“Tolong.....”
Teriakan itu seketika membangunkan semua anggota Ekspedisi Indonesia yang masih terlelap. Tanpa terkecuali Mery yang segera tanggap sesaat terbangun dan melempar jaket. Berlari mencari sumber suara. Zack, Selvi, Ersa, Ari segera menyusul Mery. Berlari dengan cepat menghampiri suara yang didengarnya.
“Ada apa?” tegur Mery sesaat setelah menemukan Astri berada di bibir jurang.
Pertanyaannya tidak menemukan jawaban. Hanya tangis dan air mata Astri yang tiba-tiba pecah di pundak Mery.
Melihat keadaan tersebut, Mery pun sudah sadar dan menduga apa yang sudah terjadi. Kini tanpa kata yang terlontar dari Mery. Perlahan bola matanya mencair. Menangis. Kehilangan satu teman baiknya, Resti.
Suara kaki berlarian terdengar menyambar semak-semak. Empat teman di belakang Mery pun sampai di belakang Mery dan Astri yang sedang berpelukan.
Seketika, Ersa mendekat dengan langkah pelan, “ada apa? Kenapa dengan kalian?” suara itu memecah hening di pagi hari. Di mana matahari sudah mulai nampak memecah tebalnya awan di puncak gunung Awu. Embun pun sudah mulai menguap. Rumput itu sudah mulai bergerak pelan. Tapi, pertanyaan Ersa tak kunjung mendapat jawaban dari Astri ataupun Mery.
Semua terlihat kaku. Diam seribu bahasa. Entah apa yang sebenarnya terjadi. Teka-teki itu mulai terjawab sesaat setelah Astri mulai berani menatap wajah Mery dan menyeka air matanya yang sudah dari tadi mengalir deras bak sungai yang diguyur hujan.
“Apa yang terjadi?” pertanyaan itu kembali Mery lontarkan pada Astri.
Menatap jurang dan menunjuk ke arah sosok di dasar jurang yang tergeletak di bongkahan batu besar. Terlihat jaket berwarna orange. Sudah dipastikan itu adalah Resti.