Mereka akhirnya sampai di jalan besar. Lalu-lalang kendaraan mengabarkan, Eppok sudah sangat terlambat. Setelah beberapa saat membonceng di belakang Ello yang bersimbah keringat, motor berhenti di depan gedung kuning gading. Seorang security menyongsong dengan sikap penuh tanya.
“Mbak mau bertemu siapa?”
“Mm, Maaf, saya karyawan baru, Pak”
Security itu mencondongkan kepala dan langsung berbicara seakan berbisik, “Di rumah enggak ada jam ya, Non?”
Eppok nyengir menahan marah. Hampir dia menonjok si security. Tapi dia memilih bergegas masuk. Masih sempat suara parau security itu menyebut “ongkos”. Eppok mengibaskan tangan. Tubuh ringkihnya sempurna menghantam dua bongkahan gunung.
Sosok mammoth besar telah bertabrakan denganya. Wanita berkacamata setebal pantat botol. Orangnya judes, berbibir tipis, sangat kontras dengan pipinya yang gembul. Dia mungkin akan melahap siapa saja yang membuatnya kesal. Tapi kali ini tidak. Dia berbalik arah seraya mendengus, memasuki sebuah ruangan sembari mengangkat tangan dan menggerakkan jari telunjuk. Eppok mengikutinya, merasa takut bercampur kesal.
Sejak pertama bertemu pada saat tes wawancara, Eppok sudah tak senang dengan wanita itu, meski jabatan yang dia sandang amatlah mentereng : P-E-R-S-O-N-A-L-I-A. Mulutnya tajam menyerupai silet. Dengar-dengar sih dia perawan tua. Hahaha, apakah setiap perawan tua itu identik dengan judes? Eppok mengkerut ketika dibentak.
“Duduk!”
Soni S.H., begitu yang tertera di dada kiri ibu personalia. Eppok ingin tertawa, tapi berbaik sangka saja. Mungkin nama ibu personalia itu “SONIE” atau “SONIA”. Huruf di belakang huruf “I” agak kabur hingga susah dibaca.
“Panggil saya, Ibu Sonia.” Oh, mungkin dia memiliki pekerjaan ganda, menjadi personalia merangkap paranormal.
“Iya, Bu Sonie.”
“Jangan Sonie, tapi S-O-N-I-A,” katanya dengan menekankan suara di huruf “A”.
Lagi-lagi Eppok ingin tertawa. Kali ini menertawakan dirinya sendiri. Bukankah saat tes wawancara itu, ibu personalia sudah memperkenalkan diri? Tentu dengan penekanan suara pada huruf “A”.
“Jam berapa sekarang?”
Eppok mengernyit seolah anak esde yang belum bisa membaca jam. Tapi dia diselamatkan dering telepon. Personalia itu meraih horn, kemudian mengangguk, menjawab gugup : iya, sudah. Segera, Pak. Lalu setengah membanting horn telepon itu.
Ajaib, tetiba dia pucat ketika menyadari sesuatu. Dia meminta maaf kepada horn telepon, menciumnya seolah pacar tersayang. Mungkin yang menelepon barusan, orang penting di kantor ini. Tebakan Eppok benar!
“Siap-siap angkat kaki dari perusahaan! Bos memanggilmu!” Ucapan Ibu Sonia seolah mengguncang seisi gedung. Eppok mundur teratur keluar ruangan, lalu setengah berlari ke arah belakang. “Tidak sopan!” Ibu Sonia menutup pintu rapat-rapat.
“Mas, Mas. Toilet mana, Ya?”
Seorang pria dengan tumpukan map di tangan, menunjuk dengan ujung bibir. Terburu Eppok menuju arah yang ditunjuk pria itu. Hehe, lega, akhirnya hajatnya terpenuhi. Namun orang di dalam itu kok lama amat?
Untunglah sekian detik kemudian, terdengar bunyi“klik”. Pintu terbuka. Seorang pria keluar dari dalam dengan wajah kurang simpatik. Eppok terpana.
“Karyawan baru, ya? Toilet wanita bukan di sini. Tapi di sebelah!” Ladalah! Padahal Eppok lulusan fakultas Sastra Inggris. Bagaimana mungkin dia tak bisa menerjemahkan kata yang tertera di dinding : “MAN” dan “WOMAN”?
Aneh, semua kesialan yang menimpanya seolah hilang seiring hajatnya tuntas. Apalagi setelah bertemu pria tadi. Dia bernapas menghembuskan napas lega. Toilet menjelma indah. Dia terbayang pria itu. Berdagu tirus dengan hiasan jenggot halus. Kornea matanya agak kebiru-buruan. Dan aroma tubuhnya seakan melemparkan Eppok ke tengah hutan perawan, dengan tetesan embun menyilet daun. Oh, apakah aku masih berada di dunia? Batin Eppok sambil celingak-celinguk di luar toilet. Ah, di manakah ruangan si bos?
Eppok terbayang ruangan menyeramkan dengan tumpukan berkas. Seorang lelaki sedang khusyuk meneliti semacam laporan. Dia berkacamata tebal, ya, mungkin plus tiga. Kepalanya yang botak nyaris mengalahkan silau lampu. Pria itu mungkin berusia enam atau enam puluh lima tahun. Atau, entahlah!
Eppok yakin dia akan disiksa habis-habisan. Dia akan diplonco. Apakah kartu merah akan menendangnya dari perusahaan itu? Bagaimana dengan nasib pria guanteng tadi? Eppok menepok jidat. Bukannya takut dipecat sebelum bekerja, dia malah cemas akan kehilangan pria itu.
Ada apa dengan dirimu, Pok? Apakah kau masih waras? Dia menelengkan kepala, melihat pipinya yang bersemu merah di dalam cermin besar. Ternyata selama ini dia lupa menyadari, wanita di cermin itu bisa cantik juga. Katakanlah lumayan menarik! Apakah karena dia sedang jatuh cinta?
Jatuh cinta? Eppok mengaduk-aduk kamus di dalam hatinya. Dua suku kata itu sama sekali tak ada. Begini rupanya kalau sedang jatuh cinta, segalanya menjadi indah. Taik ayam sampai dikira coklat. Toilet ibarat hutan perawan, hembusan angin segar, menghempas daun, menyenandung, lagi berima.
Dia berbalik arah, tak sengaja menghantam dua bongkahan gunung. Shit! Ini untuk yang kedua kali.
Eppok gemetar. Wajah wanita di depannya seakan bisa melahap. Tangan sebesar pukulan bisbol, mengangkat dagu Eppok.
“Ini sudah berapa jam? Bos menunggumu!”