam agar tidak menjadi incaran pembunuhan berikutnya.
Sebagian warga sudah memasang jebakkan untuk menangkap pelaku pembunuhan. Mereka sudah tahu siapa pembunuh tiga orang itu. Gubug yang digrebek siang tadi menjadi bukti, bahwa apa yang diceritakan Akang Tua benar. Bahwa malam ketika Darna ditemukan tewas di rumahnya, ada seorang perempuan yang dibuntuti masuk ke hutan lewat jalan setapak.
Kapita Lao yang awalnya tidak percaya cerita itu kini menyakininya bahwa apa yang diceritakan itu benar. Ada perempuan penganut songkok yang tinggal di tengah hutan. Benar saja dugaan itu. Sayangnya, warga dan Kapita Lao kehilangan waktu. Mereka tidak sempat menangkap Geti.
Warga juga menceritakan tidak hanya perempuam, tapi ada satu pria dewasa dan satu orang kakek yang tinggal di gubug itu.
“Mereka biasa menjual ikan di pasar.” ujar salah satu warga yang duduk di teras rumah Kapita Lao.
“Perempuannya cantik. Wajahnya memang manis. Rambutnya juga bagus, panjang,” warga lain yang pernah melihat dan bertemu Geti punbuka suara. “Kalau tidak salah, pria yang selalu bersama dia itu kakaknya. Dan kakek tua itu, Opa Jahal!”
Warga lain yang duduk di samping mereka menganggukan wajah. “Tidak sangka, kalau mereka berdua mencari tumbal untuk ilmu hitam mereka.”
“Kalian sudah yakin, kalau mereka pelakunya?” warga yang baru datang itu menanyakan kebenaran kabar itu.