Tidak perlu menunggu besok.
Pikiran Ersa tiba-tiba mengerucut. Segera mengambil keputusan untuk mencari tahu, suara yang didengarnya.
“Aku sangat yakin, itu suara Mery. Iya, aku sangat yakin.” Ujarnya pelan. Ersa tahu, dia tidak mungkin membangunkan Ari. Sedangkan, Ari dalam kondisi yang sangat parah. Tidak mungkin bisa berbuat banyak.
Ersa segera berjalan menyusuri jalan setapak yang mengarah ke gubug tua itu. Beruntung, Ari masih menyimpan center kecil. Setidaknya, cukup untuk mengantar Ersa berjalan menuju gubug di tempat penyekapan Mery.
Hawa dingin masih terasa. Bahkan, rintik-rintik halus masih membasuh wajah Ersa yanag berusaha terus menyusuri jalan setapak itu. Sesekali, Ersa haru menjaga langkahnya. Bisa jadi, binatang buas, ular bisa sewaktu-waktu membunuhnya.
Ersa harus memicingkan sebelah matanya untuk bisa melihat suasana dalam gubug. Terlalu berani jika memaksa masuk tanpa tahu suasana di dalam sana. Tentu, mata Ersa hanya akan menemukan suasana gelap tanpa cahaya. Mustahil, jika sosok dalam tubuh Astri memberi lampu.
Ersa menarik nafas pelan. Menahan geraknya sehalus mungkin. Bahkan saat dia menelan ludah sekalipun, tegukan itu benar-benar harus hati-hati. Entah kebetulan atau memang ini menjadi malam yang tepat untuk Ersa. Entahlah, malam ini terasa sunyi dan amat sangat sunyi.
Mata Ersa berhenti pada satu titik. Tiang. Iya, tiang di mana Mery di ikat di sana. Sangat jelas, jaket biru itu masih dipakai oleh Mery. Setidaknya, sedikit cahaya bisa membuat Mery sadar bahwa ada Ersa di luar.
Ersa coba memanggil Mery. Pelan. Berbisik.
“Mer.. Mery...?”
Salah gerakan atau suara Ersa sampai pada telinga sosok beringas itu, tentu cerita akan berganti alur. Bukan menyelamatkan Mery, melainkan mengantarkan nyawa dirinya sendiri untuk dicabik dengan pedang milik Astri. Ersa tidak mau itu terjadi saat ini.
Suara Ersa mulai sampai ke telinga Mery. Terlihat gerakan dari kepala Mery yang awalnya menunduk sekarang coba menelisik. Matannya menyusuri isi gubug. Mengamati setiap bilik-bilik bambu. Berharap apa yang didengarnya bukan halusinasi, melainkan kenyataan bahwa ada orang yang datang untuk menyelamatkannya.
Segera setelah tahu Mery menyadari keberadaannya, Ersa memberi isyarat dengan center melalui lubang kecil yang tidak lebih besar dari bola matanya.
Bahasa sandi.
Semua anggota team ekspedisi Indonesia harus mengenal sandi-sandi morse atau bahasa isyarat yang bisa mereka gunakan pada saat-saat tertentu. Terutama pada saat suasana genting dan sangat mendesak. Penguasaan medan lapangan, mental dan ketenangan dalam berpikir menjadi penilaian tersendiri pada saat seleksi. Tentu selain ketahanan fisik dan kekuatan fisik anggota.
Mery tidak mau kecolongan. Ia pun memberi isyarat tentang keberadaan sosok yang berada dalam diri Astri.