Kamis, 2 Januari 2020 pukul 07.00 WIB
Cericit burung di atas dahan. Kumbang bermunculan di seputar kembang, membagi cinta antara putik dan serbuk sari. Masih adakah yang berusaha mendustai indahnya pagi dalam selimut dengkur?
Jam weker berbentuk kepala bayi itu tiba-tiba menjerit pada waktu yang salah. Eppok menggeliat, membuka mata malas-malasan. Cahaya pagi menjalar di pipinya. Terasa hangat. So why? Ada apa dengan jam wekernya? Dia menjerit. Sebelum tidur malam, dia teledor mengarahkan alarm, harusnya ke angka lima, namun singgah di angka tujuh.
Eppok mengamuk, nyaris mengaum dan mencakar. Selimut dia lemparkan ke lantai, serampangan memakai selop terbalik. Keluar kamar, menceracau. Menyalahkan siapa saja yang sedang bersantap di meja makan. Kenapa tak ada di antara mereka yang peduli dengan hari sakral ini? Dia sudah melingkari kalender pada angka dua Januari dengan spidol hitam. Bahkan ada sebuah pemberitahuan di sana : ingat, hari pertama gue kerja!!!
“Salah sendiri kenapa kau telat bangun. Siapa yang nyuruh situ nonton drakor hingga tengah malam?” celetuk Boy, menunjukkan mimik menyebalkan.
“Aku jitak kau, Ndut! Siapa bilang aku nonton drakor? Jangan fitnah!”
Puput mencelupkan sendok ke dalam wadah mentega. Dia cuek bebek mengoleskan mentega itu ke roti di tangannya. Seperti tanpa masalah. “Aku yang bilang, Kak. Lupa ya kalau kita sama-sama menontonnya hingga larut malam? Ingat si aktor tampan itu, sampai terbawa mimpi.” Si bungsu itu dengan tingkah sotoy, membuka rahasia mereka. Boy cengengesan, mengacungkan jempol. Hebat Puput, tahu siapa sebenarnya yang harus dibela!
O, itu toh yang menyebabkan Eppok terlambat bangun pagi? Siapa dong yang salah? Ini jelas gara-gara Puput! Andai si bungsu tak merengek ingin menonton cd drakor, Eppok kan bisa lekas tidur! Dia tak akan keliru memasang alarm karena mengantuk berat.
“Pupuuut!” geram Eppok sambil mencomot sepotong roti yang hampir mendarat di mulut Puput. Dia berlari ke kamar mandi, menghindari repetan mak. Berapa kali mak bilang, kalau baru bangun tidur itu harus cuci tangan dulu baru boleh mencomot makanan. Apakah Eppok tahu ke mana saja tangannya menjalar tadi malam? Ya, tapi yang namanya Eppok, kerapkali nasihat tidak pernah dia dengar. Sepertinya hanya numpang singgah.
“Sudah, tak boleh ribut di depan makanan! Itu namanya tak mensyukuri rejeki.” Pak Wo tak ingin Puput menggerutu pasal sepotong rotinya telah terbang. “Kau lupa hari ini mulai kerja ya, Pok? Habis mandi, kau masak nasi goreng. Punyamu sudah diembat si Boy,” jerit bapak. Tak ada sahutan, kecuali senandung cempreng. Sekonyong sebentuk wajah dengan rambut awutan-awutan, muncul di ambang pintu.
“Set, setaaan!” Boy tertawa, berlari ke ruang tamu.
“Boy ini curang! Dasar gendut!!” jeritnya meradang. Melihat mak hendak berbicara, dia melesat bagai busur masuk ke kamarnya. Mandi apa dia? Mirip mandi burung layang-layang. Sut, sut, sut, selesai. Cepat amat!
Semua memang ingin Eppok mendapat masalah! Dia sudah berjuang mati-matian agar diterima di perusahaan kontraktor itu. Saingan bejibun, dari es satu hingga es cendol. Kecantikan dan kemodisan mereka di atas rata-rata. Apa mungkin ditandingkan dengan Eppok yang krempeng dan ogah berdandan? Dunia seakan mau kiamat ketika dia harus membeli alat-alat make up. Nah, jika hari pertama kerja saja dia sudah mengibarkan bendera putih, apa kata dunia? Ya, Tuhan. Dia tak boleh kalah!