Eppok menepok jidatnya. Kenapa harus menjadi penakut? Di luar sana matahari masih garang memberi kabar bahwa hidup harus tetap bergerak. Dia juga mesti bergerak. Menyalakan komputer, menyolokkan flashdisk di lobang usb. Saatnya kembali merampungkan novel yang terbengkalai karena urusan remeh-temeh agar bisa bekerja di perusahaan itu.
Tuhan telah meluruskan jalan hidupnya bersua pria guanteng. Pria yang mungkin menjadi kekasihnya, atau malahan calon suami. What? Pipinya bersemu merah. Eppok, kenapa kau begitu norak? Dia menggigit ujung pena, lalu fokus.
Seperti biasa, dia akan lupa segalanya. Tubuhnya menjadi ringan. Lebih ringan dari balon berisi nitrogen. Dia memasuki mesin ups. Menyelusup di sela instalasi. Menari bersama puluhan, ratusan, bahkan ribuan huruf di belukar kata. Melupakan jarum jam bergerak cepat meninggalkan pukul lima sore. Refleks melambai kepada Yessy yang mengabarkan perpisahan. Melupakan hingga segalanya.
Hingga seorang pria yang tetiba berdiri di didepannya, melotot kesal. Tumpukan berkas dia hempaskan di atas meja. Eppok tersentak, tercerabut dari dunianya. Sontak melompat, dan tak sadar memeluk erat pria itu.
“Mencari kesempatan dalam kesepian?”
“Oh, maaf, Bos, Pak. Saya tak sengaja.” Eppok melepaskan pelukannya. Wajahnya merah padam. Apakah ini nyata, seorang Eppok memeluk tak sengaja Bos Sambodo? Wanita itu mencoba menetralisir pergerakan jantungnya yang berlari cepat.
Bos Sambodo menggeleng-geleng. Baginya, kejadian remeh-temeh barusan, tak perlu diperpanjang. Ada empat bundel berkas yang dia letakkan di atas meja, harus dikoreksi Eppok. Dua berkas yang paling atas dan paling tebal, adalah dokumen teknis. Dua berkas yang paling bawah, berukuran tipis, merupakan dokumen harga.
“Baiklah. Saya akan selesaikan besok, Pak.” Jam tangan Eppok menunjukkan pukul enam. Senja telah berganti malam.
“Besok? Yang benar saja. Berkas ini sudah harus dibawa shubuh nanti!”
Eppok terperangah. “Tapi…” Bos Sambodo sudah berjalan menjauh. Orang yang aneh! “Saya kan belum tentu faham bagaimana prosedurnya, Pak.”
“Kalau berani melamar kerja di sini, sudah pasti tahu bagaimana prosedurnya. Lagi pula kamu cuma mengoreksi huruf dan angka, juga kesesuaian kalimat. Sepertinya untuk melakukan hal begituan, kamu tak perlu memegang ijasah sarjana.” Sombong sekali pria itu. Dia tak peduli kening Eppok yang mulai mengerut memeriksa kalimat per kalimat. Tak peduli betapa wanita itu seakan melihat ribuan lebah yang siap meyuntikkan sengat stress.
Bos Sambodo santai membuka kulkas, mengeluarkan dua kaleng minuman dari dalam. Satu kaleng diletakkannya di atas meja Eppo. Satu kaleng lagi dia buka, dan meminum isinya sampai tandas seakan seekor unta kehausan.
Dia meremas kaleng di tangannya dengan kekuatan penuh, menekan tuas sebuah benda bulat stainles berpenutup warna krem. Lantas, mulut benda itu melahapnya.
“Selesaikan, ya! Saya keluar kantor sebentar.” Dia meraih sweater yang tersampir di punggung kursinya.
“Tapi… Saya sendirian di sini.”
“Kenapa? Takut?” Suaranya seolah mengejek. Eppok mengangguk ragu. Bos Sambodo melanjutkan, “Di pos jaga ada security dan office boy. Di lantai atas ada tim lelang : Vingi, Inga, dan Pak Boy. Saya rasa mereka sudah lebih dari cukup.” Karena reaksi Eppok tetap seperti tadi, pria angkuh itu menghempaskan badan di atas kursinya sambil menggaruk-garuk kepala. Eppok seakan melupakan sesuatu, lalu pemisi kepada Bos Sambodo.
“Kamu mau ke mana lagi?”