Geti berlari sekuat mungkin. Sesekali bergelayut di ranting dan melompat. Lalu menghilang ditelan gelap. Dia bersembunyi di hutan. Tempat dia dibesarkan.
Warga kehilangan jejak. Mereka tidak benar-benar tidak bisa melihat dengan bagus. Jarak pandang yang terbatas membuat mereka harus berhenti. “Kamu yakin dia terbang ke arah sini?” seorang warga yang berdiri menanyakan ke temannya yang sedang terengah kelelahan.
“Yakin, tadi saya lihat dia sempat di pohon besar itu,” tunjuk salah satu warga. “Kemungkinan besar, masih di sekitar sini. Tidak mungkin lari lagi.”
Alasan itu masuk akal, sebab sesaat setelah terbang ke arah pohon besar Geti berdiam dengan kemampuannya yang bisa tersamar oleh gelap. Ritualnya meminum darah dari dua korban itu semakin membuat gadis cantik bisa mengubah diri dan menyatu dengan apa yang didekatinya. Terlebih nalurinya seperti anjing. Sebagaimana darah anjing yang diminumnya ketika belajar songkok berama Jahal.
Ilmu itu, kini semakin kuat dan menyatu dengan Geti. Dia tidak lagi mudah terlihat oleh semabarang mata.
“Kamu bawa anjing?” tanya salah satu warga.
“Buat apa?” warga lain menanyakannya kembali.
Lalu salah satu pria itu mengusap kepalanya. Menggaruk rambutnya. “Kamu tahu kan indera penciuman anjing itu lebih kuat dari manusia?”
“Benar juga!” timpal warga lain. “Kalau begitu, saya dan Kirno pergi ke desa dan membawa anjing ke sini. Kalian berdua tunggu dan awasi sekitaran ini.”
Dua warga itu pun sepakat. Jika dia dan salah satu temannya duduk sembari mengawasi hutan pohon di sekitar menghilangnya Geti.