Suara teriakan Ersa terdengar sampai ke telinga Mery yang masih bertahan di dalam lubang. Dia terus berusaha menggapai apapun dengan meraba-raba dinding lubang. Setidaknya dia berharap bisa menemukan ranting atau akar yang bisa digunakan untuk memanjat. Dalam benaknya, dia harus keluar dari lubang ini dan membantu Ersa. Dia tidak akan membiarkan Ersa melawann makhluk itu sendirian.
Usahanya sia-sia.
Beberapa kali tangan Mery menemukan ranting dan akar. Sebanyak itu pula tubuh Mery kembali terjatuh.
Dia hanya bisa menangis. Menyesali apa yang telah terjadi. Kemarahan itu dilampiaskan dengan memukul dinding-dinding tanah yang melingkarinya.
Dari balik pohon besar itu, dengan cepat sosok hitam menyibak tubuh Ersa dengan bilah senjata tajam. Tepat mengenai punggung Ersa.
“Arh,,, ” tubuhnya kembali terjatuh. Kali ini luka di punggunya membuat wajahnya benar-benar ciut. Nyalinya tidak sebesr tadi. Tubuhnya lemas. Darah itu mengalir dari pelipisnya.
Ersa berusaha bangun dengan bertumpu pada tangan kirinya yang masih lebih baik dibanding tangan kanan yang sudah patah. Sakit itu sudah tidak dirasakan lagi. Ketakutan yang awalnya menghantui Ersa, kini hilang begitu saja. Entah tekad ataukah memang keberanian Ersa sudah muncul.
Sekali lagi. Bayangan hitam itu tiba-tiba datang dari arah depan Ersa dan mengibaskan benda ke arah tubuh Ersa yang masih setengah berdiri.
PLAK!!
Tubuh Ersa kembali terpelanting. Membentur tanah. Kali ini, Ersa tidak lebih layaknya binatang buruan yang sudah tidak berdaya. Tubuhnya terkapar dengan darah. Tangannya patah, wajahnya lebam. Pukulan, benturan sampai pada sayatan di tubuhnya membuat Ersa tidak lagi sanggup berdiri.
Tidak ada tenaga lagi yang tersisa. Ersa menyerah. Pasrah pada takdir yang menimpanya.
Sosok hitam itu tiba-tiba muncul dari balik kabut yang tiba-tiba menyeruak. Dengan mata merah dan melotot mendekat perlahan ke arah Ersa. Sebilah pedang masih ada ada di tangannya. Sekali kibas maka, patah kepala Ersa. Tapi, tidak. Sosok itu tidak memenggal kepala Ersa seperti yang dilakukan kepada Selvi.
Sama halnya dengan Zack, tubuh Ersa pun ditarik dan dibawa ke gubugnya. Markas sosok misterius.
Meski sudah tidak berdaya, Ersa masih tetap sadar. Dia tahu betul dengan apa yang dialaminya. Termasuk tubuhnya yang diseret oleh SONGKOK. Tidak ingin dirinya mati sia-sia, Ersa pun coba mengumpulkan sisa tenaganya untuk coba mencari celah dan bisa menghabisi makhluk yang sudah membunuh teman-temannya.
Tiba di satu titik, tepat di jalan yang ada persimpangan. Salah satu jalan itu mengarah ke gubug. Tempat yang akan di tuju oleh songkok. Tepat di samping kanan terdapat tanaman bambu kuning yang cukup subur. Salah satu ranting bambu yang tumbangpun tergeletek. Runcing di salah satu ujungnya.
Dengan tangan yang terseret, Ersa berhasil meraih potongan bambu kuning tersebut dan tidak menunggu lama lagi, Ersa pun segera menusukkan bambu itu ke bagian punggung SONGKOK.
Jlep!
Teriakan keras dari makhkluk itu melengking bagaikan Srigala yang meraung kesakitan di tengah malam.
Tubuhnya mulai bergeliat. Seperti cacing kepanasan. Kekuatannya berangsur menguap layaknya embun yang terkena panas matahari. Wajahnya gersang. Rambutnya mengembang. Matanya melotot. Dan menggerang kesakitan.
Angin kencang tiba-tiba datang dan menyambar tubuh makhluk itu. Membawanya terbang jatuh ke jurang. Sosok itu pun raib sesaat setelahh tubuhnya membentur batu besar yang ada di dasar jurang.
Ersa masih tergeletak dengan sisa-sisa nafasnya. Matanya tidak bisa menatap apapun. Semua gelap. Ingatannya raib. Tenaganya pun hilang. Tubuh itu tidak lagi sanggup menopang dirinya sendiri. Pandangan sudah kabur dan, Ersa tidak tahu apapun yang terjadi setelah matanya terpejam untuk selamanya.
* * *
“Ari!”
Suara itu terdengar sangat pelan. Lebih pelan ketika seseorang berbisik di telinga Ari.
Mendengar suara itu, Ari yang masih tertidur pulaspun tubuhnya mulai menggeliat. Perlahan, rasa dingin karena menyentuh embun membuat Ari terbangun. Membuka mata dan, tubunya langsung terbangun sesaaat setelah menyadari Ersa yang sudah tidak ada di depannya.
Dengan menahan sakit, Ari duduk. Menatap sekelilingnya, berharap Ersa sudah bangun lebih dulu dan masih baik-baik saja.
Ari coba menyenderkan kepalanya pada dinding tanah. Berharap penat di pikirannya hilang. Pundaknya kaku. Tegang. Rasanya, sudah berbulan-bulan bekerja menjadi kuli. Terasa sangat lelah.
Tidak lama setelah duduk, pikirannya teringat suara yang memanggilnya, Ari pun beringsut dan coba mencari suara yang didengarnya. “Siapa? Siapa yang memanggiku, barusan.” Gumamnya.
Hari masih terlalu pagi, jika harus bangun. Bahkan hutan di sekelilingnya masih gelap. Mungkin, jam 3 pagi. Tidak ada lagi petunjuk waktu. Yang ada gelap terang dan pagi siang dan malam. Semua perlengkapan itu raib, hilang entah kemana.
Sepuluh menit berlalu, Ari tidak juga menemukan keberadaan Ersa. Pikirannya mulai melayang jauh. Kekhawatiran itupun tiba-tiba muncul dan memenuhi pikirannya.
“Ari..” suara payau itu kembali terdengar.
Ari segera menoleh ke samping kanan. Tepat di jalan setapak yang pernah dilaluinya bersama Ersa. Sadar yang dilihatnya adalah Ersa, maka pikiran lega, tenang itu mulai menghapus kekhawatiran dalam benak Ari. “Ya Allah Ersa. Kemana aja kamu?” tanya Ari bersamaan dengan hembusan nafasnya.
Ersa tersenyum. Berbalik arah membelakangi Ari.
Perlahan kaki Ersa berjalan menyusuri jalan setapak.
Melihat langkah Ersa, Ari pun segera bangun dan berusaha berdiri dengan batuan sebilah tongkat. “Tunggu!” teriak Ari.
Menahan sakit pada kakinya dan lengan dan beberapa tubuhnya, Ari berusaha sebisa mungkin untuk tetap mengikuti Ersa yang sudah ada depannya. Lima meter dari Ari.
“Ersa, kita mau kemana?”
Diam.
Ersa sama sekali tidak menjawab setiap pertanyaan yang dilontarkan oleh Ari. Ersa tetap diam dan dingin. Wajahnya seperti lebih putih, dan cerah. Meski tetap dengan goresan luka di beberapa bagian tubuhnya, termasuk di pelipis.
Ari belum juga menyadari tentang apa yang terajadi pada Ersa, sahabatnya yang kini tepat ada di depannya.