Sonia Robert memasuki kamarnya, satu-satunya tempat yang tersisa baginya di alam semesta ini, untuk merasakan sedikit kenyamanan. Setelah pulang bekerja atau saat hari libur, dia selalu berada di dalam kamar sepanjang waktu, di balik pintu yang terkunci. Sonia pernah berpikir untuk menyewa kamar kost agar lebih bisa mendapatkan kenyamanan—menghindar dari ayah tirinya yang sering pulang larut malam dalam keadaan mabuk dan mulai mengoceh tentang rencana-rencana besar yang tidak pernah diusahakan—tapi dia tidak menyukai kedekatan dengan tetangga. Baginya, semakin banyak dia menjalin hubungan pertemanan dengan banyak orang, potensi terciptanya musuh-musuh baru di kehidupannya akan semakin besar. Dia menyukai keterasingan, dan rumahnya yang berada tepat di belakang pemakaman umum, berhadapan dengan tembok beton yang mengurung tanah milik pemerintah kota Bandar Lampung di sepanjang gang, dan hanya ada satu rumah yang berdiri di samping rumahnya —dihuni pasangan suami istri usia paruh baya, Ibu Halimah dan Pak Sugiro, memberikan apa yang dia harapkan.
Kamarnya kecil dan ditempeli banyak gambar di temboknya—gambar-gambar yang menampilkan pemandangan destinasi wisata populer dari penjuru Dunia. Di bingkai cermin yang tersambung dengan meja rias, tergantung gantungan kunci Gunung Tangkuban Perahu dari kuningan. Sedangkan di atas meja riasnya, ada replika Candi Borobuddur dari plastik yang bisa bersinar dalam gelap.
Sonia berdiri di depan cermin, lalu melepas handuk biru pudar yang melilit tubuhnya. Dia menatap bayangan tubuh telanjangnya sendiri dalam cermin. Menatap kulit putih itu, menatap rambut hitam panjang sebahu itu, menatap bola mata coklat warisan neneknya itu, hidung mancung itu, wajah tirus itu, payudara berwarna putih susu itu, dan membiarkan angin berhembus cabul di belakang kakinya. Telanjang, jahat, ternoda.
Hari ini cukup melelahkan baginya. Tadi pagi, Pak Wibowo terus menyalahkannya karena persediaan buah alpukat tinggal sedikit. Tentu saja hal ini memuakkan, dia bekerja sebagai pramusaji, apa urusannya dengan persediaan buah alpukat? Lagi pula, jus alpukat di Restoran Ayam Bakar Babe Bowo tidak terlalu laku; hanya konsumen yang datang dengan mobil yang biasa memesannya, karena harganya telalu mahal, dua puluh ribu. Pak Wibowo mengakhiri ocehannya dengan berteriak, “MAKAN GAJI BUTA, KAU!” Di depan sepasang kekasih berusia dua puluhan yang sedang menyantap masing-masing satu porsi ayam bakar dengan nasi pada pukul sepuluh pagi. Yang terjadi setelahnya, dia harus menjalani sepanjang hari ini dengan gigih; dua rekan kerjanya, Dwi dan Dita, memperhatikannya dengan mata berbinar-binar, seperti anak kecil yang baru saja mendapatkan mainan baru yang iklannya ditanyangkan di telivisi saat minggu pagi. Hal selanjutnya yang dilakukan Dwi dan Dita sudah bisa Sonia tebak: sindiran berkedok simpatik, empati palsu yang terlihat sangat palsu, suara cekikikan dari kejauhan dan, entah mengapa, bagi Dwi dan Dita topik itu menjadi sangat bagus untuk dibicarakan sepanjang hari.
Sonia pulang kerja dengan perasaan malu dan kotor, dan berakhir di depan cermin manatap bayangan tubuh telanjangnya. Tidak ada yang salah dari tubuhnya dan sesungguhnya dia gadis baik yang sopan kepada siapa saja. Tapi entah kenapa, selama delapan belas tahun hidupnya, kesialan seperti mengikutinya di mana saja. Perlahan-lahan lingkungannya merenggut semua yang harusnya normal, menjadi di luar batas, dan semakin tidak terkendali.