Darah menetes dari pelipisnya. Mukanya sudah pucat pasi, mengerang kesakitan. Kepalanya menyender di pohon pala besar di dekat gubug. Menunggu gelap segera datang dan memberinya rasa aman untuk sejenak. Kali ini, Ersa sudah benar-benar kehilangan Zack. Kekasih yang sudah menemaninya selama dua tahun.
Zack adalah salah satu teman di kelasnya. Sejak awal masuk perguruan tinggi Zack dan Ersa sudah saling kenal. Berawal dari OSPEK.
Mereka dipertemukan oleh hukuman senior, karena telat datang ke kampus. Jam sudah mulai merangkak ke angka enam pagi. Matahari sudah terlihat meski masih bersembunyi di balik gedung-gedung tinggi. Sinaranya sudah menembus wajah Ersa yang sedang berlari menuju pelataran parker kampus B Universitas tempatnya di terima.
Di waktu bersamaan Zack pun berlari dengan membawa peralatan OSPEK. Pakaian serba putih, topi kerucut dari kertas, dan barang bawaan lain yang dijinjing. Berlari agar tidak terlabat dan bebas dari hukuman senoior.
Di depan gerbang kampus, Ersa terpaksa berhenti dan menghela nafas. Melepas lelah. Nafasnya tersengal-sengal.
Beberapa menit berselang, Zack datang dengan nafas yang seeret. Dia datang dan berdiri di samping Ersa. Menunduk sesaat sebelum salah satu senior yang ada di depannya menatap sangar ke arahnya.
Melotot, “Woy… kalian tahu jam berapa sekarang?” Senior dengan almamater kuning itu mencubit dagu Zack dan menatap matanya.
Zack yang masih kelelahan dengan nafas tersengal-sengal memasang wajah ciut. Kecut. Tidak berani melawan seniornya yang sudah marah terlebih dahulu karena Zack datang terlambat.
“Kucing… kenapa kamu terlambat?” Senior memanggil Zack dengan sebutan nama binatang yang terpampang di kertas cartoon bekas mie instan yang tergantung di leher Zack.
Diam. Zack hanya diam dan tidak berani menjawab setiap pertanyaan seniornya tersebut. Baginya menjawab akan lebih mendatangkan hukuman lain. Lebih baik diam, pikir Zack.
Kali ini, giliran Ersa yang menjadi sasaran berikutnya. Berbeda dengan Zack, Ersa lebih berani menatap mata seniornya. Seakan menantang sejauh mana ketegasan sang senior yang dengan wajah garang itu meloto kearah Ersa.
“Cicit.. dasar burung Cicit,” gerutu Senior sembari menatap Ersa.
“Siap senior… nama saya Ersa bukan burung cicit!” ujar Ersa melawan seniornya. Ersa tidak mau di panggil dengan nama binatang.
“Wao…. Berani melawan!” sang senior segera tertawa kecil. Dan berjalan pelan, mengitari Ersa.
Tidak ada wajah tegang sama sekali. Ersa tetap siap dengan segala konsekuensi yang akan diterimanaya karena berani melawan senior.
Kedekatan Zack dan Ersa mulai terbangun. Sepertinya bukan lagi padang yang kering, namun mulai tumbuh benih-benih persahabatan yang erat. Bahkan bukan lagi atas nama persahabatan, tapi cinta.