Desa Kalasuge merupakan salah satu desa di Kabupaten Kepulauan Sangihe Sulawesi Utara. Letak desa yang ada di bibir pantai ini memang tersekat oleh beberapa kebun yang luas. Untuk menuju ke desa tersebut harus melalui rute yang cukup panjang dengan jalan yang berkelok.
Sebagian besar warga desa tersebut bekerja sebagai seorang petani kebun. Kopra dan pala menjadi salah satu penghasilan utama untuk warga. Sebagian lainnya menjadi seorang nelayan. Mencari ikan untuk menopang hidup mereka.
Sabtu malam, Bapak berpamitan keluar rumah mengambil jala di dekat pantai Kalasuge. Seperti biasanya, nelayan di kampung akan memilih waktu malam untuk bepergian melaut.
Ombak jauh lebih bersahabat ketika malam, tidak seganas di saat siang. Maka, Bapak memilih malam mencari ikan di antara gelombang kecil yang mengombang-ambing dirinya di tengah lautan.
"Bu, Bapak keluar dulu." Pamit Bapak mengusap kepala Amak.
Amak yang sedang memasak air itu pun menoleh. Menatap wajah Bapak. Seolah ini menjadi pertemuan terakhirnya. "Mau ke mana Pak?"
Suryo mendengar pembicaraan mereka dari kamar. Mata Suryo masih belum terpejam. Entah karena belum mengantuk atau kegelisahan di pikirannya yang mulai terasa. Dipalingkan wajahnya ke arah jendela kamar. Lalu duduk. Melipat lututnya dan memeluk bantal.
Di dapur, suara Bapak semakin terdengar jelas. "Jala Bapak ketinggalan tadi sore."
"Ouw, ya sudah. Hati-hat," pesan Amak.
Suara daun pintu itu berderit. Terdengar langkah kaki yang perlahan meninggalkan rumah.
Biasanya, Suryo masih menemani Amak di dapur. Duduk dan sembari meniup bara api dengan selongsong bambu. Menjaga nyala api agar tetap terjaga. Setidaknya, menemani Amak dengan celotehan. Hampir setiap malam, Surya dan Amak duduk di dekat tungku perapian.
Kesepian dan kesunyian di tengah malam sudah biasa. Tetapi, berbeda dengan malam ini. Suasana kampung terasa lengang. Seperti mencekam. Ada bayangan ketakutan di benak Suryo.
Amak pun tak jauh berbeda. Sejak sore tadi, perasaannya tidak enak. Pikirannya seolah bingung dengan sesuatu. Meski tidak dikatakan pada Bapak. Tetapi, ada sesuatu yang mengganjal di perasaannya.
Suryo keluar dari kamar. Meski lelah masih saja bergelayut. Entahlah, dia merasa malam ini berbeda dengan malam biasanya. Gelisah tapi tidak tahu apa yang membuat remaja tujuh belas tahun itu gelisah.
"Mak, Bapak mana?" tanya Suryo setelah menghampiri Amak di dapur dekat tungku yang mengepulkan asap.
"Bapak, ambil jala di dekat pantai. Kiapa, ngana belum tidur?" tanya Amak dan membelai wajah Suryo lalu mengusapnya.
Amak tidak bisa membaca kekhawatiran di wajah putranya. Mamak bisa membasuh wajah anak pertamanya itu dengan telapak tangan yang dihangatkan sebelumnya. Suryo yang duduk di dingklik kecil dekat bara api yang menyala itu tersenyum.
"Mak, nanti Bapak pulang kan?" pertanyaan yang tidak biasanya.
Amak menyimpul senyum. "Kenapa kamu bertanya seperti itu?"
"Suryo, khawatir Mak. Takut terjadi apa-apa dengan Bapak."
"Hust... tidak boleh berperasangka buruk. Jangan berpikir jelek,” kata Amak. Kemudian wanita yang lebih banyak di kebun itu kembali terdiam setelah menatap wajah anaknya.
“Lebih baik kamu tidur saja. Sudah larut malam." Amak memintanya masuk kembali ke kamar.
"Amak yakin, tidak mau ditemani Suryo?"
Amak hanya menjawabnya dengan senyum tipis yang menyimpul di wajahnya. Kepalanya menggelang menolak tawaran putra sulungnya.
Apa boleh buat, sepertinya malam ini Amak pada kondisi yang aneh. Meski wajahnya tenang Suryo tahu ada firasat yang menghantui pikirannya. Membisikan ketakutan.
Meski bersikap tenang, kekhawatiran itu nampak sangat jelas dari balik tatapan matanya yang redup. Bahkan, lisannya menjadi isyarat yang ganjil. Akh sudahlah, sepandainya orang menyembunyikan rasa takut tetap saja tercium meski tak berbau sekalipun.
Suryo menuruti permintaannya. Dia masuk kamar. Menutup pintu dan menguncinya dari dalam. Lalu, remaja itu beralih je jendela, nenarik tungkai.
Anehnya, pikiran Suryo terasa berat. Meski tidak ada beban yang dipikirkannya. Apa hanya karena pikirannya yang terlalu khawatir dan takut.
Sebenarnya, bukan kali ini saja Bapak pergi malam-malam. Bahkan pulang melaut pun lebih sering tengah malam. Tetapi, malam ini beda. Auranya berbeda seperti biasanya. Ada kecemasan dari balik sunyi dan sepi yang datang bersama angin. Heningnya malam seolah mengintai dari balik gelapnya. Desis angin yang berhembus seolah menikam perlahan. Kabut yang harusnya tak datang, kini muncul.
Apalagi, warga kampung akhir-akhir ini sering digegerkan dengan penemuan mayat beberapa pemuda kampung yang meninggal misterius dan menyeramkan. Sebagian besar, korban masih bujang. Lidah mereka hilang. Konon, karena pembunuhnya menganut aliran sesat.
Warga kampung ada dalam suasana emosi yang tersimpan di ubun-ubun mereka. Geram dengan ulah oknum yang mencari korban untuk kesaktian. Ilmu kebal. Itu kata warga yang Suryo dengar di pasar ketika menjual ikan di sana.
Bisa jadi, malam ini kesunyian itu karena warga enggan bepergian dari rumah. Mereka takut menjadi korban.
Ilmu hitam itu disebut sebagai ilmu turun-temurun. Tetua yang hidup lama di kampung berguru demi kekekalan hidup.
Mereka menganggap korban pembunuhan itu sebagai korban ilmu hitam. Di tanah ini orang-orang masih biasa dengan segala kesakitan yang dimilikinya.
Termasuk, ilmu songko. Katanya, masih ada di beberapa tetua yang ada di kampung pinggiran, seperti kampung itu.
Meski malam sudah cukup larut dan udara dingin sudah mulai merangsak masuk dari lobang-lobang jendela tanpa kaca, mata Suryo masih terjaga. Seperti enggan terpejam. Tubuhnya hanya bergulingan di atas tiban.
Tidak lama setelah Suryo merebahkan tubuhnya. Terdengar sayup-sayup suara riuh ramai dari kejauhan. Meski belum jelas, suara itu mulai terdengar kuat. Memecah keheningan malam.
Teriakan warga kampung dari kejauhan makin jelas. Suara itu makin mendekat.
"Seperti ada pawai," gumam Suryo.
"Padahal ini bukan musim panen. Bukankah perayaan turude itu masih lama."
Biasanya pawai akan ramai ketika perayaan turude itu datang. Pesta rakyat yang akan dirayakan di kampung yang mendapat giliran perayaan. Itu pun akan ada di awal tahun. Bukan di tengah tahun seperti ini.
Suara riuh dan teriakan itu makin dekat dengan rumah Suryo. Seperti melintas sampai jalan depan rumah.
“Apa yang mereka arak, sampai terdengar ramai seperti itu. Apa mereka berhasil menangkap buruan mereka, songko?" gumam Suryo dalam hati.
Penasaran apa yang terjadi di luar sana, Suryo melempar kain yang menutup kakinya. Dia melompat dari tempat tidur. Membuka pintu dengan cepat lalu keluar dari kamar.
Suara gaduh itu sudah sangat dekat dengan rumahnya.