Orang memanggilnya Mery. Nama yang diharapkan menjadi dokter dan wanita karir lainnya. Duduk di kantor dengan rok mini, hils tinggi, dan ber-make-up tebal dengan lipstick merah merona.
Semua itu gagal.
Jangankan dokter, kuliah saja sudah hampir sepuluh semester belum selesai. Beberapa kali dipanggil rektorat. Menandatangani surat pernyataan. Intinya, sih, dia harus taubat. Dan jadi mahasiswa yang tekun, membawa buku tebal di dada, duduk di bangku, nongkrong di perpustakaan. Baca buku dan sibuk dengan kegiatan di kampus.
Kadang dia pengen ketawa dengan image mahasiswa adalah kaum terpelajar. Justru sebaliknya, yang dia lihat, mahasiswa itu hanya kaum tertekan dengan seabrek coretan tugas dari dosen. Padahal, materi dari dosen bisa kok dikutip dari buku, internet, dan banyak sumber.
Lagian, hidup tidak serepot teori. Banyak juga teori yang tidak terpakai di dunia nyata. Intinya, dia pengen jadi manusia seutuhnya yang tidak dimiliki oleh siapa pun, selain semesta.
Teman-temannya sering ngecengin, kalau manusia seperti dia, tidak akan pernah sukses. Gelandangan, preman, atau jadi seorang pelacur. Jual diri ke om-om yang berjas dan berdompet tebal.
Mery kadang tertawa. Menertawakan dirinya dan manusia lain. Pengen sekali nampol mulut orang yang suka nyinyir sama kehidupan orang lain. Ngurusin otak sendiri saja kadang nggak becus, eh, mereka sibuk ngulik kehidupan dia yang tidak pernah minta jatah beras ke mereka.
Itulah mengapa, gadis tomboy itu sering masa bodo, dengan kehidupan sosial di kampus. Menurutnya, rutinitas dan kehidupan di dunia pendidikan, nggak sesuci pemikiran orang di luar sana. Bahwa guru adalah maha benar, dosen dianggap mata pena masa depan bangsa. Semua khayalan belaka.
Mungkin saja dia lahir di keluarga yang salah. Keluarga yang selalu berpikir bahwa gelar adalah segalanya. Ijasah adalah kunci sukses. Sekolah adalah pintu dunia, dan ilmu katanya jendela menguasai dunia.
Nyatanya, dunia hanya bisa dikuasai oleh uang dan uang. Jabatan, pekerjaan, dan segala hiruk pikuk kenyataan yang ada, selalu berakhir di tangan beramplop dan koneksi.
Sejak saat itulah, dia tidak percaya yang namanya sukses. Mery lebih percaya dengan alam dan semesta, petualangan, tantangan, dan segala kengerian di dunia yang menarik untuk dikuliti sampai ke kulit dasar tanah yang dipijak.
Keputusannya pasti salah. Dianggap gila oleh orang-orang tedekatnya, terutama kedua orangtua. Jelaslah, mereka selalu berdebat memikirkan masa depan anak gadisnya itu. Padahal itu belum terjadi dan belum jelas ke depannya seperti apa. Tetapi, mereka sudah sibuk memikirkannya.
Orang rumah akan berdebat kencang, ketika membahas tentang kuliah Mery. Bukan hanya tentang kuliah saja yang menjadi topik mereka. Lain kali, sifat dan karakter tak lepas dari pengamatan orang se-rumah. Terutama Ibu. Orang yang paling kepo yang pernah dia kenal.
Sesekali kekhawatirannya tentang cinta itu pun ditanyakannya. Pernah ketika sarapan, Ibu sengaja membujuk Mery untuk bertemu dengan lelaki yang dipilihnya. Tentu saja, dia menolak.
Sekarang, bukan lagi jaman penjajahan. Negara sudah merdeka dari semua hal yang berbau pemaksaan. Termasuk hal cinta dan jodoh. Gadis bernama Mery Suharsono adalah penganut hak liberal. Di mana hak berada di atas tahta tertinggi dari sebuah kewajiban. Hak menetukan jalan hidup, itu melekat di diri manusia.
Ayah, lebih sedikit memahami meski yang Mery tahu, dia orang yang tidak pernah lupa memberi wejangan bahwa perempuan itu mewarisi sifat halus dan lemah lembut. Berbanding terbalik dengan sikap putrinya itu.
Bisa jadi, apa yang Tuhan takdirkan hanyalah kombinasi dari keinginan kedua orangtuanya.
Konon, Ayah berharap anak pertamanya adalah laki-laki. Ibu sudah jelas, berharap anak perempuan. Dan Tuhan itu memang menjawab setiap yang hamba-Nya minta.
Tidak mau mengecewakan salah satunya, Mery terlahir dengan dua sifat itu. Badannya sama dengan wanita lain, hanya saja sifat yang ada konon tak jauh berbeda dengan lelaki di luar sana yang nongkrong di terminal. Urakan dan susah diatur. Sejak kecil, dia enggan menyentuh rok dengan renda yang memenuhi bagian dada. Risih, geli, dan ribet.
Sejak kecil ibu selalu memancingku dengan mainan perempuan. Rumah-rumahan, boneka dan aneka lain yang sering dimainkan kebanyakan anak perempuan.