Sonia duduk di kursi meja rias kamarnya sambil menatap layar handphone—ibu jari tangan kanannya bergerak lincah di atas layar; dia sedang mencari pakaian yang pantas untuk pergi rekreasi bersama para karyawan Restoran Ayam Bakar Babe Bowo.
Tadi sore, sebelum waktu pulang kerja, Pak Wibowo mengumpulkan seluruh karyawan dan menyampaikan ajakannya untuk pergi rekreasi ke Pulau Tegal Mas. Hal ini memang sudah menjadi rutinitas yang diadakan setiap tahun oleh Pak Wibowo, dan tentu saja hal tersebut merupakan hal yang positif, karena; “ ... agar kita bisa lebih kompak,” kata Pak Wibowo saat dia menyampaikan tujuannya menyelenggarakan acara itu di depan seluruh karyawan, dan semua sepakat akan hal itu—apalagi semua biaya ditangung oleh Pak Wibowo.
Sonia tampak antusias dengan agenda ini.
Dia menyukainya.
Menjadi seorang treveler memang sudah menjadi keinginannya, dan dia menantikan agenda rekreasi ini. Tahun lalu, saat Pak Wibowo memilih Taman Nasional Way Kambas sebagai lokasi rekreasi, Sonia belum bekerja di Restoran Ayam Bakar Babe Bowo, dia tidak ikut serta tapi Dwi banyak bercerita tentang rekreasi itu—satu-satunya topik pembicaraan dengan Dwi yang baginya menarik.
Sonia meletakkan handphone di atas meja rias, kemudian dia berdiri dan berjalan menuju lemari pakaiannya. Dia memutuskan untuk tidak belanja pakaian baru. Pikirnya tidak perlu membeli baju bagus untuk pergi ke pulau. Pakai kaus saja, toh nanti juga akan basah.
Saat baru saja Sonia membuka lemari pakaian, dari arah luar kamar terdengar suara langkah kaki. Bunyinya seperti langkah kaki seorang prajurit yang ingin pergi ke medan perang. Menghentak-hentak. Itu ayah tirinya, oh ya ... pasti ayah tirinya, karena di dalam rumahnya tidak ada yang berjalan seperti itu selain ayah tirinya—langkah kaki yang bisa membuat semua pengidap misophonia menjerit.
Tidak butuh waktu lama hingga suara ketukan pintu terdengar, tiga kali.
Sonia menatap jam dinding bulat yang terpasang di atas bagian kepala tempat tidurnya. Pukul 21.26. Sesuatu yang tidak menyenangkan akan terjadi, setidaknya itu yang dia pikirkan. Lalu dia melangkah ke arah pintu dan membukanya.
“Hey, Sonia. Kau punya uang?” tanya ayah tirinya sedikit berbisik ketika pintu kamar baru saja terbuka.
Sonia mengangguk tapi tidak mengatakan apa-apa.
“Kalau begitu, pinjamkan dulu aku uang dua ratus ribu. Nanti akan aku ganti.”
Sejenak Sonia menatap wajah pria berkumis di depannya. Tatapannya datar, namun pikirannya liar. Bangsat adalah kata pertama yang dia pikirkan, lalu memanganya kau pikir kau itu siapa? Dan ditutup dengan kalimat, kenapa tidak mati saja! Sonia sudah tahu apa yang akan dilakukan ayah tirinya dengan uang itu: mabuk-mabukan? Oh ya ... sudah pasti!
“Di dompetku hanya ada uang seratus delapan puluh ribu. Kalau Bapak mau, aku hanya bisa meminjamkan seratus lima puluh ribu, karena aku membutuhkan sisanya untuk ongkos pergi kerja besok,” kata Sonia. Dia mengatakan yang sebenar-benarnya.
Pria lima puluh empat tahun bernama Agus itu tampak kesal setelah mendengar jawaban Sonia. “Ah! Memangnya ke mana uangmu? Kau kan di rumah saja, belanja kau jarang, pakaianmu pun biasa-biasa saja. Masa cuma segitu yang kau punya?” Nada bicara Agus meninggi.