SONGKO

M A R U T A M I
Chapter #37

Chapter 37

“Kamu lihat bayangan orang berbaju hitam?” bisik Astri. Suaranya terdengar gagap dan ketakutan. Terdengar samar-samar saat berjalan menyusup ke sebuah gubug mirip tempat mandi. Letaknya di belakang gubug yang dijadikan tempat singgah Astri dan teman-temannya. Bersama suara jangkrik dan kodok yang menyamarkan suasana malam itu dan membuat bulu halus Astri berdiri perlahan.

Resti menoleh, “hust…. Diam. Tidak usah kamu hiraukan. Sekarang, lebih cepat kamu kencing itu lebih baik,” jawab Resti dengan nada gugup.

“Iya… tapi… tadi aku lihat di balik pohon besar itu,” tunjuk Astri ke arah pohon beringin dengan akar gantung yang merenda.

Astri dan Resti terpaksa keluar untuk kencing. Berjalan menunduk. Jinjit, pelan. Menoleh kanan dan kiri. Memasang telinga dengan tajam.

“Justru itu!” hardik Resti. Meski masih menahan perih luka goresan di tangan. Resti tetap mau menemani Astri keluar gubug. Sekalian Resti pun kebelet pup. “Sebentar,” tahan Resti dan menghentikan langkah kakinya. Menarik pundak Astri. Terdiam sejenak. Telinganya menangkap suara langkah kaki dari arah belakang.

Menoleh.

Matanya tidak juga menangkap sosok apa pun di belakangnya. Kosong. Hanya ada burung yang tiba-tiba terbang dari semak-semak dan membuat Resti kaget.

“Allahu Akbar!” teriak Resti. “Kenapa sih, kita harus keluar ke sini?” keluh Resti dengan napas yang ditahan.

“Kamu mau nahan pup sampai besok pagi?” Tanya Astri dan segera menggandeng tangan Resti. Menariknya pelan. Kembali melanjutkan perjalanan.

Rasa takut Resti dan Astri bukan tanpa alasan. Gubug ini pernah menjadi tempat tinggal warga kampung Tariang Lama yang diusir oleh penduduk. Konon katanya karena songkok.

Bahkan, sungai kering yang dilewati siang tadi salah satu tempat yang belum terjamah oleh manusia. Hanya beberapa orang saja yang berani lewat dan berburu babi di tempat ini.

Tapi, itu dulu. Sekarang semua sudah berubah. Semenjak Jembatan Besi itu dibangun, beberapa orang sudah berani datang ke sungai yang pernah menjadi aliran lahar gunung Awu.

Cerita songkok’ sudah sering Resti dengar dari Isnan dan teman lainnya. Beberapa kali warga dekat vila tempat mereka menginap masih sering membicarakan masalah songkok’.

Di sisi lain, Mery tertidur pulas di tempat tidur bersama beberapa teman lainnya. Tampaknya lelah tadi siang sanggup merengkuh tubuh Mery dan membuatnya lelap tertidur. Apalagi suasana malam ini sangat dingin. Bayangan kejadian sore tadi dan wajah ketakutan Resti terus membumbung dan memenuhi dinding pikirannya.

Sampai selubung mimpi itu benar-benar membawa alam sadarnya masuk ke dalam dunianya. Dalam gelap, Mery tampak ketakutan. Duduk di sebuah pohon besar. Bersembunyi dengan darah segar meleleh dari dahinya. Perlahan menetes dan mengalir seperti sungai yang tiba-tiba berair dan membentuk guratan kecil mirip sungai kering. Tangannya segera menyeka darah itu yang hampir terjun dari pelipis matanya.

Matanya tetap waspada, “ya Tuhan, tolonglah aku. Aku tidak mau mati di sini.” Gumam Mery dengan suara terbata-bata. Bibirnya seakan kaku. Apalagi dihantui sosok nenek tua yang terus membayanginya dan mengejarnya.

“Merr?” teriak Ersa dari kejauhan.

Segera setelah telinganya menangkap suata itu, Mery bangkit dari duduknya dan matanya menyusuri setiap sudut di dekatnya. Memasang mata waspada.

“Mer? Kamu di mana?” teriakan Ersa kembali terdengar. Memecah kesunyian yang dari tadi menutup akal sehat Mery.

“Ersa?” gumam Mery. “Iya, itu Ersa!” segera sesaat setelah mengenali suara sahabatnya itu, Mery membalas teriakan yang memanggil namanya. “Ersa…? Ersa…?” jawab Mery dengan suara lantang. Gema suaranya tembus sampai ke ujung bukit Mantahi yang jauh di seberang.

Hembusan angin itu menyetubuhi Mery yang berdiri. Menyapu rambutnya yang terbiar terurai. Suara langkah kaki yang berlari itu terdengar oleh Mery. Segera menoleh. Tidak ada siapa-siapa. Kosong. Lagi-lagi suara itu menghilang.

Saat semak-semak bergerak. Mery dengan kewaspadaannya coba mendekati semak tersebut. Langkah kakinya sedikit tertahan. Rasa takut itu benar-benar membuat nyalinya ciut. Perlahan Mery sampai di semak-semak dan,

“Akh!” tubuhnya terpental. Kaget saat seekor babi lari dari semak-semak dan hampir menerjangnya.

“Sial!” umpat Mery dengan nada kesal. Kembali bangun, dan membersihkan daun-daun kering yang menempel di badannya. Kembali ke pohon. Dan saat menoleh.

Ersa menjerit ketakutan saat matanya benar-benar menangkap sosok nenek berambut putih berdiri di depannya dengan tangan yang siap mencengkeram lehernya.

Matanya benar-benar membulat. Sebagian wajahnya tertutup rambut putih. Perlahan sosok nenek tua mendekati Mery yang sudah terjatuh di depannya. Merunduk. Jari-jari dengan kuku tajam itu siap merobek wajah Mery.

Perlahan, Mery yang terjatuh itu berusaha menghindar dengan terus menghindari sosok nenek tua. Tidak mungkin bisa berdiri dan lari. Mery ngengsot. Persis seperti dalam film susster ngesot. Pantatnya menjadi tumpuannya untuk bergerak.

Tapi, naas. Sosok nenek tua itu berhasil meraih kaki kirinya dan menariknya.

Kontan, Mery menjerit ketakutan. Teriak minta tolong. Kedua tangannya berusah meraih apa pun yang ada dalam jangkaun. Jari-jarinya mencakar tanah dan rumput, berharap ada akar yang kuat untuk bisa ditarik.

“Tolong…! tolong…!” teriak Mery.

Lihat selengkapnya