Ternyata rasa dingin cukup sulit memadamkan bara di dada. Apalagi jam dinding memberitahu sekarang sudah sangat larut. Hampir jam dua belas malam. Kesal bertumpuk seakan cucian seminggu mengendap di dalam rendaman.
Wajah Mak Wo yang semula cemas menjelma cerah. Dia bergegas ke belakang, dan kembali ke ruang tamu membawa sehelai handuk. Tak lepas-lepas mulutnya berterimakasih saat handuk diberikan kepada Ello. Telinga pria itu mungkin jadi selebar tampah saking bangganya.
Begitu Pak Wo menawarkan mie rebus, ditambah teriakan Boy dari depan tv : sekalian bandrek, Eppok sudah ngacir ke kamarnya. Mengganti pakaian kantor yang sudah lembab dengan piyama. Membersihkan wajah dari make up sambil melihat kesal ke arah cermin. Betapa masam wajah itu!
Mengapa ini harus terjadi? Mengenal dua pria sekaligus, tapi sama-sama membuat susah hati. Oh, Tuhan, apa dosa Eppok hingga harus berhubungan dua brengsek itu (eh, ralat, hanya satu orang saja : Ello) ? Si kribo yang selalu membuat kepala bertanduk, tapi berhasil sempurna mengambil hati empat orang---yang pasti tidak termasuk Eppok---di rumah itu.
Brengsek satunya (maaf, ralat lagi), meski tampan tapi sifatnya norak. Ya, ya. Mungkin Eppok harus bersabar. Semua pasti ada waktunya. Saat itu Bos Sambodo akan tersenyum, merengkuh pinggangnya, mengecup sayang sebentuk bibir ranum. Mata itu mengerjap nakal. Musik berirama lembut menyambut tetes hujan. Berdua mereka melenggang, memutar, seolah dua ekor angsa yang sedang pertunjukan. Dan suara trompet itu mengantam telinganya.
Eppok tersentak. Ternyata dia hanya bermimpi. Tak sadar, hari beranjak pagi, dan dia tertidur di atas lantai. Trompet tadi itu adalah singa yang mengaum di layar hape. SONIA!
Eppok menghadap cermin, memerhatikan wanita lusuh dengan lingkar mata kehitaman karena lelah. “Apa, Bu?”
“Kamu lupa jam berapa sekarang?” Suara ketus menyambutnya di seberang.
Eppok menguap. “Baru pukul tujuh. Jam kerja kan mulai pukul delapan, Bu Son!”
“Bu Son, Bu Sun. Emang saya bison? S-0-N-I-A.”
Ya, ya tak usah berteriak, dia sudah dengar. Eppok menggaruk punggung tangan. Hmm, apa tujuan bison itu mengaum pagi-pagi? Harusnya kan dia mengembek! Eh, salah, ya. Yang mengembek itu kambing.
Ini pasti ada urusan penting yang terlewat dari perhatian Eppok. Tapi apa, ya?” Oh, sebentar. Dia berpikir sejenak, dan langsung tersentak. “O, Iya, saya lupa kunci ruangan Pak Bos Sambodo terbawa. Bagaimana ini?”
“Itu urusanmu! Yang penting sekarang, Bos Sambodo sudah naik-pitam. Cepat ke mari!” Ponsel ditutup dengan kesal. Eppok seakan terbang setelah mengambil tas, dan terpincang-pincang memakai sepatu. Bayangan wajah Bos Sambodo semakin tegas. Rautnya memualkan. Kata-kata yang keluar dari mulutnya pasti pedas. Mampuslah!
Eppok membuka pintu tergesa. Sisi luarnya hampir mencium hidung Mak Wo. Siapa sih tukang kurang-ajar yang memasang pintu itu? Harusnya biar aman, ketika pintu dibuka, daunnya harus mengarah ke dalam, bukan keluar. Tukang yang tak faham arsitektur! Nah, lho, kenapa sampai melantur ke masalah pintu?
“Kamu kok melantur, Pok?” Mak Wo menatap heran.
“Aku?” Dia menujuk dadanya sendiri.
“Ya, kau mau ke mana? Ke pasar?”
“Ngapai ke pasar? Ini hari Jum’at, Mak. Lupa, aku sekarang sudah kerja?”
Seakan Valentino Rossi, Eppok melesat meninggalkan Mak Wo. Untung saja remnya pakem ketika si mak menyeletuk dengan nada cuek, “Apa aku yang salah, ya? Emang ngantor sekarang memakai piyama?” Dia menepok jidat, dan mengerjakan urusannya ke dapur.
“Ya, Tuhan. Untung saja!” Eppok berlari kembali ke kamar mengganti pakaian. Berbedak tipis tanpa gincu. Menyisir rambut hingga bisa dilihat lebih enak. Lalu menuju meja makan. Menceduk air minum dari dalam gelas untuk cuci mata.
“Eppok!” seru Boy kesal. Tapi yang diteriaki sudah terbang. Sepotong roti diembatnya sebagai pengganjal perut. Di depan pagar ada si kribo. Terlihat cukup tampan sebab lagi dibutuhkan.
“Bo, cepetan bantu aku! Syukurlah kau di sini.”