SONGKO

M A R U T A M I
Chapter #39

Chapter 39

Sore ini, tim ekspedisi Indonesia berhasil menguak fakta baru. Tentang pembantaian keluarga yang terjadi di lapangan. Bekas batu pemenggalan kepala berhasil didokumentasikan. Dan cerita tentang siapa dan kenapa keluarga itu dibantaipun sudah dicatat. Salah seorang warga Tariang Lama berhasil diwawancarai saat ditemui oleh Ersa dan Mery. Dari cerita itulah, Ersa mendapat gambaran sadisnya pembantaian yang dilakukan sekelompok pemuda kepada satu keluarga yang diduga songkok. Penganut ilmu hitam di kampung Tariang. Kepalanya dipenggal jasadnya dibuang di dekat jurang.

Selain itu, warga itu pun menceritakan tentang seorang perempuan yang dibunuh dengan menyeramkan oleh warga karena kedapatan menganut ilmu hitam.

“Namanya Geti. Wanita jadi-jadian. Konon, dendam karena keluarganya dibantai dan orang yang dipenggal adalah orang tua Geti.”

“Terus, warga berhasil ditangkap?” Mery bertanya lebih cepat dari Ersa yang sebenarnya jauh lebih penasaran.

“Geti tertangkap sesaat setelah membunuh dua warga kampung yang sedang mengejarnya di hutan. Waktu itu, warga melihat Geti yang sedang mencabik-cabik tubuh korbannya dan mengoyak isi perut. Mencabut usus dan mengambi jantung milik korban. Lalu terbang dan bersembunyi di atas pohon.”

Warga itu lalu terdiam dan menatap dinding langit yang terlihat mendung. “Sayangnya, Geti lenyap. Hilang ditelan gelap. Beberaopa bulan kemudian, warga mendengar jika ada gedung kosong di kampung Gunung Belae yang setiap malam terdengar suara teriakkan. Benar saja, jika orang yang dimaksud adalah Geti.”

“Warga membunuh Geti?” Ersa antusias.

“Tubuh Geti di seret dan di arak keliling kampung. Semua warga bersorak ramai. Seperti berhasil memenangkan sebuah perang. Bayangkan saja, jalanan penuh denga warga yang ingin melihat si penjual ikan yang cantik tapi berhati buasa bagai serigala. Empat orang berhasil di bunuh oleh Geti. Tepat siang hari, tubuh Geti di pasung di lapangan ini. Dan tubuhnya yang sudah terluka parah dengan berbagai sayatan senjata tajam itu di pamerkan ke warga. Kedua tangan di pancang pada satu balok menyilang dari satu tiang yang menjadi penopang tubuhnya. Warga dengan sesuka hati melemparinya dengan batu. Sampai benar-benar membuat Geti tidak bernyawa. Tubuhnya lemas. Dan darah segar itu kembali membasahi tanah Sangihe. “

“Setelah Geti tewas, bukan berarti warga puas. Terutama keluarga korban dari keganasan Geti. Tidak rela jika Geti di kubur di tanah Tariang. Warga memintanya untuk melarung jasadnya ke laut. Dengan harapan, musnahnya tubuh Geti maka musnah pula ilmu hitamnya bersamaan dengan musnahnya Geti yang tergerus oleh ombak dan gelombang.”

Warga puas dan berpesat pora. Lupa, jika Geti sebenarnya masih memiliki satu saudara kandung. Bernama Suryo. Tapi, warga tidak berhasil menemukan jejak Suryo. Entah ditelan bumi, Suryo hilang dari kampung Tariang.

“Lantas, apa yang dilakukan oleh warga untuk mencari Suryo? Kaka’ dari Geti?” tanya Resti dengan wajah penasaran.

Menggeleng. Warga kampung yang menggunakan kain pengikat kepala itu memilih bungkam, “entahlah. Warga sempat menyisir hutan dan berharap menemukan tempat tinggal Suryo dan Geti. Tapi, usaha warga nol. Nihil. Hanya gubug tua yang berhasil di temukan dan di sanalah warga membakar barang-barang milik Suryo dan Geti,” ujarnya dan kembali menghisap rokok miliknya yang sudah dibiarkan terhisap oleh angin yang sore ini terlalu kencang.

“Gubug?” Ersa langsung tercengang saat mendengar gubug yang dimaksud adalah tempat istirahat mereka selama meneliti di hutan dekat Jembatan Besi.

Lihat selengkapnya